Mohon tunggu...
Adrianus U.Sarwuna
Adrianus U.Sarwuna Mohon Tunggu... Lainnya - Menulis Untuk Membangun Motivasi

Mahasiswa

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Covid-19 dan Covidiot

18 Agustus 2021   14:18 Diperbarui: 18 Agustus 2021   14:39 146
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pendidikan. Sumber ilustrasi: PEXELS/McElspeth

Hari-hari ini pemerintah dan masyarakat sedang mengadu kecepatan dengan penyebaran Covid-19. Protokol kesehatan seperti yang dianjurkan pemerintah soal disiplin sosial menjadi sangat penting.  Jaga jarak, cuci tangan, menggunakan masker masih tetap menjadi tameng dan pertahanan terbaik dalam menghadapi pandemi Covid-19. 

Hingga kini belum bisa dipastikan kapan pandemi ini berakhir. Sejumlah predikdi memastikan pandemi ini akan berakhir pada bulan Mei 2021, namun  SUTD (Singapore University of Technology and Design) mengklaim bahwa pandemi ini akan selesai pada bulan Juni bahkan Oktober. Presiden Joko Widodo melalui rapat kabinet yang digelar secara tertutup di Istana Merdeka beberapa waktu lalu, memerintahkan kepada jajarannya agar kurva penyebaran Covid-19 harus turun  apa pun caranya. 

Nampaknya Presiden sudah tidak sabar melihat fakta bagaimana mobilitas masyarakat terhenti praktis selama satu tahun terakhir. Kantor, kampus, sekolah, transportasi, pusat perbelanjaan, kegiatan ekonomi, keagamaan, olahraga, dan lain sebagainya.

Sejak dilaporkan oleh Pemprov Papua melalui Juru Bicara Satgas Covid-19 Silwanus Sumule yang diunggah di laman resmi Pemprov Papua bahwa Covid-19 telah terdeteksi di Papua lewat 4 pasien yang terkonfirmasi positif dan dirawat di RSUD Merauke dan disusul 4 kasus baru yang seluruhnya berada di kota Jayapura (26/3/2020). 

Di saat itulah ancaman pandemi seakan sudah berada di ambang pintu masyarakat Papua. Setidaknya fakta itu telah "mendiskualifikasi" asumsi yang telah terbangun dalam pikiran masyarakat Papua bahwa Papua tidak mungkin diserang pandemi Covid-19. Misalnya, karena Papua beriklim panas atau karena "herd imunity" yang dimiliki warganya lewat makan pinang. Menurut riset, pandemi Covid-19 memang hidup dan berkembang di tempat sejuk. 

Namun belum ada pengujan yang membuktikan yang membuktikan bahwa Covid-19 akan hilang di tempat yang suhunya diatas 30-32 derajat Celsius mengingat pandemic ini terbilang baru dan belum ada data mengenai korelasinya dengan musim dan cuaca yang belum bisa dibuktikan kesahihannya.

Tingginya peneyebaran Covid-19 di Tiongkok pada Januari 2020 lalu, tidak sedikit yang meyakini (termasuk pemerintah) bahwa Indonesia tidak akan terpapar virus yang memiliki lapisan lipid tersebut. Namun setelah dua kasus positif meledak di awal Maret, pemerintah terlihat panik dan sibuk bereaksi, bahkan rekasi tersebut berbau menyangkal dan saling menyalahkan. 

Kepanikan di dalam tubuh pemerintah itu kemudian menjelma antara lain dalam pelbagai produk innformasi terkait Covid-19. Sebagian dari informasi yang konstruktif dan berefek positif, memberikan harapan kepada masyarakat, juga diwarnai luberan kabar-kabar beraroma pesimistis plus hoax yang bertebaran di masyarakat. Hal ini disebabkan karena informasi mengenai Covid-19 dari pemerintah dan pihak terkait, belum sepenuhnya dipahami secara baik oleh masyarakat. 

Akibatnya tidak sedikit masyarakat yang berusaha menyimpulkan dan beraksi menurut keterbatasan pemahaman yang dimiliki. Yang terjadi kemudian adalah kewaspadaan yang diekspresikan secara keliru hingga kemudian meresahkan banyak pihak. Misalnya, anggapan bahwa Covid-19 seperti penyakit aib sehingga penderitanya harus dikucilkan. 

Padahal pandemi tidak melihat latar belakang sosial, kaya, miskin, tua, muda, kulit putih, hitam, berpendidikan tinggi, buta huruf, laki-laki, perempuan, semua punya peluang yang sama untuk terinfeksi Covid-19. Ada juga yang mengganggap rapid-test sebagai metode untuk mendiagnosa keterpaparan Covid-19 padahal rapid-test bukan diagnostik tetapi sebagai screening/seleksi/pilah antara yang berpotensi atau yang tidak berpotensi terinfeksi karena ada keluhan klinis, resiko terpapar, dan lain sebagainya. 

Tapi meskipun bukan diagnostik, pemeriksaan ini sangat membantu dalam memutus mata rantai penularan Covid-19.

Intinya, baik yang statusnya positif maupun negatif, seharusnya tetap mengikuti prosedur isolasi/karantina diri, karena yang diperiksa adalah mereka yang secara survelians dianggap ada keterkaitan dengan Covid-19. Persoalannya justru di sini, yakni soal ketahanan masyarakat dalam mendisiplinkan diri mengikuti protokol pencegahan penulara Covid-19 yang masih kendor. 

Karakter ini bukan hanya menjadi problem masyarakat Indonesia, dan secara khusus masyarakat Papua. Sebagaimana dibuktikan oleh laporan Deep Knowledge Group (Majalah Forbes, 13/4/2020), dimana karena tingkat kapatuhannya yang rendah, Indonesia termasuk negara dalam kategori resiko paling tinggi mengalami kegagalan penanganan pandemic Covid-19.

Covidiot

Semua langkah pencegahan telah dijalankan dengan penuh disiplin dan atas kesadaran bahwa tahap sekuritas sekecil apa pun yang diinisiasi, akan selalu berdampak besar bagi nilai kebaikan dan keselamatan bersama. Sayangnya, pemahaman tersebut belum sepenuhnya dimiliki oleh masyarakat kita,  khususnya di Papua. 

Kecenderungan itulah yang disebut sebagai Covidiot. Covidiot merupakan istilah dari beberapa situs urban dictionary (Kamus Bahasa Populer) untuk menunjuk orang-orang yang mengabaikan protokol menjaga jarak fisik, tidak mempedulikan keselamatan sesama (publik) dengan mengedepankan perilaku yang apatis, egois, dan pragmatism (Basral dalam Republika, 14/5/2020). Dalam hal beribadah misalnya, diantara pemuka agama masih terjadi perbedaan sikap. 

Ada yang percaya bahwa dengan beribadah di rumah merupakan cara terbaik untuk memutus mata rantai penyebaran Covid-19, tetapi ada pula pemuka agama yang tetap dengan tegas menyatakan bahwa umat yang beriman pastinya tak perlu takut dengan Covid-19, sehingga fenomena umat berbondong-bondong ke tempat ibadah tidak menjadi masalah. Fenomena kerumunan warga masih dijumpai di berbagai fasilitas publik seperti bank, pegadaian, pasar modern maupun tradisional.

Beberapa waktu lalu beredar sebuah pernyataan yang dikeluarkan oleh Kepala Seksi Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Menular (P2M) Dinas Kesehatan Mimika, Obet Tekege mengatakan, mayoritas warga asli Papua di Mimika sama sekali tak percaya Covid-19. 

Hal itu menjadi hambatan terbesar bagi petugas kesehatan untuk menelusuri riwayat kontak erat pasien terkonfirmasi positif Covid-19. Mimika merupakan daerah dengan jumlah kasus tertinggi kedua di Provinsi Papua setelah Kota Jayapura dengan jumlah warga terpapar sebanyak lebih dari 2.500 orang dan sekitar 2.100 diantaranya sudah dinyatakan sembuh, dan hingga kini warga yang dilaporkan meninggal dunia akibat Covid-19 di Mimika berjumlah 25 orang, bahkan (Suara.com 06/11/2020). 

Ini menunjukan bahwa meskipun pemerintah sudah jauh-jauh hari mengedarkan larangan kepada masyarakat untuk tidak melaksanakan aktivitas-aktivitas yang memancing kerumunan sosial sebagai bagian dari aturan social distancing atau physical distancing, masyarakat tetap tidak mengindahkannya. Ada semacam asumsi yang terbangun di kalangan masyarakat bahwa Covid-19 seolah-olah bukan virus yang menakutkan, sehingga tidak perlu disikapi dengan kepanikan.

Masyarakat Mediokoer

Memang harus diakui, tipikal masyarakat kita nampaknya masih belum bergeser dari apa yang dikatakan Jhon Stuart Mill (1963) bahw amasyarakat itu pada galibnya cenderung collective mediocrity, terpaku pada rutinitas, tidak reseptif terhadap anjuran atau tidak tertarik pada gagasan-gagasan baru, bahkan dalam kondisi dimana hal tersebut diperlukan saat mesti menghadapi situasi sedarurat sekarang, dimana tujuannya untuk kebaikan dan keselamatan bersama sebagai masyarakat, bangsa, dan negara.

Dengan melihat kondisi yang kian memburuk, mau tidak mau rakyat harus masuk pada kesadaran baru dan radikal, betapa yang dibutuhkan saat ini adalah kedisiplinan dan kepatuhan kolektif sebagaai wujud solidaritas dan sinergi untuk menghadapi pandemic. Dalam keadaan kahar (force majeour) yang mengancam kesehatan, ekonomi, psikologis (relasi dan solidaritas sosial warga) (Savoj Zizek, Pandemic Covid-19 Shakes The Word, 2020) butuh sinergi dan solidaritas yang kokoh dari seluruh elemen bangsa untuk memacu kecepatan memerangi pandemic Covid-19.

Seluruh pemuka agama misalnya, perlu lebih tegas mengarahkan umatnya untuk patuh pada peraturan pencegahan pendemi. Pemerintah, tokoh agama, dan tokoh masyarakat penting untuk terus bersinergi melakukan edukasi dan pendekatan kepada masyarakat agar tetap fokus mengikuti anjuran pemerintah. 

Kewaspadaan terhadap Covid-19  harus bisa dikonversi menjadi bentuk komunikasi yang benar, akurat, konsisten, dan real time dan memberikan pencerahan yang menyelurh bagi masyarakat agar memiliki kesadaran untuk memperkuat kedisiplinan mengikuti protokol penanganan Covid-19. Di masa pandemic, hal tersebut setidaknya jauh lebih penting dan proporsional ketimbang pemerintah terlampau menguras energi, dan megkriminalisasi pelaku penyebaran hoax (Freedom House, Princilples for Protecting Civil and Political Rights in the Fight aganis Covid-19, 2020).

Di sisi lain, menciptakan jarak sosial untuk pencegahan pandemic saja sejatinya tidak cukup. Dibutuhkan  kolektivitas moral masyarakat untuk bersiergi memerangi virus dalam pakem Solidaritas Sosial yang kokoh. Menurut Eric Klinenberg dalam artikelnya di The New York Times (14/3/2020) berjudul: We Need Social Solidarity, Not Just, Social distancing, mengkarantinakan warga, menutup sekolah dan kantor bisa menjadi solusi untuk membatasi penyebaran virus, namun itu saja, belumlah memadai. 

Menurutnya, diperlukan suatu upaya mitigasi pro-aktif dan humanis untuk meminimalkan resiko-resiko pahit yang tidak diinginkan sebagaian warga yang rentan, misalnya dengan mengerahkan para relawan-relawan lokal, termasuk mahasiswa, remaja yang ada di wilayah masing-masing untuk terlibat memberi bantuan secara praktis. P

ara kepala daerah sangat diharapkan inisiatif dan perannya untuk memobilisasi para relawan di wilayahnya sehingga penanganan pandemic bisa berjalan kolaboratif dan integratif, bahkan langkah tersebut bisa diperluas untuk lembaga-lembaga korporat termasuk para pengusaha untuk mendermakan tenaga dan sebagaian finansialnya bagi masyarakat yang membtuhkan.

Mengutip pendapat filsuf kebangsaan Jerman , Martin Heideger, situasi "bencana", khususnya yang sedang dialami oleh bangsa Indonesia saat ini, sejatinya bisa mendorong terbitnya empatik dan solidaritas sosial masyarakat untuk terlibat dalam situasi krisis dan traumatic dengan sesama yang membutuhkannya. 

Ini seturut dengan preseden  dimana masyarakat kita memiliki kemampuan resiliensi tinggi. Menurut Caballero Anthony (2006) pandemi merupakan bentuk ancaman keamanan non-tradisional yang setara dengan persoalan bencana alam, degradasi lingkungan, trafficking manusia dan obat terlarang, pembajakan serta kriminalitas internasional. Karenanya, implementasi menajemen  mitigasi bencana yang kolaboratif untuk berbagi resiko secara bersama menjadi keniscayaan. 

Dengan kata lain, jika strategi membangun solidaritas sosial di atas bisa dikapitalisasi secara baik baik oleh pemerintah, maka hal tersebut sudah cukup membantu warga untuk membangkitkan optimism diri maupun secara kolektif dalam mengatasi pandemic. Juga menolong masyarakat keluar dari kepanikan dan ketakutan yang berlebihan, yang hanya akan semakin mengikis imunitas sosial dan biologis masyarakat.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun