"Pengaplikasian Reward and Punishment dalam Isu Pendidikan Berkualitas di Indonesia"
Adrian Gilang Bahiscara, Amanda Zahra, Farhan Maulana, Muhamad Syahdan Haikal, Syakira Billa
Pendidikan berkualitas merupakan salah satu bagian dari Sustainable Development Goals. Â Dikutip dari situs resmi Bappenas tentang SDGs, pendidikan berkualitas artinya menjamin kualitas pendidikan yang inklusif dan merata serta meningkatkan kesempatan belajar sepanjang hayat untuk semua.Â
Salah satu target yang ada di SDGs 4: Pendidikan Berkualitas adalah pembangunan di sekolah yang inklusif dan aman. Target tersebut tercantum di bagian 4-A SDGs Pendidikan Berkualitas yang salah satunya menjelaskan tentang sekolah yang anti kekerasan.
Di Indonesia, masih ditemukan beberapa kasus kekerasan di dunia pendidikan. Bahkan beberapa kasus yang ditemukan, melibatkan interaksi antara guru dan murid. Di mana guru dan murid merupakan salah satu unsur (komponen) utama, yaitu unsur manusiawi yang ada dalam pembelajaran (Hamalik: 2013).
Belum lama ini dunia pendidikan kembali tercoreng dengan kasus kekerasan terhadap murid. Seorang santri berusia 15 tahun di sebuah pondok pesantren di Desa Pante Ceureumen, Aceh Barat, Provinsi Aceh, disiram air cabai dan dibotaki pada Selasa (1/10/2024) malam.Â
Hukuman tersebut diberikan karena santri tersebut melanggar aturan pondok pesantren setelah ketahuan merokok.
Pada tahun 2023 lalu juga terdapat kasus di mana seorang guru di SMK Swasta Bina Karya Larantuka di Flores Timur, NTT mencelupkan tangan seorang siswa ke air mendidih. Sejumlah foto yang memperlihatkan tangan korban melepuh dan bernanah beredar luas di media sosial. Terduga pelaku diidentifikasi sebagai pendidik di sekolah itu.
Di tahun tersebut, tercatat sedikitnya ada 136 kasus kekerasan di lingkungan pendidikan sepanjang 2023 yang terekam pemberitaan media massa dengan total 134 pelaku dan 339 korban yang 19 orang di antaranya meninggal dunia. Data ini dihimpun Yayasan Cahaya Guru pada 1 Januari-10 Desember 2023 melalui pemantauan pemberitaan media massa tersertifikasi Dewan Pers.
Kasus kekerasan yang terjadi antara guru dan murid erat kaitannya dengan pemberian punishment dalam proses pembelajaran. Seperti salah satu contoh kasus yang telah disebutkan di atas, pendidik mecoba memberikan hukuman kepada siswa nya karena telah melanggar aturan pondok pesantren. Terdapat upaya untuk memberikan hukuman dengan harapan siswa yang melanggar tidak mengulangi perbuatannya. Namun, apakah tindakan tersebut dapat dibenarkan?
Pendidik sering kali menetapkan hukuman jika siswa tidak mengikuti aturan yang sudah disepakati di awal tahun ajaran, dan biasanya daftar hukuman ini telah disusun sebelumnya. Hukuman atau konsekuensi biasanya melibatkan larangan pada sesuatu yang disukai siswa.Â
Misalnya, siswa yang berperilaku mengganggu bisa dilarang mengikuti waktu istirahat atau harus tinggal setelah jam sekolah selesai. Siswa yang sering mengganggu temannya mungkin akan merasa kecewa jika tahu bahwa di akhir bulan ia tidak akan mendapat apresiasi dari kelas.
Menurut Jones dan Skinner (1939), terdapat dua jenis hukuman: yaitu hukuman positif dan hukuman negative. hukuman positif bertujuan untuk mengurangi frekuensi perilaku yang tidak diinginkan. Konsep ini bekerja dengan memberikan dampak negatif tertentu kepada individu begitu perilaku yang tidak diinginkan muncul.
Hukuman negatif adalah bagian dari cara pencegahan yang juga membantu mengurangi frekuensi perilaku yang tidak diinginkan. Hukuman ini bekerja dengan menghilangkan objek atau aktivitas yang disukai dari kehidupan individu.
Punishment dalam pendidikan seharusnya memiliki tujuan untuk memperbaiki perilaku murid dengan cara yang tetap menjaga martabat mereka sebagai individu. Hukuman positif dan negatif dapat digunakan untuk mencapai tujuan ini tanpa menyentuh aspek kekerasan. Guru perlu berhati-hati agar punishment yang diberikan bersifat konstruktif, seperti menugaskan siswa membersihkan fasilitas umum sebagai konsekuensi keterlambatan, bukan menghukum dengan cara yang merendahkan atau menyakitkan.
Selain punishment, pendidik juga dapat menggunakan teknik reward kepada peserta didiknya. Reward diartikan sebagai tindakan atau sikap penghargaan untuk memastikan siswa berpartisipasi dengan baik dan mencapai hasil yang memuaskan Slavin (1997). Siswa diberikan reward atas pencapaian yang diinginkan, sedangkan perilaku yang tidak sesuai dibiarkan.
Reward untuk beberapa perilaku bisa berupa benda konkret. Reward ini dapat membuat siswa merasa senang, karena seperti yang disebutkan oleh Jones dan Skinner (1939), ada berbagai manfaat dari memberikan reward pada siswa dalam kegiatan belajar mengajar, antara lain: pertama, siswa akan merasa bahagia belajar dan secara tidak langsung berusaha menjadi yang terbaik.Â
Kedua, hubungan antara guru dan siswa menjadi lebih baik, sehingga siswa merasa nyaman belajar. Ketiga, melatih siswa untuk lebih antusias dalam belajar. Keempat, meningkatkan kemampuan dan keterampilan belajar siswa.
Baik reward maupun punishment keduanya memiliki tujuan yang jelas dalam proses pembelajaran. Khususnya interaksi antara guru dan murid dalam menyikapi terwujudnya atau tidak terwujudnya sesuatu.
Sebuah penelitian dilakukan oleh Hakim (2018) yang mengamati berbagai aspek penerapan reward dan punishment oleh para guru di Surakarta. Dalam penelitiannya, penghargaan diberikan kepada siswa yang telah menunjukkan kemajuan dalam usaha mereka, dengan memberikan hadiah menarik, tepuk tangan, ekspresi pujian, dan nilai tinggi.Â
Terkait implementasi punishment, jenis hukuman yang diterapkan meliputi perkenalan diri di depan kelas, bernyanyi di depan kelas, dan lompatan jongkok. Hukuman ini diberikan karena usaha siswa dianggap kurang maksimal.
Penelitian ini lebih lanjut mengungkap bahwa pemberian reward dan punishment berkontribusi dalam pengajaran bahasa Inggris dan secara otomatis mendapatkan respons positif dari siswa.Â
Dengan adanya reward dan punishment, siswa menjadi lebih antusias dalam belajar. Mereka menganggap kegiatan belajar menjadi menyenangkan, bahagia, dan menarik. Selain itu, mereka terlihat lebih termotivasi dan lebih rajin dalam mempelajari bahasa Inggris. Namun, untuk penerapan punishment dalam pengajaran bahasa Inggris, beberapa siswa merasa malu, kurang percaya diri, dan khawatir.
Dalam mewujudkan pendidikan berkualitas yang selaras dengan target SDGs, penerapan reward dan punishment yang tepat memiliki peran penting. Reward dan punishment bukanlah sekadar cara untuk mengatur perilaku siswa, tetapi juga sebagai alat pendukung untuk membangun karakter positif, memperkuat hubungan antara guru dan siswa, serta menciptakan lingkungan belajar yang aman, nyaman, dan bebas dari kekerasan.Â
Dengan menggunakan pendekatan yang bijak dalam penerapan reward dan punishment, guru dapat memastikan bahwa proses pembelajaran tidak hanya efektif tetapi juga menghargai martabat serta kesejahteraan psikologis setiap siswa
Daftar Pustaka
A. R. Hakim, "The Implementation of Rewards and Punishments in Teaching English at Ninth Grade Students of MTSN 2 Boyolali," IAIN Surakarta, 2018
F. N. Jones and B. F. Skinner, "The Behavior of Organisms: An Experimental Analysis," Am. J. Psychol., 1939.
Hamalik, Oemar, Kurikulum dan Pembelajran, Jakarta: Bumi aksara, 2013).
R. E. Slavin, "Educational Psychology: Theory and Practic, (5th Edition)," Needham Height. MA Allyn Bacon, 1997.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H