Mulai dari Dinas Bina Marga yang cenderung diam jika ditanya soal proyek ini, hingga Transjakarta yang tidak bisa memastikan kemana sebetulnya bus mereka akan beroperasi nanti. Itupun masih lagi harus menunggu keputusan Dinas Perhubungan dan Transportasi yang infonya sampai sekarang masih negosiasi dengan Pemerintah Kota Tangerang soal di mana bus nanti akan berputar di Ciledug; satu keacuhan dalam kesinambungan desain ataupun layanan yang berujung kepada negosiasi yang sebenarnya tidak perlu jika dari awal memang sudah direncanakan mitigasinya.Â
Di dalam hal ini sebetulnya Transjakarta tidak bisa berbuat banyak, hanya bisa menunggu keputusan yang jelas dan penundaan ini jelas terkait akan sesuatu hal, namun ini bukan berarti dari dulu Transjakarta tidak bisa berbuat apa-apa untuk menyiapkan proyek ini untuk layanan mereka. Di dalam pernyataan resmi dari Transjakarta soal penundaan ujicoba Koridor 13, hanya dijelaskan salah satu alasan penundaan salah satunya posisi loket yang 'salah' di beberapa halte. Hal ini seolah-olah dijadikan kambing hitam dalam masalah yang ada sekarang, padahal banyak halte BRT lain yang dibangun oleh Dishub terdahulu ataupun MRT memiliki posisi loket yang mereka bilang 'salah' itu.
Di salah satu desain rancang bangun halte-halte tersebut, jelas sudah terdapat persetujuan dari Transjakarta, cukup jadi bukti bahwa rasanya ada keengganan stakeholder yang ada dalam proyek ini untuk bersinergi untuk membuat Koridor 13 menjadi moda transportasi baru yang terintegrasi (ingat ini saja belum membahas integrasi fisik di halte-halte transit yang sama sekali nihil). Alih-alih tidak bisa berbuat apa-apa karena perintah atasan, malah jadi alasan tiba-tiba membatalkan rencana uji coba dengan penumpang 1 hari sebelum tanggalnya; ingat, satu hari!
Masalah Harus Diselesaikan, Bukan Ditutupi Dengan Pencitraan
Satu problematika yang besar ini akhirnya bisa membuat banyak orang tersadar bahwa banyak hal yang dilakukan Transjakarta hanyalah pencitraan semata. Hari Senin 12 Juni 2017 menjadi puncaknya ketika kedok pencitraan tersebut akhirnya terbuka kepada publik. Puluhan ribu penumpang Transjakarta tiba-tiba ditelantarkan begitu saja karena sengkarut masalah internal yang tidak kunjung usai.Â
Tanpa informasi apapun, satu jaringan Transjakarta ditutup begitu saja; ketika banyak penumpang ada di bus, ketika penumpang sedang ada di halte. Semua efek-efek pencitraan seperti acara musik yang menutup akses penumpang di halte teramai dan koridor teramai itu seolah dibuka boroknya dengan gangguan operasional layanan Transjakarta di hampir keseluruhan koridor yang sifatnya sangat mendadak, tanpa pemberitahuan dan terkesan tidak mempedulikan hak-hak pengguna Transjakarta, seperti biasa.
Saya yang menulis artikel ini dalam jangka waktu beberapa hari tiba-tiba dibuat mudah membuat kesimpulan dengan apa yang jadi masalah yang Transjakarta miliki dalam cara mereka memberikan layanan transportasi kepada ratusan ribu penggunanya setiap hari. Komunikasi. Baik internal (yang tiba-tiba mengerucut dibawa ke publik) hingga dengan penggunanya sendiri; jargon "Kini Lebih Baik" itu seolah-olah direnggut seketika dengan aksi yang dilakukan oleh pihak internal Transjakarta kepada ribuan penggunanya.
Ketiadaan kesinambungan dalam perencanaan layanan secara jangka panjang secara langsung mengancam semua perubahan-perubahan jangka pendek dan sporadis yang dilakukan oleh Transjakarta karena flaw besar yang sebetulnya menghantui manajemen tersebut tidak dimitigasi secara baik; bak kapal yang sedang tenggelam bukannya diambilkan pompa untuk menyedot keluar sang nakhoda hanya menyuruh awak kapalnya mengeluarkan airnya dengan gayung, karena ternyata di kapal tersebut tidak ada satupun tertempel langkah-langkah darurat apa yang harusnya dilakukan dalam keadaan genting. Chaos lah.
Mau "Berani Berubah", "Kini Lebih Baik", atau apapun itu, Transjakarta jangan salah langkah dan harus punya rencana konkrit dalam membangun imej yang mereka inginkan; tidak bisa hanya sekedar memasang tagline di semua bus. Mulailah dari menata operasional layanan busnya itu sendiri, bukan tiba-tiba menghelat acara yang sama sekali tidak ada koneksinya dengan mereka sebagai layanan transportasi. Dari dulu saya coba utarakan bahwa informasi yang jelas bagi penumpang cukup jadi landasan awal untuk mereka untuk memperbaiki layanannya; baik dari peta, informasi layanan di halte yang professional, hingga pemberdayaan media sosial yang mereka miliki untuk menginformasikan layanannya; bukan hanya postingan orang main saksofon di tengah keramaian halte.Â
Belajarlah Ke KRL Commuter Jabodetabek
Tidak perlu jauh-jauh mencari contoh dalam merubah imej tersebut; lihatlah KRL Commuter Line. PT KCJ (KAI Commuter Jabodetabek) yang imejnya berubah jauh dari apa yang kita tahun 4-5 tahun lalu itu bukan karena mereka menghelat acara-acara yang sifatnya eyecandy semata! Layanan diperbaiki, aksesibilitas penumpang dinaiktarafkan, baru setelah kepercayaan pengguna menjadi lebih baik maka eyecandy itu akan datang sendiri.
Sangat disayangkan Transjakarta cenderung malah menutup mata, atau menutup mata penumpang soal layanannya sampai harus meluberkan masalah internalnya ke publik dan mendorong seorang bocah lulusan SMA untuk menulis artikel ini.