Adalah sebuah bentuk ekspresi keresahan dan kekecewaan yang wajar ketika masyarakat ramai-ramai meneriakkan #mositidakpercaya kepada pemerintah Republik Indonesia dan para anggota DPR yang secara terburu-buru mengesahakan Rancangan Undang Undang Cipta Kerja  (RUU Cipta Kerja) menjadi Undang-Undang.
RUU Cipta Kerja ini tergolong sebagai Omnibus Law atau Undang-undang Sapu Jagad karena dia memuat 1.203 pasal yang terkait revisi berbagai hal dalam 73 Undang-Undang yang telah ada sebelumnya.
RUU Cipta Kerja ini sedari awal telah mengundang kecemasan para pihak karena diusulkan dan disusun pemerintah serta dibahas di DPR secara tidak terbuka dan seperti "kucing-kucingan". Di awal pembahasan RUU Cipta Kerja ini masyarakat bahkan jurnalis cukup sulit memperoleh draft awalnya bahkan draft finalnya saja masih ada anggota DPR RI yang belum menerima naskah finalnya serta di laman DPR pun belum muncul versi final aslinya.
Di dalam RUU Cipta Kerja yang telah disahkan menjadi Undang-Undang ini banyak sekali problematika dan permasalahan yang dinilai justru berpotensi menyengsarakan rakyat dan bangsa. Dari isu pengupahan tenaga kerja, isu ekploitasi alam dan dampak lingkungan, dan bahkan pendidikan.Â
Berbagai Pasal di dalamnya diindikasikan hanya mengakomodir kepentingan pengusahan dan kaum elit di negeri ini, melupakan amanah dan kepentingan rakyat yang sedang dihimpit pandemi sekaligus juga ekonomi.
Dalam perkembangannya diketahui telah dilakukan setidaknya 64 kali rapat pembahasan terkait RUU Cipta Kerja seperti disampaikan Ketua Badan Legislasi DPR Supratman Andi Agtas pada Rapat Paripurna 5 Oktober 2020.
"Baleg bersama pemerintah dan DPD telah melaksanakan rapat sebanyak 64 kali: dua kali rapat kerja, 56 kali rapat panja, dan enam kali rapat timus/timsin yang dilakukan mulai Senin sampai Minggu, dimulai pagi hingga malam dini hari," ujar Supratman.Â
"Bahkan masa reses tetap melakukan rapat baik di dalam maupun luar gedung atas persetujuan pimpinan DPR," tutur dia yang dikutip Kompas.com
Pembahasan RUU Cipta Kerja ini juga dinilai sangat terburu-buru untuk sekelas Undang-Undang sapu jagad yang memuat banyak isu dapat diselesaikan hanya dalam hanya dalam kisaran waktu 7 bulan.
Sedari awal Omnibus Law RUU Cipta Kerja ini diusulkan pihak pemerintah Jokowi lalu masuk dalam pembahasan dengan DPR sangat minim partisipasi dari publik khususnya untuk elemen-elemen terkait dalam bahasan RUU.
Hal ini senada dengan yang disampaikan oleh Ketua Pusat Kajian Anti Korupsi (PUKAT) Universitas Gadjah Mada (UGM), Once Madril yang dikutip Kompas.com
"Minimnya keterbukaan dan partisipasi publik membuat draft RUU Cipta Kerja rawan disusupi oleh kepentingan tertentu yang hanya menguntungkan segelintir pihak saja.", ungkap Once.
Dari uraian tadi mungkin ada yang terlewat bagi kita apakah sadar bahwa yang duduk di senayan serta istana negara adalah buah proses pemilihan umum selama ini. Mungkin banyak dari kita yang memilihi mereka yang berhasil melenggang ke senayan ataupun istana ternyata ya pilihan kita juga.
Dari pengesahan UU Cipta Kerja ini kita semakin belajar bahwa pilihan kita di senayan dan istana benar-benar dapat memiliki dampak besar bagi arah dan perkembangan bangsa.
Sekarang mungkin banyak yang menyesal pernah memilih para calon legislatif dan eksekutif yang duduk di senayan dan istana negara. Berbagai pertanyaan seperti mengapa mereka bertindak seperti mementingkan golongannya saja? Mengapa mereka menutup mata pada masa depan rakyat dan bangsa? Mengapa mereka tergesa-gesa
Penyesalan memang datang belakangan, namun tidak ada kata terlambat untuk belajar.
Sementara di tahun 2024 mendatang kita kembali bergabung dalam euforia pesta demokrasi melalui pemilihan presiden dan wakil presiden serta para anggota legislatif yang akan berkantor di senayan
Pada waktu tersebut sudah saatnya kita "membalas dendam" untuk tidak kembali memilih para calon legislatif yang mendukung omnibus law UU Cipta kerja ini
Begitupun dalam cabang kekuasan eksekutif, apakah kita masih akan terjebak pada janji-janji di masa kampanye semata lalu merana ketika yang kita pilih berkuasa?
Bagi yang selama ini memutuskan untuk menjadi golongan putih entah karena merasa suaranya tak berharga ataupun muak dengan keadaan seharusnya peran kalian sungguh menentukan ketika pemilu kembali dilangsungkan.
Tidak memilih juga sama dengan membiarkan keadaan dan itu sama juga dengan memuluskan mereka yang punya "agenda" untuk berkuasa.
Di lain sisi, bagi para pemilih yang asal-asalan memilih calon legislatif dan eksekutif hanya berdasarkan tampang, gelar apalagi popularitas harus kembali berpikir ulang karena sejatinya itu semua tidak menjamin kecakapan dan keberpihakan mereka terhadap kepentingan rakyat.
Bayangkan jika golongan putih serta pemilih asal-asalan ini ada dalam jumlah yang besar dan terus diulang maka hasil pemilu layaknya seperti bualan, minim kualitas minim partisipasi serta juga legitimasi.
Itulah pentingan untuk secara aktif melihat rekam jejak, mencari informasi yang sesuai melalui berbagai media dan saluran serta juga melakukan studi kecil-kecilan untuk menentukan pilihan kita.
Merepotkan? Bisa jadi demikian apalagi jika pilihan sangat banyak tetapi itulah kehidupan berdemokrasi harus siap untuk menyiapkan solusi atas risiko yang akan kita jalani.
Satu lagi adalah kita harus ingat dan catat siapa-siapa saja anggota DPR dan juga bagian pemerintah yang menjadi aktor pendukung RUU Cipta Kerja kali ini, karena bisa jadi akan menjadi referensi kita dalam memilihi dalam pemilu mendatang.
Akhirnya jika kita tidak ingin melihat para penguasa di senayan dan istana kembali hadir untuk mengkhiantai amanah rakyat, maka semakin pintar dan bijaklah kita dalam memilih calon di pemilu selanjutnya.
Sudah cukup kita dikhianati, sudah cukup kita dikibuli.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H