Singapore airlines, melalui anak perusahaan Scoot dan "tiger" serta Silk air sangat menguasai semua segmen, baik full service dan LCC maupun short dan long haul flights. Untuk menyaingi Silk air, GA sudah mampu membuktikannya, Namun untuk bersaing dengan Singapore airlines (SIA), kondisinya belum bisa dikatakan head to head competition. Beberapa hal yang belum bisa dilakukan oleh GA group saat ini adalah menciptakan Long haul LCC. Dengan melihat perkembangan Airasia dalam LCC, baik Citilink maupun Lion sangat ketinggalan jauh. Lion air group melakukan hal berbeda, yaitu dengan mendirikan Malindo dan Thai Lion, kemampuan dan jangkauan ekspansi maskapai ini cukup besar. Oleh karena itu, sebaiknya Citilink harus mulai diberi kesempatan ekspansi pada penerbangan di atas 5 jam, misalnya: batam-hongkong, dan batam - Jeddah. Batam-Hongkong bisa saja diterbangi dengan A320, sedangkan Batam-Jeddah, bisa dilakukan dengan stopover satu kali di India, dan selanjutnya ke Jeddah, atau GA memberikan satu A330-200 dengan konfigurasi 3-3-3 untuk dioperisakan untuk rute Batam-Jeddah.
Batam dianggap lebih baik sebagai hub internasional Citilink, mengingat semua kota besar lainnya sudah di terbangi secara internasional oleh GA, sehingga Batam akan jauh lebih bisa merepresentasikan LCC citilink. Selain itu, Batam ada diposisi tengah2 kota-kota berpenduduk terbesar di Indonesia. Strategi ini perlu dipertimbangkan kedepannya.
Fleet
Pengadaan armada baru mungkin salah satu yang paling besar dipertimbangkan oleh GA pada bulan-bulan belakangan ini. Perdebatan pemilihan antara Boeng 787-9 dan A350-900 dalam pemilihan armada untuk penerbangan medium to Long haul flight juga belum terselesaikan sampai dengan Desember 2015. Baik Boeing 787 maupun A-350, keduanya adalah pesawat ringan yang lebih efisien dari pesawat saat ini. Berbeda dengan pesawat aluminium, pesawat ini dirancang agar bisa mengurangi biaya operasional secara signifikan.
Pertanyaan kembali diperdebatkan, apakah A350 atau Boeing 787-9?
Berdasarkan beberapa tulisan yang dibuat oleh boeing dan Airbus, serta konfigurasi Seats yang telah diusung oleh beberapa maskapai, saya pribadi lebih cenderung untuk memilih Boeing 787-9, dikarenakan:
- Â Pesawat ini bisa dikonfigurasi untuk high density (3-3-3) atau super low density 2-4-2 untuk long haul
- Pesawat ini juga sangat effisien untuk penerbangan medium and long haul flight
- Garuda tidak memiliki Hub yang pas (jakarta dan Bali) mengingat kedua kota ini berada di selatan ASEAN, sehingga tidak diharapkan jumlah penumpang akan sangat meningkat dramatis untuk penerbangan internasionalnya.
- A350 sangat nyaman untuk konfigurasi 3-3-3, tetapi tidak bisa dikembangkan untuk konfigurasi 3-43 seperti boeing 777
Dalam peremajaan armada tersebut, Garuda sebenarnya tidak perlu mengorder sampai dengan 30 buah pesawat, mengingat penerbangan garuda belum ekspansif. GA juga masih secara aktif mengggunakan A330, B777 dan B747. Jadi, mengorder pesawat dalam jumlah besar akan bisa jadi bumerang bagi GA sendiri. Dibandingkan dengan Delta airlines-Amerika, maskapai ini cenderung memakai pesawat second hand, dikarenakan harga minyak saat ini juga tidak mahal (USD40/barel). Berbeda ketika harga minyak mencapai USD100/ barrel, maka maskapai perlu memperhitungkan secara effisien khususnya harga minyak/avtur. Model/strategi ini mungkin kurang cocok untuk garuda saat ini, namun melihat perkembangan yang ada, perlu pertimbangan ke arah ini, selama tingkat safety penerbangan dapat di jamin.
Inilah mungkin yang perlu diperhatikan oleh GA dalam mengantisipasi perbaikan operasional GA kedepan. Terkait masalah kemampuan pengelolaan keuangan dan hedging perusahaan, akan dibahas pada kesempatan yang lain. GA perlu kita dukung sebagai ambassador yang terbang melintas benua, memperkenalkan negeri ini, dan juga tempat orang-orang menafkahi keluarga (the employees).
GA
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H