Mohon tunggu...
Adrian syah
Adrian syah Mohon Tunggu... Freelancer - Seorang penulis lepas yang ingin membebaskan imajinasi sebebas-bebasnya

Saya merupakan seseorang yang memiliki hobi menganalisis bahan bacaan, memiliki minat yang tinggi terhadap dunia sastra dan mengikuti perkembangan gadget atau teknologi.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Terbunuh Tanpa Kata

9 Juli 2024   21:43 Diperbarui: 9 Juli 2024   22:23 97
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
https://bit.ly/KONGSIVolume1

Lara semakin mendekat secara perlahan dan mematikan. Menusuk dan menggerogoti setiap kenangan yang kita bangun bersama. Sampai pada suatu titk semua itu kabur. Tercerai berai. Serta tidak ada lagi yang ingin kita satukan dari serpihan-serpihan tanpa harapan itu, kecuali nasib lara yang menimpamu, aku pun milhat sesuatu yang tidak juga di miliki orang lain yaitu nafsu untuk terbunuh.

Lara semakin mendekat secara perlahan dan mematikan. Menusuk dan menggerogoti setiap kenangan yang kita bangun bersama. Sampai pada suatu titk semua itu kabur. Tercerai berai. Serta tidak ada lagi yang ingin kita satukan dari serpihan-serpihan tanpa harapan itu, kecuali nasib lara yang menimpamu, aku pun milhat sesuatu yang tidak juga di miliki orang lain yaitu nafsu untuk terbunuh.

Sewaktu kita baru berkenalan di sebuah kafe bergaya modern minimalist dengan bebatuan yang menggerubungi kaki. Membuat bunyi dercik ketika menginjak. Dercik itu juga timbul dari bibirmu setelah menghidu harum americano yang menurutmu pasaran. Biji kopi murahan dan diseduh dengan teknik seadanya, mungkin dibuat oleh barista magang. Tapi lain hal dengan cheese cake yang terus kau gusur dengan batuan sendok kecil sembari membersihkan setiap serpihan kue di piring mungil itu. 

Kau juga bercerita tentang kegiatan kantormu yang semu serta menjemukan. Karena atasan di kantormu yang sering kau panggil babi gendut itu sangat cerewet. Sebagaimana penampilannya yang kau gambarkan dengan tubuh menggelembung bertumpuk-tumpuk atas lemak-lemak jenuh yang tak jenuh pemiliknya masukkan kedalam tubuhnya. 

Hidung yang membengkak karena gagal operasi plastik, padahal sudah mencoba ke Amerika dengan dokter spesialis terbaik. Berbeda denganmu yang serba tipis sampai tulangmu pun terlihat. Walau aku hanya melihat ketegaran dibaliknya. Ocehan-ocehanmu bergaung tanpa henti atas pekerjaanmu yang belum tentu semua orang paham kecuali dirimu yang seorang penggemar kata-kata. Menautkan setiap kata menjadi frasa. Frasa menjadi klausa. Klausa menjadi kalimat. 

Sebagaimana dosen sastra mengajarkan di mata kuliah sintaksis. Kau yang gampang ditebak dari bacaanmu yang tak jauh-jauh dari segala rupa tentang feminis. Dari buku-buku Laksmi, Ayu Utami, sampai Okky madasari. Yang tanpa kau sadari membuat dirimu tampak keras dan beku ketimbang wanita lain yang lebih mementingkan kepuasan lelakinya atas kepuasan pribadinya.

Jujur aku iri dengan laki-laki lain yang bisa mengendapkan pikiran-pikiran yang kau anggap kolot tentang sesuatu yang disebut derajat. Bukan suhu melainkan kata padu yang menggambarkan kekuasaan utuh laki-laki atas perempuannya. Sementara aku terlanjur malu bila berhadapan dengamu melalui diskusi antara kita yang selalu kau menangkan dengan segudang teori dari sekumpulan buku yang memenuhi hari-harimu. 

Aku sempat mengajukan sebuah pertanyaan yang membuatku merasa bodoh atas dirimu. Apakah seorang laki-laki tidak apa-apa bila mengganggap dirinya inferior. Sementara dunia mendorong laki-laki untuk bersikap superior. Dan kau menjawab dengan entengnya, “Tidak apa-apa selama masih ada ular kaku ketika kau bernafsu di tengah-tengah kedua selangkanganmu”. Segelak tawa terlepas di udara. Tanpa kusadari mungkin itu terakhir kalinya kita bergurau lepas. 

Sebelum aku melepasmu ke Amerika esok harinya. Kau tiba-tiba di telepon oleh Si Babi gendut dan menyuruhmu, lebih tepat memaksamu untuk berangkat ke Amerika. Dia bilang bahwa kau mesti hadir dalam sebuah pertemuan feminis international sebagai perwakilan kantormu. Dan tentunya kau iyakan perintah itu. 

Jarum jam berkilas tanpa berhenti. Sehari sebelumnya kau sudah sibuk dengan dua buah koper besar. Satu untuk tumpukkan bajumu dan satu lagi untuk segala keperluan pertemuan. Kertas-kertas bertumpukkan di seluruh penjuru kamar membuatku bingung dan terpaku. 

Sementara kau seperti setrikaan yang bolak-balik tak karuan menyiapkan ini itu. Esok paginya, pagi-pagi sekali ketika ayam jago pun masih malas berkukur. Kita bersyukur bisa melepasmu di bandara tanpa ada kendala. Aku dan Lara, mulai menjalani hari seperti biasanya.

Nomor tidak kenal terus bermunculan di layar handphoneku yang membuatku penasaran sekaligus ragu. Takut-takut penipuan atau hipnotis. Sialnya aku benar-benar terhipnotis atas kabar yang disiarkan dari balik suara. Setelahnya aliran darahku seperti melonjak dan membanjiri otak. Membuatku tidak bisa berpikir dengan sewajarnya dan aku masih terpaku serta bersembunyi di balik telepon kabar kematianmu. 

Sialnya kematianmu tidak seperti orang kebanyak yang sedang berpelancong ke negeri asing. Entah itu pesawat jatuh atau serangan jantung yang kau tak sempat kau serang kembali. Suara di balik telepon yang belakangan ini ku tahu sebagai orang kedutaan. Menjelaskan penyebab kematianmu.

Sesampainya kau di sana. Kau ditahan pihak imigrasi dan dicurigai sebagai penyusup dengan latar belakangmu yang meruapakan seorang jurnalis serta aktivis feminis. Diikuti selama berhari-hari. Sampai mereka pikir, kau depresi dan berpikir untuk menyudahi atau disudahi. Apakah kau sekarang sedang melihat dari atas sana. 

Lara semakin banyak berkisah tentang perebutan kekusaaan antara negara. Padahal dia baru saja menginjaki sekolah dasar. Mungkin karena kurikulum sudah dirubah untuk mengenali nasionalime lebih dulu ke bocah tujuh tahun yang masih terbata-bata menyebutkan setiap bait pancasila. Sementara kau, ibunya bagai embun pagi yang menghilang ditelan cahaya mentari. 

https://bit.ly/KONGSIVolume1
https://bit.ly/KONGSIVolume1

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun