Penanganan negara-negara tadi jauh berbeda dengan yang ada di Indonesia. Di awal terjadinya pandemi ini bahkan beberapa pejabat teras negara menjadikan virus ini sebagai lelucon bahkan Menteri Kesehatan seolah meremehkan kasus penyebaran COVID-19. Belum lagi tidak adanya ketegasan serta mis-koordinasi antar-bagian pemerintahan baik pusat maupun daerah. Walhasil dikala negara-negara tadi sudah pulih dan memasuki new normal, Indonesia masih berjibaku untuk sekadar melandaikan kurvanya.
Entah latah ataupun sudah kebingungan karena ekonomi berantakan, kita juga akhirnya dihadapkan kenyataan inisiasi pemerintahan untuk segera melakukan new normal padahal fase melandaikan kurva masih belum kita lewati. Banyak pihak yang belum siap untuk fase new normal ini karena mereka paham dan melihat kenyataan di lapangan. Sebut saja Gubernur Jawa Tengah, Ganjar Pranowo yang menyatakan daerahnya belum siap untuk melakukan skenario new normal.
"Sebenarnya new normalnya harus kita siapkan. Cuma kalau Jawa Tengah mau new normal sekarang, saya belum siap, jangan dulu," ungkapnya dalam sebuah acara webinar (26/05/2020).
Ditambahkan juga oleh Ganjar bahwa kurva penderita COVID-19 saat ini masih fluktuatif dan belum menurun sehingga untuk menerapkan new normal pada masa sekarang sepertinya sangat riskan.
Sedangkan menurut Ridwan Kamil, Gubernur Jawa Barat dalam wawancara dengan Tribunnews (26/05/2020) menekankan bahwa pemberlakuan new normal di Jawa Barat harus berbasis data dan jika memungkinkan maka baru diterapkan.
Narasi untuk mempertimbangkan data serta melihat kurva kasus positif di Indonesia yang belum melandai nampaknya masih belum menjadi fokus perhatian pemerintah pusat. Belum lagi kerancuan tentang PSBB yang masih diterapkan di berbagai daerah dengan berbagai pembatasannya tentu tidak sinkron dengan mekanisme new normal yang beredar belakangan ini.
Lebih jauh menurut Pakar Epidemiologi dan Biostatisik Fakultas Kesehatan Masyarakat (FKM) Universitas Indonesia (UI) Pandu Riono setidaknya ada tiga syarat utama yang harus dimiliki jika ingin menerapkan kehidupan new normal. Pertama adalah kasus meninggal dan Orang Dalam Pemantauan sudah menurun dan ini harus dilakukan evaluasi data rutin setiap dua minggu, jika konsisten barulah new normal dapat menjadi opsi.
Syarat kedua adalah layanan test baik rapid test dan PCR yang tersedia dan mudah diakses masyarakat terkait juga dengan hal tersebut contact tracing perlu optimal dilakukan demi memetakan sebaran wilayah penularan virus. Terakhir adalah adanya layanan kesehatan serta alat-alat kesehatan yang memadai dan mudah diakses masyarakat.
Dari ketiga syarat tersebut berdasarkan data hampir semuanya belum bisa dipenuhi oleh Indonesia. Kurva yang masih fluktuatif bahkan naik, rapid test dan PCR yang masih kecil rasionya dibandingkan jumlah penduduk serta masih banyaknya kendala dan keterbatasan atas alat kesehatan serta layanan kesehatan di Indonesia semakin menguatkan bahwa new normal adalah bukan opsi yang segera dapat diterapkan.
Selain itu juga, sekarang banyak pihak termasuk pengusaha serta masyarakat umum yang bingung akan kebijakan-kebijakan yang dilakukan pemerintah akhir-akhir ini. Padahal keterbukaan informasi, ketegasan, serta tranparansi adalah yang dibutuhkan masyarakat. Frasa hidup berdampingan dengan Virus Corna yang disampaikan Presiden baru-baru ini serta melawan Virus Corona oleh Presiden sendiri sebelumnya dan beberapa pernyataan punggawanya pun banyak membuat banyak pihak mengernyitkan dahi karena bingung dan kontradiktif.
Ya dapat kita simpulkan bahwa kesan tergesa-gesa tidak dapat dihindari atas kebijakan pemerintah terhadap fase new normal ini. Masih banyak tahap dan prasyarat yang harus dipenuhi Indonesia sebelum melakukan gaya hidup tersebutl. Pemerintah perlu hati-hati dalam mengkaji dan menganalisis data dan informasi sebelum mengeluarkan sebuah kebijakan. Ingat bahwa gagal dalam perencanaan adalah sama dengan merencanakan kegagalan kita sendiri.