Sementara kau seperti setrikaan yang bolak-balik tak karuan menyiapkan ini itu. Esok paginya, pagi-pagi sekali ketika ayam jago pun masih malas berkukur. Kita bersyukur bisa melepasmu di bandara tanpa ada kendala. Aku dan Lara, mulai menjalani hari seperti biasanya.
Nomor tidak kenal terus bermunculan di layar handphoneku yang membuatku penasaran sekaligus ragu. Takut-takut penipuan atau hipnotis. Sialnya aku benar-benar terhipnotis atas kabar yang disiarkan dari balik suara. Setelahnya aliran darahku seperti melonjak dan membanjiri otak. Membuatku tidak bisa berpikir dengan sewajarnya dan aku masih terpaku serta bersembunyi di balik telepon kabar kematianmu.Â
Sialnya kematianmu tidak seperti orang kebanyak yang sedang berpelancong ke negeri asing. Entah itu pesawat jatuh atau serangan jantung yang kau tak sempat kau serang kembali. Suara di balik telepon yang belakangan ini ku tahu sebagai orang kedutaan. Menjelaskan penyebab kematianmu.
Sesampainya kau di sana. Kau ditahan pihak imigrasi dan dicurigai sebagai penyusup dengan latar belakangmu yang meruapakan seorang jurnalis serta aktivis feminis. Diikuti selama berhari-hari. Sampai mereka pikir, kau depresi dan berpikir untuk menyudahi atau disudahi. Apakah kau sekarang sedang melihat dari atas sana.Â
Lara semakin banyak berkisah tentang perebutan kekusaaan antara negara. Padahal dia baru saja menginjaki sekolah dasar. Mungkin karena kurikulum sudah dirubah untuk mengenali nasionalime lebih dulu ke bocah tujuh tahun yang masih terbata-bata menyebutkan setiap bait pancasila. Sementara kau, ibunya bagai embun pagi yang menghilang ditelan cahaya mentari.Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H