Sudah sampai bosan saya utarakan ke teman-teman kuliah saya di Belanda bahwa Jakarta adalah kota dengan kemacetan terparah ke-7 di dunia menurut salah satu aplikasi penyari jalan dan berulang kali saya harus 'berbangga' diri karena Jakarta tidak hanya memiliki sistem moda transportasi yang 'uzur', melainkan semrawut pula. Beberapa tahun terakhir saya mencoba untuk yakin bahwa Jakarta mulai berubah; dari segala macam pembangunan infrastruktur baru di tengah predikat Jakarta sebagai 'kuburan rencana transportasi umum', juga bisa setidaknya berkontribusi dalam membantu memajukan transportasi yang ada sekarang walaupun pengetahuan saya masih bisa dibilang cetek dalam bidang transportasi.
Sempat bergelut sebagai sukarelawan untuk membuat peta jaringan BRT Transjakarta yang digadang-gadang sebagai jaringan BRT terbesar di dunia itu, membuat saya terbuka atas apa sebetulnya yang jadi masalah Transjakarta untuk membenahi karut-marut operasinya yang sudah berumur 13 tahun itu, mulai dari pola kerja sebagai perusahaan transportasi sampai masyarakat biasa tahu apa layanan yang sebenarnya perusahaan transportasi itu berikan. Bekerja cukup sebentar saja sudah cukup membuat saya terbuka dengan apa masalahnya, tetapi saya cukup yakin dengan aura perubahan yang ada oleh mereka setidaknya dengan mengundang saya untuk membantu.
Bagi saya, 2016 merupakan tahun penting buat Transjakarta karena tahun itu Transjakarta memperlebar jaringannya hampir ke mana saja; rusun, stasiun, kota satelit. Penumpang meningkat cukup signifikan, dan tahun itu sedang dibangun Koridor 13 yang digadang-gadang bakal jadi game changer bagi transportasi umum Jakarta karena jadi proyek besar pertama dari serangkaian proyek-proyek besar baru seperti LRT dan MRT yang dijangka akan selesai dalam waktu 5 tahun kedepan. Dengan tagline "Berani Berubah" dan "Kini Lebih Baik", saya punya benak baik dengan perubahan yang akan dibawa oleh Transjakarta; namun lama kelamaan hal itu ternyata jadi gimmick, pencitraan semata.
Sustainability
Kesinambungan. Itu konsep utama saya jika berpikir untuk mengelola satu jaringan transportasi yang dapat diandalkan oleh masyarakat banyak. Ketersinambungan suatu moda transportasi disini menyangkut banyak sekali aspek, mulai dari aksesibilitas penumpang baik secara fisik atau informasi hingga bagaimana caranya sang pengelola berfikir untuk merancang satu rencana terstruktur dengan fokus jelas yang akan dilakukan untuk jangka panjang, menengah, dan pendek.Â
Yang saya rasakan di sini adalah bahwa segala upaya yang dilakukan oleh Transjakarta sekarang lebih kurang hanyalah sebagai pencitraan eyecandy semata, dengan segala upaya jangka pendek yang dilakukan untuk merubah mata penumpang terhadap layanan mereka dengan sesuatu yang kecil dan vanity. Segala event dilaksanakan demi meyakinkan hampir 500.000 penumpang yang menggunakan moda transportasi itu sekarang bahwa 'Kini Lebih Baik'. Iya kini lebih baik, tetapi di bagian yang mana?
Membuat Peta Saja Tidak Bisa
Contoh saja usaha saya dalam membantu Transjakarta untuk membuat peta yang sudah telat hampir 3 tahun lamanya. Sebelum peta versi Oktober 2016, Transjakarta menggunakan peta tahun 2013, dan peta tersebut masih tertempel di sebagian besar halte saat ini. Saya dan tim saya mencoba untuk membuat skema pembuatannya semudah mungkin untuk dilanjutkan setelah masa kerja saya usai, ketersinambungan intinya.
Tidak habis pikir rasanya untuk sebuah perusahaan transportasi di kota berpenduduk lebih 9 juta orang ini sampai lupa dengan hal yang paling krusial yaitu pemberian informasi untuk waktu selama itu. Jangankan peta, penyaluran informasi akan layanan baru oleh Transjakarta saja saya sama sekali tidak mengerti bagaimana; apakah ada bahkan? Mulai dari ketiadaan nomor rute bus (nomor rute baru direorganisasi akhir tahun 2016 lalu) hingga informasi apapun soal layanan baru saya selalu dengar antara dari jarkom pribadi atau tiba-tiba lihat busnya di jalan; hampir tidak pernah ada publikasi resmi keluar dari mulut Transjakarta.
Kemudian, yang sekarang lagi agak hangat di kalangan pemerhati transportasi publik di Jakarta adalah proyek Koridor 13 Ciledug - Tendean yang kini sedang dilaksanakan dan hampir selesai pengerjaannya (bagi saya selesai pengerjaannya itu di mana seluruh sarana-prasarana penunjang telah siap semua 100%, tidak setengah-setengah).Â
Saya tidak mengerti betul soal alur kerja antar SKPD DKI soal proyek K13 ini namun dengan apa yang terjadi sekarang saya tahu bahwa memang proyek ini dibangun hampir sama sekali tidak melihat aspek kesinambungan antar dinas; let alone Transjakarta yang sekarang kelabakan sendiri karena harus menerima kenyataan bahwa proyek ini masih belum sempurna selesai namun terlanjur 'ditodong' atasan untuk launching tanggal 22 Juni 2017 -- tepat 490 tahun Jakarta.Â
Saya sangat sesalkan Koridor 13 ini istilahnya 'lempar batu sembunyi tangan'. Tidak ada satu pemangku kepentingan pun yang mencoba untuk setidaknya bertanggung jawab atas 'kekeliruan' desain yang terjadi di banyak aspek dari proyek ini, mulai dari fisik infrastruktur hingga rencana penyediaan layanan BRT di jalur baru ini.Â
Mulai dari Dinas Bina Marga yang cenderung diam jika ditanya soal proyek ini, hingga Transjakarta yang tidak bisa memastikan kemana sebetulnya bus mereka akan beroperasi nanti. Itupun masih lagi harus menunggu keputusan Dinas Perhubungan dan Transportasi yang infonya sampai sekarang masih negosiasi dengan Pemerintah Kota Tangerang soal di mana bus nanti akan berputar di Ciledug; satu keacuhan dalam kesinambungan desain ataupun layanan yang berujung kepada negosiasi yang sebenarnya tidak perlu jika dari awal memang sudah direncanakan mitigasinya.Â
Di dalam hal ini sebetulnya Transjakarta tidak bisa berbuat banyak, hanya bisa menunggu keputusan yang jelas dan penundaan ini jelas terkait akan sesuatu hal, namun ini bukan berarti dari dulu Transjakarta tidak bisa berbuat apa-apa untuk menyiapkan proyek ini untuk layanan mereka. Di dalam pernyataan resmi dari Transjakarta soal penundaan ujicoba Koridor 13, hanya dijelaskan salah satu alasan penundaan salah satunya posisi loket yang 'salah' di beberapa halte. Hal ini seolah-olah dijadikan kambing hitam dalam masalah yang ada sekarang, padahal banyak halte BRT lain yang dibangun oleh Dishub terdahulu ataupun MRT memiliki posisi loket yang mereka bilang 'salah' itu.
Di salah satu desain rancang bangun halte-halte tersebut, jelas sudah terdapat persetujuan dari Transjakarta, cukup jadi bukti bahwa rasanya ada keengganan stakeholder yang ada dalam proyek ini untuk bersinergi untuk membuat Koridor 13 menjadi moda transportasi baru yang terintegrasi (ingat ini saja belum membahas integrasi fisik di halte-halte transit yang sama sekali nihil). Alih-alih tidak bisa berbuat apa-apa karena perintah atasan, malah jadi alasan tiba-tiba membatalkan rencana uji coba dengan penumpang 1 hari sebelum tanggalnya; ingat, satu hari!
Masalah Harus Diselesaikan, Bukan Ditutupi Dengan Pencitraan
Satu problematika yang besar ini akhirnya bisa membuat banyak orang tersadar bahwa banyak hal yang dilakukan Transjakarta hanyalah pencitraan semata. Hari Senin 12 Juni 2017 menjadi puncaknya ketika kedok pencitraan tersebut akhirnya terbuka kepada publik. Puluhan ribu penumpang Transjakarta tiba-tiba ditelantarkan begitu saja karena sengkarut masalah internal yang tidak kunjung usai.Â
Tanpa informasi apapun, satu jaringan Transjakarta ditutup begitu saja; ketika banyak penumpang ada di bus, ketika penumpang sedang ada di halte. Semua efek-efek pencitraan seperti acara musik yang menutup akses penumpang di halte teramai dan koridor teramai itu seolah dibuka boroknya dengan gangguan operasional layanan Transjakarta di hampir keseluruhan koridor yang sifatnya sangat mendadak, tanpa pemberitahuan dan terkesan tidak mempedulikan hak-hak pengguna Transjakarta, seperti biasa.
Saya yang menulis artikel ini dalam jangka waktu beberapa hari tiba-tiba dibuat mudah membuat kesimpulan dengan apa yang jadi masalah yang Transjakarta miliki dalam cara mereka memberikan layanan transportasi kepada ratusan ribu penggunanya setiap hari. Komunikasi. Baik internal (yang tiba-tiba mengerucut dibawa ke publik) hingga dengan penggunanya sendiri; jargon "Kini Lebih Baik" itu seolah-olah direnggut seketika dengan aksi yang dilakukan oleh pihak internal Transjakarta kepada ribuan penggunanya.
Ketiadaan kesinambungan dalam perencanaan layanan secara jangka panjang secara langsung mengancam semua perubahan-perubahan jangka pendek dan sporadis yang dilakukan oleh Transjakarta karena flaw besar yang sebetulnya menghantui manajemen tersebut tidak dimitigasi secara baik; bak kapal yang sedang tenggelam bukannya diambilkan pompa untuk menyedot keluar sang nakhoda hanya menyuruh awak kapalnya mengeluarkan airnya dengan gayung, karena ternyata di kapal tersebut tidak ada satupun tertempel langkah-langkah darurat apa yang harusnya dilakukan dalam keadaan genting. Chaos lah.
Mau "Berani Berubah", "Kini Lebih Baik", atau apapun itu, Transjakarta jangan salah langkah dan harus punya rencana konkrit dalam membangun imej yang mereka inginkan; tidak bisa hanya sekedar memasang tagline di semua bus. Mulailah dari menata operasional layanan busnya itu sendiri, bukan tiba-tiba menghelat acara yang sama sekali tidak ada koneksinya dengan mereka sebagai layanan transportasi. Dari dulu saya coba utarakan bahwa informasi yang jelas bagi penumpang cukup jadi landasan awal untuk mereka untuk memperbaiki layanannya; baik dari peta, informasi layanan di halte yang professional, hingga pemberdayaan media sosial yang mereka miliki untuk menginformasikan layanannya; bukan hanya postingan orang main saksofon di tengah keramaian halte.Â
Belajarlah Ke KRL Commuter Jabodetabek
Tidak perlu jauh-jauh mencari contoh dalam merubah imej tersebut; lihatlah KRL Commuter Line. PT KCJ (KAI Commuter Jabodetabek) yang imejnya berubah jauh dari apa yang kita tahun 4-5 tahun lalu itu bukan karena mereka menghelat acara-acara yang sifatnya eyecandy semata! Layanan diperbaiki, aksesibilitas penumpang dinaiktarafkan, baru setelah kepercayaan pengguna menjadi lebih baik maka eyecandy itu akan datang sendiri.
Sangat disayangkan Transjakarta cenderung malah menutup mata, atau menutup mata penumpang soal layanannya sampai harus meluberkan masalah internalnya ke publik dan mendorong seorang bocah lulusan SMA untuk menulis artikel ini.
Jalan untuk membuat Transjakarta "Kini Lebih Baik" itu sebenarnya masih jauh kedepan, dan dengan semua masalah yang tiba-tiba tumpah saya harap Transjakarta mengerti apa sebetulnya makna 'kini lebih baik' tersebut. Jalan menata moda transportasi kebanggan Jakarta itu masih sangat jauh; namun jika sekarang mereka setidaknya mengerti apa yang dimaksud dengan spirit 'berani berubah' itu, rasa optimisme saya sebagai penggunanya akan saya selalu jaga demi membangun kota kita tercinta.
Oleh Adriansyah Yasin Sulaeman
Penulis merupakan mahasiswa di Academie voor Stedenbouw, Logistiek en Mobiliteit NHTV Breda, Belanda sekaligus aktivis transportasi Jakarta melalui grup Forum Diskusi Transportasi Jakarta, artikel ini disunting lanjutan oleh KAORI Nusantara.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H