Mohon tunggu...
Adrian Chandra Faradhipta
Adrian Chandra Faradhipta Mohon Tunggu... Lainnya - Praktisi pengadaan di industri migas global yang tinggal di Kuala Lumpur dan bekerja di salah satu perusahaan energi terintegrasi terbesar dunia.

Menggelitik cakrawala berpikir, menyentuh nurani yang berdesir__________________________ Semua tulisan dalam platform ini adalah pendapat pribadi terlepas dari pendapat perusahaan atau organisasi. Dilarang memuat ulang artikel untuk tujuan komersial tanpa persetujuan penulis.

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Asa New Normal Pemerintah Indonesia yang Terkesan Tergesa-gesa

27 Mei 2020   12:31 Diperbarui: 27 Mei 2020   12:28 489
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Presiden Jokowi mengunjungi Summarecon Mall Bekasi. Sumber: Tempo.co

Heboh di linimasa Presiden Jokowi mengunjungi salah satu pusat perbelanjaan terkenal di Bekasi untuk mengecek persiapan pusat perbelanjaan dan sektor bisnis lainnya menyongsong reaktivasi roda perekonomian dalam skema baru "New Normal" atau kenormalan baru yang merujuk pada gaya hidup baru untuk berdampingan dengan situasi pandemi COVID-19.

Hal ini banyak menjadi pertentangan warga karena mengingat kondisi pertumbuhan kurva kasus positif baru COVID-19 di Indonesia jauh dari kata melandai apalagi menurun. Belum lagi rasio jumlah pengetesan massal terhadap total penduduk Indonesia sangatlah kecil dibandingkan negara-negara dengan jumlah penduduk terbesar di dunia.

Melansir Tirto.id per 20 Mei 2020 baru sekitar 173.690 spesimen dari 127.813 orang yang diperiksa dengan metode RT-PCR maupun TCM. Jika angka tersebut dibandingkan dengan total penduduk Indonesia yang lebih dari 270 juta jiwa maka rasionya sangat kecil. Disamping itu, pengujian rapid tes dengan alat yang diimpor dari berbagai negara diduga tidak efektif dan memiliki akurasi yang kecil, sehingga wajar banyak pihak meragukan data yang dikeluarkan pemerintah hanyalah fenomena iceberg saja tidak merefleksikan kenyataan di lapangan yang bisa saja jauh lebih besar.

Sinyal yang Keliru

Gerak-gerik pemerintah yang sudah berancang-ancang dalam waktu dekat untuk kembali mengaktifkan kembali roda perekenomian seperti pusat perbelanjaan, fasilitas umum, restoran dan lain sebagainya meski dengan menerapkan protokol kesehatan mendapat kritik juga dari salah satu anggota Ombudsman, Alvin Lie.

"Langkah ini agak tergesa-gesa mengingat bahwa hingga saat ini jumlah penduduk yang positif Covid di seluruh Indonesia masih terus bertambah setiap hari, belum melandai apalagi menurun," kata Alvin Lie, seperti dikutip dari Suara.com, Selasa (26/5/2020).

Sinyal pemerintah ini juga cenderung membuat simpang siur dan kebingungan di tengah masyarakat. Karena di masa sekarang masih banyak daerah yang melaksanakan prosedur PSBB. Belum lagi di lain sisi banyak pihak dari pemerintah yang masih menyarankan untuk berdiam diri di rumah selama pandemi dan melakukan physical distancing.

Jika pusat perbelanjaan dan sebagainya dibuka apakah tidak kontradiktif dengan anjuran berdiam di rumah dan melakukan physical distancing. Tidak mungkin pusat perbelanjaan hanya dibiarkan dibuka tanpa ada yang berbelanja bukan? Langkah pemerintah ini tentu akan menjadi justifikasi baru untuk masyarakat untuk beramai-ramai berbelanja dan berkumpul.

Lebih mengherankan adalah pernyataan dari Sekretaris Asosiasi Pengusaha Ritel Indonesia (Aprindo) kepada Kontan yang menginformasikan secara prinsip mendukung keputusan pemerintah yang berencana menerapkan new normal dalam waktu dekat. Namun ditambahkannya dia belum tahu bagaimana pelaksanaannya bagi retail modern karena saat ini dia belum menerima surat resmi terkait tata laksana new normal bagi bisnis retail di Indonesia sehingga mereka masih merujuk aturan lama sesuai protokol yang berlaku namun disesuaikan dengan kondisi usaha setiap anggota Aprindo.

Masyarakat berkerumun ketika Presiden Jokowi mengunjungi Summarecon Mall Bekasi. Sumber: Viva.co.id
Masyarakat berkerumun ketika Presiden Jokowi mengunjungi Summarecon Mall Bekasi. Sumber: Viva.co.id

Instruksi dan sinyal yang terlalu dini ini bisa saja disalahartikan para pengusaha dan masyarakat nantinya. Contoh kecil saja ketika kunjungan ke Summarecon Bekasi berapa banyak masyakarat yang berkerumun hanya untuk melihat kehadiran presiden tersebut. Beberapa media bahkan menyiarakan bahwa Presidenlah yang akan membuka mal tersebut.

Pola komunikasi yang cenderung dipenuhi gestur dan sinyal yang kurang tepat harusnya dihilangkan di masa pandemi ini. Pemerintah harus maju menjadi panglima dan menjelaskan serta membuka seluruh data secara terbuka karena jika sampai banyak kesimpangsiuran maka status quo akan diisi oleh berita hoax dan penyesatan yang semakin membahayakan bagi kondisi sosial masyarakat kita.

Sadar Diri dan Tidak Perlu Tegesa-gesa

Kita paham bahwa kondisi Indonesia saat ini bak sudah jatuh tertimpa tangga pula. Indonesia harus terseok-seok karena dana ratusan triliun dari APBN harus dikeluarkan guna menanggulangi COVID-19 ini beserta dengan dampak turunannya. Selain itu juga Indonesia harus mengalami perlambatan perekonomian di berbagai sektor vital dari retail, manufaktur, transportasi, UMKM dan lain sebagainya belum lagi ditambah dengan peningkatan jumlah PHK dan pengangguran terbuka.

Pemerintah seperti akan memakan buah simalakama, antara kesehatan masyarakat dan ekonomi yang mana menjadi prioritas. Karena keduanya vital menunjang kesejahteraan rakyat.

Namun, nampaknya kita perlu mengutip pernyataan Presiden Ghana, Nana Akufo-Addo dalam cuitan Twitter Resminya 28 Maret 2020 yang mengatakan, "Kami tahu cara menghidupkan kembali ekonomi. Yang kami tidak tahu adalah bagaimana menghidupkan kembali orang yang mati". Nyawa dan keselamatan masyarakat adalah hal yang seharusnya tidak dapat ditawar-tawar hal ini sudah menjadi prinsip utama membangun bangsa.

Pemerintah harusnya menyusun dan memformulasikan kebijakan berbasis dengan data, tidak bisa hanya memuaskan kepentingan sebagian pihak saja, namun secara serampangan mengakibatkan kesehatan masyarakat dalam bahaya.

Pemerintah harusnya sadar bahwa lonjakan kasus positif yang menyentuh angka 973 per hari baru-baru ini terjadi tepat beberapa hari sebelum momen Idul Fitri dimana kemungkinan besar masyarakat berinteraksi dan berkumpul. Kurva penderita COVID-19 di Indonesia belum menunjukkan perlandaian apalagi penurunan signifikan belum lagi banyak pihak yang skeptis terhadap data sesungguhnya di lapangan jauh lebih besar dari informasi yang disampaikan pemerintah.

Kita semua harusnya mawas diri bahwa Indonesia bukanlah Jepang yang masyarakatnya sudah sangat terbiasa dengan kehidupan yang disiplin dan peduli akan higienitas dan kebersihan. Jepang tanpa penerapan PSBB yang masih, lockdown, ataupun pembatasan yang berlebihan secara ajaib dapat menekan angka kematin dan pertumbuhan kasus positif di negaranya. Bahkan, Perdana Menterinya baru-baru ini mencabut status darurat di seluruh Jepang. Banyak ahli epidemiologi yang takjub akan cara Jepang menanggulangi COVID-19.

Hal tadi juga tidak jauh berbeda dengan yang terjadi di Taiwan. Masyarakat di sana juga terkenal dengan masyarakat yang disiplin dan mencintai kebersihan. Disamping itu juga Respon pemerintahnya yang sangat tanggap di awal pandemi terjadi dengan melarang pelancong dari Tiongkok daratan, Hongkong dan Macau, membatasi pergerakan warganya serta memberikan data yang terkini, akurat serta terbuka kepada masyarakatnya banyak diapresiasi oleh dunia. Terlebih kita tahu bahwa Taiwan sendiri bukan merupakan anggota WHO dan tidak mendapatkan dukungan maksimal dari lembaga kesehatan dunia itu.

New Normal di Vietnam. Sumber: CNN Indonesia
New Normal di Vietnam. Sumber: CNN Indonesia

Lebih luar biasa adalah yang dilakukan oleh Vietnam. Posisi geografis Vietnam yang berbatasan langsung dengan Tiongkok ditambah dengan rendahnya aksesibilitas dan jumlah fasilitas kesehatan yang tersedia tentu menjadikannya sangat rentan terhadap penyebaran Virus Corona ini. Tapi yang dilakukan Vietnam sangat patut diacungi jempol, sejak kasus pertama muncul di akhir Januari 2020 pemerintah mereka secara sporadis dan terkesan ekstrem melakukan berbagai hal dari penutupan sekolah, melakukan tracing dan tes besar-besaran serta kebijakan strategis lainnya. Mereka sangat paham semakin cepat melakukan aksi dan penanggulangan semakin cepat pula mereka akan pulih dan menang. Hasilnya Vietnam tanpa kasus satupun yang meninggal dan hampir seluruh pasiennya pasien yang positif pulih dalam tempo yang sangat cepat. Vietnam pun sekarang sudah masuk pada fase new normal yang sebenarnya.

Penanganan negara-negara tadi jauh berbeda dengan yang ada di Indonesia. Di awal terjadinya pandemi ini bahkan beberapa pejabat teras negara menjadikan virus ini sebagai lelucon bahkan Menteri Kesehatan seolah meremehkan kasus penyebaran COVID-19. Belum lagi tidak adanya ketegasan serta mis-koordinasi antar-bagian pemerintahan baik pusat maupun daerah. Walhasil dikala negara-negara tadi sudah pulih dan memasuki new normal, Indonesia masih berjibaku untuk sekadar melandaikan kurvanya.

Entah latah ataupun sudah kebingungan karena ekonomi berantakan, kita juga akhirnya dihadapkan kenyataan inisiasi pemerintahan untuk segera melakukan new normal padahal fase melandaikan kurva masih belum kita lewati. Banyak pihak yang belum siap untuk fase new normal ini karena mereka paham dan melihat kenyataan di lapangan. Sebut saja Gubernur Jawa Tengah, Ganjar Pranowo yang menyatakan daerahnya belum siap untuk melakukan skenario new normal.

"Sebenarnya new normalnya harus kita siapkan. Cuma kalau Jawa Tengah mau new normal sekarang, saya belum siap, jangan dulu," ungkapnya dalam sebuah acara webinar (26/05/2020).

Ditambahkan juga oleh Ganjar bahwa kurva penderita COVID-19 saat ini masih fluktuatif dan belum menurun sehingga untuk menerapkan new normal pada masa sekarang sepertinya sangat riskan.

Sedangkan menurut Ridwan Kamil, Gubernur Jawa Barat dalam wawancara dengan Tribunnews (26/05/2020) menekankan bahwa pemberlakuan new normal di Jawa Barat harus berbasis data dan jika memungkinkan maka baru diterapkan.

Narasi untuk mempertimbangkan data serta melihat kurva kasus positif di Indonesia yang belum melandai nampaknya masih belum menjadi fokus perhatian pemerintah pusat. Belum lagi kerancuan tentang PSBB yang masih diterapkan di berbagai daerah dengan berbagai pembatasannya tentu tidak sinkron dengan mekanisme new normal yang beredar belakangan ini.

Lebih jauh menurut Pakar Epidemiologi dan Biostatisik Fakultas Kesehatan Masyarakat (FKM) Universitas Indonesia (UI) Pandu Riono setidaknya ada tiga syarat utama yang harus dimiliki jika ingin menerapkan kehidupan new normal. Pertama adalah kasus meninggal dan Orang Dalam Pemantauan sudah menurun dan ini harus dilakukan evaluasi data rutin setiap dua minggu, jika konsisten barulah new normal dapat menjadi opsi.

Syarat kedua adalah layanan test baik rapid test dan PCR yang tersedia dan mudah diakses masyarakat terkait juga dengan hal tersebut contact tracing perlu optimal dilakukan demi memetakan sebaran wilayah penularan virus. Terakhir adalah adanya layanan kesehatan serta alat-alat kesehatan yang memadai dan mudah diakses masyarakat.

Dari ketiga syarat tersebut berdasarkan data hampir semuanya belum bisa dipenuhi oleh Indonesia. Kurva yang masih fluktuatif bahkan naik, rapid test dan PCR yang masih kecil rasionya dibandingkan jumlah penduduk serta masih banyaknya kendala dan keterbatasan atas alat kesehatan serta layanan kesehatan di Indonesia semakin menguatkan bahwa new normal adalah bukan opsi yang segera dapat diterapkan.

Selain itu juga, sekarang banyak pihak termasuk pengusaha serta masyarakat umum yang bingung akan kebijakan-kebijakan yang dilakukan pemerintah akhir-akhir ini. Padahal keterbukaan informasi, ketegasan, serta tranparansi adalah yang dibutuhkan masyarakat. Frasa hidup berdampingan dengan Virus Corna yang disampaikan Presiden baru-baru ini serta melawan Virus Corona oleh Presiden sendiri sebelumnya dan beberapa pernyataan punggawanya pun banyak membuat banyak pihak mengernyitkan dahi karena bingung dan kontradiktif.

Ya dapat kita simpulkan bahwa kesan tergesa-gesa tidak dapat dihindari atas kebijakan pemerintah terhadap fase new normal ini. Masih banyak tahap dan prasyarat yang harus dipenuhi Indonesia sebelum melakukan gaya hidup tersebutl. Pemerintah perlu hati-hati dalam mengkaji dan menganalisis data dan informasi sebelum mengeluarkan sebuah kebijakan. Ingat bahwa gagal dalam perencanaan adalah sama dengan merencanakan kegagalan kita sendiri.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun