Mohon tunggu...
Adrian Chandra Faradhipta
Adrian Chandra Faradhipta Mohon Tunggu... Lainnya - Praktisi pengadaan di industri migas global yang tinggal di Kuala Lumpur dan bekerja di salah satu perusahaan energi terintegrasi terbesar dunia.

Menggelitik cakrawala berpikir, menyentuh nurani yang berdesir__________________________ Semua tulisan dalam platform ini adalah pendapat pribadi terlepas dari pendapat perusahaan atau organisasi. Dilarang memuat ulang artikel untuk tujuan komersial tanpa persetujuan penulis.

Selanjutnya

Tutup

Gaya Hidup Artikel Utama

Mengenal Fenomena Pamer Harta (Flexing) dan Dampaknya bagi Kehidupan Kita

7 Februari 2022   12:41 Diperbarui: 7 Februari 2022   18:58 10410
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi Flexing. Sumber: pexels.com

Akhir-akhir ini banyak bersliweran di media sosial kita sejumlah public figure, selebgram, artis, pejabat, dan lain sebagainya yang pamer harta kekayaan mereka dalam bentuk uang, barang ataupun gaya hidupnya secara terang-terangan.

Sebut saja Sisca Kohl dengan gaya bicaranya yang khas memamerkan bagaiman dia membeli berbagai jenis barang dan makanan yang harganya puluhan huingga ratusan juta rupiah, bahkan tidak lupa juga dia mengajak para pengikutnya melakukan tur ke rumahnya yang mewah.

Sisca Kohl Pamer Gaya Hidup Mewahnya. Sumber: riau24.com
Sisca Kohl Pamer Gaya Hidup Mewahnya. Sumber: riau24.com

Ada lagi Juragan 99 yang memiliki perusahaan J99 Corp dengan gurita bisnisnya di dunia kosmetik dan lini bisnis lainnyya yaitu Gilang Widya Pramana dan Shandy Purnamasari yang memamerkan jet pribadinya serta aktivitasnya yang serba glamor dan mewah.

Juragan 99 dengan Private Jet Seharga 280 Miliarnya. Sumber: Instagram @shandypurnamasari
Juragan 99 dengan Private Jet Seharga 280 Miliarnya. Sumber: Instagram @shandypurnamasari

Lebih jauh ada juga Denise Chariesta yang tidak segan-segan memamerkan koleksi barang mewahnya disertai dengan nada jemawa khasnya sering juga terlibat perselisihan dan sensasi dengan public figure lainnya.

Terakhir ada pejabat di Kabupaten Tangerang yang secara sengaja memamerkan tumpukan uang di piring-piring dan mengunggahnya di media sosial.

Diketahui setelah menjadi viral dan mendapatkan kritik dari masyarakat sang pejabat itupun mengundurkan diri dari jabatannya.

Lalu bagaimana fenomena flexing ini eksis dalam keseharian kita dan bagaimana dampaknya bagi kehidupan sosial kita?

Berikut rangkumannya

Mengenal Fenomena Flexing di Indonesia

Flexing merupakan istilah gaul atau slang word yang sering digunakan untuk merujuk kepada perilaku orang-orang yang kerap memamerkan kekayaannya di media sosial.

Fenomena ini semakin marak akhir-akhir ini terjadi di Indonesia terlebih dengan hadirnya media sosial yang menghapus batasan privasi orang-orang untuk menampilkan eksistensinya. Cukup dengan beberapa klik saja unggahan dengan nuansa flexing dapat dilihat banyak orang bahkan menjadi viral.

Banyak pro kontra di masyarakat kita atas fenomena ini. Banyak yang mengkritik fenomena flexing adalah sebuah bentuk kesia-siaan dan hanya menajamkan kesenjangan di antara masyarakat kita saja, ada juga yang mengkritik bahwa yang suka flexing hanyalah orang-orang yang sbetulnya belum tentu kaya atau bisa jadi hanyalah tipuan semata hasil pinjaman dan editan semata.

Prof. Rhenald Kasali. Sumber: Youtube Prof. Rhenald Kasali
Prof. Rhenald Kasali. Sumber: Youtube Prof. Rhenald Kasali

Merujuk komentar guru besar Universitas Indonesia sekaligus juga pendiri Yayasan Rumah Perubahan, Prof. Rhenal Kasali yang mengatakan bahwa yang dia ketahui adalah jika orang semakin kaya dan benar-benar kaya seharusnya semakin senyaplah dia.

"Salah satu pepatah yang saya ingat adalah poverty screams, but wealth whispers. Jadi benar sekali bahwa orang-orang yang kaya itu tidak berisik, agak malu membicarakan tentang kekayaan," kata Prof Rhenald seperti dikutip dari akun Youtube pribadinya, Jumat (21/1/2022).

Prof. Rhenald Kasali pun menambahkan menurut pendapatnya jika orang yang benar-benar kaya tidak akan melakukan flexing justru dia akan semakin menjaga privasinya.

"Jadi agak malu membicarakan tentang kekayaan. Kalau orang-orang masih melihat label harga atau mempersoalkan uang, biasanya mereka belum kaya. Jadi orang kaya itu biasanya diam-diam saja lah," ujar Prof. Rhenald Kasali.

Secara umum saya sependapat dengan Prof. Rhenald hal ini, lihat saja bagaimana orang-orang ultra kaya seperti Elon Musk atau Mark Zuckeberg yang kita dengar hampir tidak pernah cawe-cawe memamerkan kekayaan di media sosial. Bahkan Elon Musk sendiri diberitakan tidak memiliki aset berupa rumah pribadi atau Mark Zuckeberg yang hanya mengenakan pakaian atau kaos polos dengan warna yang sama hampir setiap harinya.

Tapi tidak dipungkiri ada juga orang-orang yang memang kaya dan dengan berbagai alasan memamerkan kekayaan dengan motif agar mendapatkan banyak sanjungan, atau demi citra dirinya, ataupun motif bisnis dan aktualisasi dirinya.

Yang lebih mengkhawatirkan justru adalah fenomena flexing oleh orang-orang yang mengaku sok kaya dan menghalalkan segala cara termasuk meminjam atau menipu orang-orang untuk menunjukkannya di media sosial demi jumlah likes, pengakuan orang-orang bahkan niat buruk lainnya.

Bagi yang sudah menonton The Tinder Swindler di kanal Netflix pasti tahu bagaimana seorang penipu profesional dengan berbagai akal bulusnya menampilkan gaya hidup jetsetnya di media sosialnya dan dengan itu dia berhasil menipu banyak perempuan melalui aplikasi Tinder, padahal aslinya sang penipu membiayai gaya hidupnya tersebut dari hasil penipuan perempuan lainnya mirip dengan skema ponzi.

Di Indonesia jangan salah banyak juga penipu dari berbagai kalangan yang melakukan penipuan dan pemolesan citra dirinya dengan flexing.

Banyak yang suka menampilkan tas-tas bermerek atau berliannya di media sosial, eh tak tahunya tas tersebut terkonfirmasi palsu. Ada juga yang menampilkan mobil-mobil mewahnya, tak tahunya menunggak pembayarannya di leasing atau bank. 

Ada juga yang suka pamer saldo rekening banknya yang berjumlah miliaran, padahal hutangnya di bank jauh lebih besar. Ada juga yang pamer jalan-jalan dengan fasilitas VIP, tak tahunya adalah penipu para jemaah haji dan umroh.

Masyarakat banyak yang sudah tertipu dibuatnya, bahkan sampai memuja-muja mereka dengan penyematan status sultan, crazy rich, miliarder dan lain sebagainya padahal semua hanyalah kamuflase ataupun fatamorgana dalam media sosial.

Di lain sisi, fenomena flexing ini seolah menjadi ironi dan pembuat jarak yang lebar antara kelas sosial di masyarakat Indonesia yang sekarang maish berjuang dalam masa pandemi. 

Tak heran bahkan di Republik Rakyat Tiongkok dengan sistem sosialisnya melarang dan memberikan sanksi keras bagi para pelaku flexing terutama oleh public figure. Mereka tidak segan-segan menangkapi dan memenjarakan pelakunya.

Konsekuensi Flexing

Konsekuensi Flexing. Sumber: akutahu.com
Konsekuensi Flexing. Sumber: akutahu.com

Tidak ada asap, jika tidak ada api. Tidak akan ada reaksi, jika tidak ada aksi.

Begitupun dengan fenomena flexing pasti memiliki konseskuensinya baik bagi para pelaku, maupun masyarakat yang melihat fenomena flexing ini.

Bagi para pelaku flexing jika mereka paham sesungguhnya ada banyak hal negatif yang akan timbul jika dibandingkan dengan hanya eksistensinya saja di dunia media sosial atau tengah masyarakat kita.

Dampak yang paling kentara adalah ancaman keamanan. Bagaimana ketika mereka memamerkan kekayaan mereka di media sosial akan mengundang para pelaku kriminal untuk mengincar harta kekayaan mereka tersebut. Banyak kasus terjadi pencurian barang-barang berharga artis atau public figure akibat dari mereka memamerkannya secara terang-terangan di media sosial.

Sebut saja Kim Kardhasian yang pernah dirampok perhiasannya senilai jutaan dolar amerika ketika berada di Perancis. Diduga kuat para perampok mengintai posisi dan perhiasan Kim hasil dari penelusuran mereka di media sosial juga.

Ada juga Baim Wong yang eksis wara wiri di media sosial kecurian motor dan sejumlah ponsel untuk giveaway. Belakangan diketahui pelakunya adalah karyawannya sendiri.

Selain potensi mengundang pelaku kriminal, para pelaku flexing juga pasti akan dikejar oleh Direktorat Jenderal Pajak yang hari ke hari semakin aktif memonitor pergerakan para public figure apalagi yang sering pamer harta kekayaan.

Komentar Dirjen Pajak RI Terhadap Mobil Baru Raffi Ahmad. Sumber: detik.com
Komentar Dirjen Pajak RI Terhadap Mobil Baru Raffi Ahmad. Sumber: detik.com

Masih ingat dulu ketika Raffi Ahmad membeli mobil mewah baru ataupun Juragan 99 membeli pesawat jet baru, Dirjen Pajak langsung saja berkomentar di akun media sosial terkait mengingatkan untuk kewajiban pajaknya yang tentu jumlahnya tidaklah sedikit.

Tidak hanya itu aliran dana dan sumber keuangan dari yang bersangkutan bisa saja dicek oleh pihak berwajib jika ditengarai ada kejanggalan. Kasus Eks Pramugari Garuda, Siwi Widi Putranti yang ternyata terbukti menerima aliran dana dari kasus suap mantan Dirjen Pajak, Wawan Ridwan adalah contohnya.

Dampak flexing juga bisa dirasakan oleh masyarakat yang menjadi pengikut ataupun yang sekadar wara wiri di media sosial. Dengan melihat tingkah polah flexing para public figure ataupun orang-orang lainnya perasaan insecure bahkan stres akan hidup mereka ataupun merasa rendah diri serta kurang bersyukur atas apa yang kita miliki.

Hal ini menjadi umum terjadi ketika terus menerus dibombardir oleh unggahan para pelaku flexing yang dengan mudahnya mendapatkan harta kekayaannya entah dari hasil halal ataupun haram atau bahkan sekadar tipu-tipu. Sedangkan kita harus bersusah payah dengan berbagai upaya hanya untuk bertahan hidup.

Sangat dimungkinkan juga akan timbul rasa ketidakadilan, kecemburuan sosial serta pemberontakan apalagi jika diketahui flexing dilakukan oleh para pejabat publik yang ditengarai menyalahgunakan kekuasaan dan jabatannya, ataupun perseorangan yang dikenal tidak memberikan kontribusi optimal bagi masyarakat dan lingkungannya. Jika dibiarkan dapat menjadi bahaya laten atas tatanan kehidupan sosial bermasyarakat kita.

Oleh karena itu, sebelum memamerkan kekayaan kita dan gaya hidup kita ada baiknya selalu ajukan pertanyaan seperti apakah hal ini perlu dan berguna? Apakah ini memiliki dampak positif ataukah tidak bagi kita dan para pengikut kita? Apakah mudharat-nya lebih banyak dibandingkan manfaatnya?

Alangkah baiknya jika kita berlaku ewajarnya, jangan berlebih-lebihan, karena apapun yang berlebih-lebihan hanya akan mendatangkan kesia-siaan bahkan keburukan bagi diri kita sendiri.

Paling penting jangan lupa untuk bersyukur dan berkontribusi bagi sekitar.

Ya, langit tidak perlu mengatakan dirinya tinggi karena seyogyanya dia sudah tinggi dan di atas langit masih ada langit.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Gaya Hidup Selengkapnya
Lihat Gaya Hidup Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun