Intinya, baik yang statusnya positif maupun negatif, seharusnya tetap mengikuti prosedur isolasi/karantina diri, karena yang diperiksa adalah mereka yang secara survelians dianggap ada keterkaitan dengan Covid-19. Persoalannya justru di sini, yakni soal ketahanan masyarakat dalam mendisiplinkan diri mengikuti protokol pencegahan penulara Covid-19 yang masih kendor.Â
Karakter ini bukan hanya menjadi problem masyarakat Indonesia, dan secara khusus masyarakat Papua. Sebagaimana dibuktikan oleh laporan Deep Knowledge Group (Majalah Forbes, 13/4/2020), dimana karena tingkat kapatuhannya yang rendah, Indonesia termasuk negara dalam kategori resiko paling tinggi mengalami kegagalan penanganan pandemic Covid-19.
Covidiot
Semua langkah pencegahan telah dijalankan dengan penuh disiplin dan atas kesadaran bahwa tahap sekuritas sekecil apa pun yang diinisiasi, akan selalu berdampak besar bagi nilai kebaikan dan keselamatan bersama. Sayangnya, pemahaman tersebut belum sepenuhnya dimiliki oleh masyarakat kita, Â khususnya di Papua.Â
Kecenderungan itulah yang disebut sebagai Covidiot. Covidiot merupakan istilah dari beberapa situs urban dictionary (Kamus Bahasa Populer) untuk menunjuk orang-orang yang mengabaikan protokol menjaga jarak fisik, tidak mempedulikan keselamatan sesama (publik) dengan mengedepankan perilaku yang apatis, egois, dan pragmatism (Basral dalam Republika, 14/5/2020). Dalam hal beribadah misalnya, diantara pemuka agama masih terjadi perbedaan sikap.Â
Ada yang percaya bahwa dengan beribadah di rumah merupakan cara terbaik untuk memutus mata rantai penyebaran Covid-19, tetapi ada pula pemuka agama yang tetap dengan tegas menyatakan bahwa umat yang beriman pastinya tak perlu takut dengan Covid-19, sehingga fenomena umat berbondong-bondong ke tempat ibadah tidak menjadi masalah. Fenomena kerumunan warga masih dijumpai di berbagai fasilitas publik seperti bank, pegadaian, pasar modern maupun tradisional.
Beberapa waktu lalu beredar sebuah pernyataan yang dikeluarkan oleh Kepala Seksi Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Menular (P2M) Dinas Kesehatan Mimika, Obet Tekege mengatakan, mayoritas warga asli Papua di Mimika sama sekali tak percaya Covid-19.Â
Hal itu menjadi hambatan terbesar bagi petugas kesehatan untuk menelusuri riwayat kontak erat pasien terkonfirmasi positif Covid-19. Mimika merupakan daerah dengan jumlah kasus tertinggi kedua di Provinsi Papua setelah Kota Jayapura dengan jumlah warga terpapar sebanyak lebih dari 2.500 orang dan sekitar 2.100 diantaranya sudah dinyatakan sembuh, dan hingga kini warga yang dilaporkan meninggal dunia akibat Covid-19 di Mimika berjumlah 25 orang, bahkan (Suara.com 06/11/2020).Â
Ini menunjukan bahwa meskipun pemerintah sudah jauh-jauh hari mengedarkan larangan kepada masyarakat untuk tidak melaksanakan aktivitas-aktivitas yang memancing kerumunan sosial sebagai bagian dari aturan social distancing atau physical distancing, masyarakat tetap tidak mengindahkannya. Ada semacam asumsi yang terbangun di kalangan masyarakat bahwa Covid-19 seolah-olah bukan virus yang menakutkan, sehingga tidak perlu disikapi dengan kepanikan.
Masyarakat Mediokoer
Memang harus diakui, tipikal masyarakat kita nampaknya masih belum bergeser dari apa yang dikatakan Jhon Stuart Mill (1963) bahw amasyarakat itu pada galibnya cenderung collective mediocrity, terpaku pada rutinitas, tidak reseptif terhadap anjuran atau tidak tertarik pada gagasan-gagasan baru, bahkan dalam kondisi dimana hal tersebut diperlukan saat mesti menghadapi situasi sedarurat sekarang, dimana tujuannya untuk kebaikan dan keselamatan bersama sebagai masyarakat, bangsa, dan negara.