Meski terjadi gencatan senjata pada 1994, namun tensi kedua negara tidak juga surut karena sengketa wilayah ini.
Akhirnya pada 2016 meletus kembali konflik dua negara bertetangga ini hingga memakan korban sekitar 100 orang jiwa.
Wilayah Nagorny Karabakh banyak dihuni oleh keturunan Armenia yang beragam Kristen bersama dengan keturunan Turki yang beragama Syiah.
Secara internasional Karabakh telah diakui sebagai bagian Azerbaijan. Namun banyak kepentingan yang hadir di wilayah ini semakin membuat konflik menjadi runyam
Sejak dulu diketahui bahwa Turki memberikan dukungan terhadap perjuangan Azerbaijan sedangkan Rusia berada dipihak Armenia karena kedekatan politis dan social.
Dalam kejadian kali ini, Presiden Turki Tayyib Erdogan mengatakan bahwa Armenia adalah ancaman terbesar perdamaian di kawasan Pegunungan Kaukasia. Dia juga mendesak dunia internasional untuk tidak diam dalam perihal yang dia sebut perlawan melawan invasi dan kekejaman. Selain itu Turki.
Atas komentar Erdogan ini, Perdana Menteri Armenia Nikol Pashinya memperingatkan Turki untuk tidak campur tangan dalam konflik kedua negara.
Presiden Rusia Vladimir Putin dikabarkan langsung mengontak Perdana Menteri Armenia terkait hal ini dan menyarankan untuk menurunkan tensi serta menyesalkan perang pecah kembali. Menteri Luar Negeri Rusia Sergey Lavrov dikabarkan menginisiasi langkah agar kedua pihak dapat segera menerapkan gencatan senjata dan berunding untuk mencari jalan keluar terbaik.
Amerika Serikat melalui Kementerian Luar Negerinya menghimbau kedua belah pihak untuk segera menghentikan perang kembali ke meja negosiasi agar korban tidak semakin berjatuhan.
Hal senada juga disampaikan Sekjen PBB Antonio Guterres melalui juru bicaranya, Stephanie Dujarric yang menyatakan sangat khawatir akan berlanjutnya konflik kedua negara serta menghimbau mereka untuk menghentikan segera peran dan kembali ke meja perundingan. Guterres direncanakan akan mengontak langsung Presiden Azerbaijan Ilham Aliyev dan Perdana Menteri Armenia Nikol Pashinyan.