Jumat kemarin (9/01/21) kita kembali dikagetkan dengan bencana alam yang seolah menjadi langganan di wilayah Indonesia, yaitu gempa bumi.
Gempa bumi terjadi di daerah sekitar Mamuju dan Majene, Sulawesi Barat meluluhlantakkan berbagai bangunan serta memakan banyak korban jiwa, bahkan kantor Gubernur Sulawesi Barat yang menjadi kebanggaan masyarakat pun tak lepas dari dampak gempa ini.
Struktur bangunan utama runtuh dan tidak layak untuk digunakan kembali. Jaringan telekomunikasi dan listrik pun terganggu karena gempa ini.
Indonesia tentu tidak kali ini saja dilanda gempa bumi, ada ratusan bahkan ribuan kali kita dilanda gempa sejak Indonesia berdiri dari yang berskala kecil sampai besar, bahkan skala sangat besar yang dapat menimbulkan tsunami seperti gempa di Aceh pada 2004.
Berbagai rangkaian peristiwa ini tidak juga membuat pemerintah dan kita membuat sebuah terobosan besar serta pengawasan dan pengecekan lapangan dalam dunia konstruksi bangunan rumah atau gedung agar tahan terhadap gempa dalam skala tertentu, padahal fakta di lapangan jumlah korban jiwa justru berjatuhan banyak karena tertimpa runtuhan gedung.
Indonesia Berada di Zona Ring of Fire
Selain itu juga Indonesia berada di atas tiga pertemuan lempeng benua, yaitu Indo-Asia Selatan, Eurasia di utara, dan Pasifik dari timur.
Karena berada di zona cincin api inilah di Indonesia banyak ditemukan gunung berapi baik yang aktif maupun tidak aktif, sekaligus juga menempatkan Indonesia sebagai salah satu negara dengan jumlah gempa dan erupsi gunung berapi terbanyak di dunia.
Hampir seluruh pulau besar di Indonesia tidak aman dari ancaman gempa bumi, hanya Kalimantan yang dinilai cukup rendah risiko dilanda gempa buminya.Â
Namun, jika dicek di lapangan hanya sedikit sekali gedung-gedung dan hunian yang dirancang untuk tahan gempa. Padahal faktanya sudah ada aturan yang mengikat terkait konstruksi tahan gempa untuk perkantoran dan hunian.
Aplikasi dan Pengawasan yang Sangat Minim
Adanya aturan oleh Kementerian Pekerjaan Umum serta aturan lainnya yang terkait semisal SNI 03-1726-2002 oleh Departemen Pekerjaan Umum (Kementerian PUPR) pengganti dari Standar Nasional Indonesia SNI 03-1726-1989 ataupun FEMA  450 yang diterbitkan  oleh Building Seismic Safety Council (BSSC) nyatanya tidak membuat seluruh pihak dengan disiplin mematuhi aturan tersebut.
Lihat saja ketika gempa dengan skala yang tidak besar meski episentrum cukup jauh dari pemukiman sering kita lihat hunian dan gedung perkantoran yang runtuh sepenuhnya, mungkin jika hanya retak dan tidak merusak struktur bangunan masih ditolerir untuk diperbaiki, namun jika sampai runtuh maka ada sesuatu yang salah dari konstruksi gedung tersebut.
Kejadian di Sulawesi Barat terakhir memperlihatkan bagaimana banyak konstruksi bangunan seperti Kantor Gubernur Provinsi Sulawesi Barat serta rumah warga yang dibuat tidak tahan gempa untuk skala tertentu. Padahal Sulawesi Barat diketahui sebagai salah satu daerah yang dilalui ring of fire.Â
Hal sama juga terlihat ketika gempa bumi terjadi di Palu, Sulawesi Tengah pada 2019 dan gempa bumi di Yogyakarta pada 2006
Layaknya sebuah aturan yang kosong, aturan tentang konstruksi tahan gempa pun hanyalah sebuah aturan yang sangat minim pengawasan baik dari pemerintah pusat melalui kementerian serta instansi terkait maupun pada level pemerintahan daerah.
Jepang mungkin bisa dijadikan contoh dalam aplikasi konstruksi tahan gempa, di mana pemerintah sangat mengawasi pembangunan dan konstruksi bangunan lebih-lebih terkait aturan tahan gempa baik dari desain, material, konstruksi pengerjaan, bahkan perawatan.
Jepang tidak segan-segan memberikan sanksi berat bagi para pelanggar aturan, selain itu juga kepedulian masyarakatnya akan pentingnya bangunan tahan gempa tidak perlu lagi diragukan, tertanam konsep disiplin komunal serta juga kesadaran bahwa investasi dalam gedung yang tahan gempa adalah untuk diri mereka sendiri bukan hanya sekadar aturan.
Di Indonesia sendiri sebenarnya banyak kearifan lokal yang dapat menjadi inspirasi dalam penerapan gedung tahan gempa.
Namun, sekali lagi sangat mendesak perlu ada konsistensi dan komitmen baik dari pemerintah selaku regulator dan pengawas dan masyarakat, kontraktor ataupun pihak terkait dalam aplikasi pembangunan hunian ataupun gedung tahan gempa. Dari hulu ke hilir serta pengawasan berulang menjadi wajib diterapkan terutama di daerah yang sangat rawan ancaman gempa dan dilalui oleh ring of fire.
Jangan hanya sebatas mengeluarkan aturan dan izin, namun melupakan aspek pengawasan dan pengecekan oleh pihak pemerintah. Sebaliknya bukan hanya membangun dan melupakan aspek ketahanan gempa serta perawatan yang dibutuhkan bagi para pemilik rumah, pemilik gedung serta kontraktor terlebih di daerah yang rawan bencana gempa bumi.
Benar kita tentu tidak bisa menghindari takdir dari bencana alam semisal gempa bumi, namun kita dibekali akal untuk bisa bersiap dan meminimalisasi jika bencana tersebut terjadi.
Dengan komitmen dan kerja sama yang apik dari semua pihak maka semua terasa tidak mustahil.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H