Kita tentu masih mengingat bagaimana SBY sebagai Presiden serta negarawan kerap menyampaikan pidatonya di Sidang Majelis Umum PBB dengan isi yang kritis tetapi membangun serta solutif terhadap isu dan permasalahan global.
SBY juga kerap menyampaikan bagaimana perkembangan kemajuan di Indonesia dari berbagai sektor sehingga forum siding umum di markas PBB dapat dinilai sebagai strategi pemasaran SBY untuk Indonesia terhadap masyarakat dan investor global.
Bahkan SBY juga sempat menyisipkan Bahasa Indonesia dalam pidatonya seperti "di mana ada kemauan, di situ ada jalan" dalam pidatonya dalam Sidang Majelis Umum PBB ke-69 di New York.
Tahun ini harusnya menjadi momen pertama dan spesial bagi Jokowi untuk tidak melewatkan berpidato di Sidang Majelis Umum PBB. Selain karena Jusuf Kalla sudah mangkat dari jabatannya sebagai Wakil Presiden dan digantikan oleh Maaruf Amin yang dengan segala hormat belum memiliki track record mumpuni dalam kancah internasional.Â
Selain itu merujuk Presiden Majelis Umum PBB Tijjani Muhammad-Bande melalui surat kepada negara-negara anggota PBB pada 10 Juni 2020 waktu New York dinyatakan bahwa pidato kepala negara/pemerintahan negara anggota tahun ini tidak akan dilakukan secara langsung di Markas PBB di New York, namun dengan format direkam terlebih dahulu dengan batasan durasi tertentu untuk disiarkan dalam Sidang Majelis Umum PBB pada 22-29 September 2020 ini.
Setiap negara anggota pun hanya diperbolehkan mengirimkan satu diplomatnya untuk hadir dalam sidang tersebut di markas besar PBB di New York dan seluruh pidato dan sidang akan disiarkan secara virtual untuk disaksikan oleh korps diplomatik negara-negara anggota dan pimpinan negara/pemerintahan.
Dengan format rekaman ini harusnya jika alasannya kurang piawainya Jokowi berpidato dapat disiasati dengan teks pidato yang disiapkan terlebih dahulu oleh Tim Kepresidenan. Tidak ada keharusan seorang kepala negara/pemerintahan harus menggunakan bahasa Inggris atau empat bahasa resmi PBB lainnya.Â
Kita tentu ingat bagaimana Ahmadinejad Mantan Presiden Iran dengan berapi-api berpidato cukup lama dengan bahasa Farsi/Persia-nya. Presiden Xi Jin Ping dari Tiongkok pun selalu menggunakan bahasa Mandarin bahkan Erdogan pun selalu menggunakan bahasa Turki dalam pidatonya di PBB.
Jadi jika Presiden Jokowi menggunakan bahasa Indonesia pun sangat amat dapat diterima oleh seluruh pemimpin negara di dunia karena mereka adalah pemimpin negara/pemimpin pemerintahan suatu negara bukan ahli bahasa ataupun penerjemah justru ini dapat menjadi momen Jokowi untuk mengenalkan bahasa Indonesia dengan jumlah penutur ratusan juta di seluruh dunia, pun jika cakap dan fasih berbagai bahasa seperti Vladimir Putin akan menjadi nilai tambah tapi tidak mengurangi makna dari pidato kepala negara/pemerintahan tersebut.
Gestur, intonasi dan aspek lainnya dalam pidato seharusnya sudah cukup fasih Jokowi pelajari karena sebagai kepala negara dan pemerintahan dia sudah sangat sering untuk menyampaikan berbagai sambutan dan pidato kenegaraan dalam berbagai kesempatan.