Mohon tunggu...
Adrian Chandra Faradhipta
Adrian Chandra Faradhipta Mohon Tunggu... Lainnya - Praktisi pengadaan di industri migas global yang tinggal di Kuala Lumpur dan bekerja di salah satu perusahaan energi terintegrasi terbesar dunia.

Menggelitik cakrawala berpikir, menyentuh nurani yang berdesir__________________________ Semua tulisan dalam platform ini adalah pendapat pribadi terlepas dari pendapat perusahaan atau organisasi. Dilarang memuat ulang artikel untuk tujuan komersial tanpa persetujuan penulis.

Selanjutnya

Tutup

Money Pilihan

Belajar dari India Sampai Sandiaga Uno untuk Peningkatan SDM Indonesia

19 Agustus 2019   13:29 Diperbarui: 19 Agustus 2019   13:50 366
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Indonesia yang memiliki jumlah penduduk terbesar ke-4 di dunia dengan tingkat keberagaman yang sangat tinggi layaknya dua bilah mata pisau yang dapat menjadi bencana sekaligus aset yang sangat menjanjikan.

Merujuk data siaran pers Bappenas pada 22 Mei 2017 dinyatakan bahwa pada 2030-2040 Indonesia akan mengalami bonus demografi, yakni jumlah penduduk usia produktif yang berusia 15-64 tahun akan mendominasi sekitar 64% pada struktur kependudukan di Indonesia dibandingkan penduduk usia non produktif yaitu dibawah 15 tahun dan di atas 64 tahun.

Di sisi lain kita masih melihat merujuk pada data BPS per Februari 2019 terdapat angkatan kerja 136,18 juta orang dengan persentase Tingkat Pengangguran Terbuka sebesar 5,01% atau sekitar 7 juta jiwa, cukup besar untuk negara sebesar Indonesia. Selain itu juga per 2017 terdapat 63% tenaga kerja tersebut adalah lulusan sekolah menengah pertama atau lebih rendah.

Data-data diatas merupakan fakta-fakta tentang SDM Indonesia yang perlu dengan segera ditindaklanjuti dan dikaji.

Tantangan SDM Indonesia

Bak dua belah mata pisau yang bisa menciderai namun di sisi lain dapat membantu kita. Keberagaman dan kekayaan SDM Manusia Indonesia perlu dikelola dengan seksama dan komprehensif.

Pemerintah perlu dengan segera membuat strategi nasional yang masif untuk  memetakan SDM di Indonesia. Paradigma yang berubah tentang SDM di masa sekarang perlu dengan segera diadopsi dan difasilitasi oleh Pemerintah. SDM bukan lagi hanya sebagai objek kaku dari sebuah kebijakan, tetapi menjelma menjadi aset utama dalam mengelola sebuah negara. Konsep pemikiran Human Resources berubah menjadi Human Capital, karena manusia adalah aset terpenting dalam mengelola bangsa.

Secara pribadi saya mendukung gagasan Jokowi untuk memfokuskan pembangunan SDM pada 2020 ini. Karena jika tidak sekarang maka Indonesia akan kehilangan momentum menyiapkan generasi terbaiknya pada era bonus demografi 2030 sampai dengan 2040. 

Di samping itu juga, Indonesia harus mengejar ketertinggalan kualitas SDM kita dengan negar-negara populasi besar lainnya yaitu Republik Rakyat Tiongkok, India, dan Amerika Serikat termasuk juga negara tetangga kita di kawasan ASEAN. Berdasarkan penelitian Bank Dunia per akhir 2018, SDM Indonesia bercokol di peringkat 87 dari 157 negara. Suatu hal yang tidak menggembirakan jika kita melihat besarnya potensi dari SDM Indonesia. Indonesia juga masih tertinggal SDM-nya dibandingkan Malaysia, Singapura, dan Brunei Darussalam.

Masalah utama dan paling dasar adalah pendidikan dan pengembangan keterampilan. Sudah menjadi rahasia umum bahwa kualitas pendidikan dan pengembangan keterampilan Indonesia masih tertinggal dibandingkan dengan negara-negara lain. Dari anggaran pendanaan, kurikulum, pola pengajaran, dan lain sebagainya. Sesuai amanat UUD bahwa alokasi minimal 20% dari struktur APBN untuk pendidikan nyatanya bukan benar-benar untuk pengembangan pendidikan. Alokasi terbesar diserap justru dari anggaran rutin seperti gaji. Alokasi untuk pengembangan pendidikan justru alokasinya jauh lebih sedikit dari anggaran rutin tersebut.

Di samping itu, kita mengetahui bahwa pemetaan kurikulum yang short term dan cenderung tidak market oriented terbukti justru membebani para siswa di Indonesia. Kurikulum kita banyak yang masih berorientasi pada hasil yang tertulis dalam lembar ujian dengan mengesampingkan proses dan pendalaman materi serta orientasi pada kebutuhan dunia kerja baik lokal maupun global serta kemajuan teknologi terkini.

Lebih jauh kualitas keterampilan SDM di Indonesia perlu dengan segera untuk ditingkatkan khususnya pada area softskill. Kemampuan komunikasi dan interpersonnel skills SDM Indonesia dinilai masih kurang dibandingkan dengan negara-negara lain. SDM Indonesia dikenal tipikal pasif dan pemalu dalam dunia kerja. 

Di dunia kerja jarang kita temukan orang-orang kita yang cakap berkomunikasi dan menyampaikan pendapatnya apalagi kemampuan untuk bernegosiasi dan berkomunikasi dengan pihak lain. Keengganan juga mungkin muncul dari budaya kita yang justru membicarakan dengan nada negatif terhadap mereka yang kontributif dan aktif dalam lingkungan kerja. 

Banyak dari kita juga yang tidak percaya diri jika hal tersbeut berkaitan dengan penggunaan bahasa inggris. Kita melihat bahwa dibandingkan dengan orang-orang India, Malaysia, bahkan Filipina kemampuan bahasa inggris kita masih sangat tertinggal. Mungkin juga karena bahasa inggris disana sudah dijadikan bahasa kedua bagi negaranya dan histori pernah dijajah inggris cukup banyak berpengaruh terhadap penggunaan bahasa inggris disana.

Kita perlu apresiasi bahwa pemerintahan yang sekarang mulai memokuskan pengembangan SDM. Dengan tagline SDM Unggul, Indonesia Maju menurut Menkeu, Sri Mulyani Indrawati pemerintah akan memfokuskan programnya pada sektor pendidikan, kesehatan, jaringan pengaman sosial, hingga pelatihan kerja. 

Di sisi lain, Kepala Bapennas mengatakan sesuai arahan presiden "Kuncinya sebagaimana arahan presiden adalah sumber daya manusia yang berkualitas dan berdaya saing, yang terdidik, terampil, berkarakter, sehat dan produktif. inovasi dan penguasaan IPTEK menjadi suatu strategi dalam setiap program prioritas." Pemerintah ingin mengembangkan kualitas SDM di Indonesia dari semua aspek bahkan dari lahir. Pos-pos anggaran dioptimumkan untuk memastikan kualitas SDM terjamin dari mereka lahir sampai dengan selepas perguruan tinggi.

Belajar dari India Sampai Sandiaga Uno

Kita sepertinya perlu mencontoh India sebagai super power penyuplai CEO kelas dunia. Sebut saja Sundar Pichai (Google), Indra Nooyi (PepsiCo,) Sanjay Kumar Jha (CEO Global Foundries), Shantanu Narayen (CEO Adobe), Nikesh Arora (CEO Softbank Internet and Media Inc), Francisco D'Souza (CEO Cognizant), Dinesh Paliwal (CEO Harman International), Sanjay Mehrota (CEO SanDisk), dan Rajeev Suri (CEO Nokia). Bahkan jumlah CEO yang memiliki keturunan India ataupun berasal dari India mengalahkan jumlah dari Tiongkok yang memiliki populasi terbesar dan tersebar di seluruh dunia.

Bagaimana di Indonesia kita sepertinya belum mendengar nama-nama Indonesia yang benar-benar menjadi pimpinan perusahaan kaliber dunia yang dikenal luas. Walau kita patut berbangga beberapa nama seperti Nadiem Makarim Pendiri Superapp Gojek, Sri Mulyani Indrawati yang menjadi pimpinan Bank Dunia, Iwan Sunito yang menjadi Raja Properti di Australia, Yogi Ahmad Erlangga Sang Matematikawan Pemecah Persamaan Helmholtz, BJ Habibie Sang Mr. Crack dalam dunia aviasi dunia, dan lain sebagainya. 

Khusus untuk dunia seni dan budaya, banyak pekerja seni serta kita yang sudah mulai mendunia sebut saja seperti Livi Zheng, Joe Taslim, dan Joey Alexander. Belum lagi prestasi anak bangsa kita yang terkenal menjadi super power untuk kompetisi paduan suara serta penampilan seni budaya lainnya.

Namun, apakah nama-nama itu cukup untuk menempatkan Indonesia sebagai negara yang mengelola SDM-nya secara baik. Apakah para tokoh itu benar-benar mendapatkan bantuan pemerintah dalam pendidikan dan pengelolaan keterampilannya? Ataukah murni sebagian besar itu adalah kerja keras mereka? Atau bahkan dukungan pemerintah sangat minim selama ini?

Apa yang membedakan Indonesia dan India yang sukses mengorbitkan banyak CEO kelas dunia? Menurut berbagai sumber secara umum, diaspora ataupun orang India secara umum disebut lebih bersahabat, terbiasa dengan keberagaman, mudah beradaptasi, dan sangat percaya diri. Selain itu juga orang-orang India memiliki mentalitas yang kuat dan tahan banting. 

Hal ini sebenarnya tidak lepas dari keadaan ekonomi serta dukungan pemerintah. Salah satunya adalah akses terhadap penggunaan Information and Technology (IT) di India sangat tinggi. Pemerintah dengan sigap mendukung dan memfasilitasi penggunaan IT ini di semua level pendidikan. Dengan kemampuan IT yang mumpuni hal ini mendorong SDM di India sangat melek dengan teknologi dan informasi terkait.

Selain itu, India memiliki kementerian khusus yang membidangi Pengembangan Sumber Daya Manusia (Ministry of Human Resources Development). Dahulu kementerian ini dinamakan Kementerian Pendidikan (Ministry of Education) sama seperti di Indonesia. Namun, dengan perubahan serta semangat harmoni untuk pengembangan sumber daya manusia maka kementerian tersebut diubah menjadi Kementerian Pengembangan Sumber Daya Manusia. Kementerian inilah yang bertugas untuk menyelaraskan program pengembangan sumber daya manusia di India. 

Tidak hanya di semua level pendidikan tetapi juga di luar pendidikan formal berupa pelatihan serta kolaborasi dengan pihak swasta dan stakeholder lainnya. Ini dimaksudnya agar SDM di India tidak hanya berorientasi kepada hasil nilai serta kurikulum yang sangat padat namun kurang tepat sasaran untuk siap bersaing di dunia global. Di samping itu India mampu untuk berkolaborasi dengan pihak swasta dan pihak-pihak lainnya tidak hanya dalam dan luar negeri.

Pola penyelarasan dan sinergi inilah yang patut dicontoh oleh Indonesia. Jika perlu bnetuk kementerian ataupun badan khusus untuk mengkomandoi pengembangan SDM di Indonesia, ataupun setidaknya unit kerja khusus. Karena de depan Indonesia harus mampu menyelaraskan kurikulum serta program lintas sektor untuk mendukung terciptanya SDM yang unggul. Tidak lagi fokus pada ego sektoral semata.

Selain itu juga, demi optimasi anggaran, pemerintah diharapkan tidak hanya mengandalkan APBN semata sebagai sumber pendanaan. Kerjasama yang baik dan kontinu dengan dunia industri serta entitas terkait perlu dimaksimalkan. Semisal dengan para start up dan perusahaan-perusahaan besar di Indonesia untuk secara terkonsep dan terpusat memberikan pelatihan-pelatihan ke semua level pendidikan serta juga lembaga-lembaga keterampilan terkait seperti Balai Latihan Kerja (BLK). 

Kolaborasi Ruang Guru misalnya dengan berbagai pemerintah daerah serta Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan dalam menyajikan metode pelatihan online dapat menjadi sebuah inspirasi bentuk kerjasama antara pemerintah dan dunia industri. Namun, perlu menjadi catatan hal ini perlu koordinasi dan terpusat agar dapat terpetakan kebutuhan serta kemampuan dan bentuk pelatihan yang tersedia dapat diakomodir. Pelatihan diharapkan tidak hanya menyentuh ranah hardskills tepai juga softskill yang sejak lama menjadi momok di Indonesia.

Pemerintah juga bisa saja mengadopsi ataupun berkolaborasi dengan program insisiasi dari Sandiaga Uno yaitu Rumah Siap Kerja. Rumah Siap Kerja ini layaknya Pelayanan Terpadu Satu Pintu (PTSP) atau one stop service dimana  para pencari kerja dikumpulkan dalam satu wadah bersama para pengusaha. Selain mendapatkan bimbingan, para pencari kerja mendapatkan pelatihan bahkan beasiswa serta bekal ilmu dan modal untuk berwirausaha bagi mereka yang memiliki keinginan untuk berwirausaha. 

Konsep brilian ini jika dikembangkan di seluruh kabupaten/kota di Indonesia tentu akan memiliki dampak yang besar. Karena benar, terkadang kurangnya informasi dan cara memulai menjadi faktor yang menentukan pagi para pencari kerja ataupun para calon pengusaha. Kolaborasi dengan Kementerian Ketenagakerjaan, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan serta Kementerian Riset dan Teknollogi dan Pendidikan Tinggi serta entitas lainnya dapat menjadi solusi lain dalam pengembangan SDM di Indonesia. Demi negara layaknya kolaborasi bukanlah suatu barang yang haram.

Terakhir adalah penelitian dan pengembangan (research and development) di Indonesia perlu dengan segera ditingkatkan. Dengan anggaran 24 Trilliun Rupiah mungkin kita mengira anggaran tersebut cukup besar, namun jika kita melihat bahwa itu hanya 0,9% dari APBN kita yang berada pada angka 2.400 Triliunan Rupiah tentu tidak demikian. Angka persentase itu juga kalah jauh dari India, Tiongkok, Korea Selatan, Jepang bahkan dengan Singapura dan Malaysia. 

Penelitian dan menjadi yang krusial ketika kita meliha arah pergerakan kemajuan sains dan teknologi suatu bangsa. Tidak hanya itu kebijakan-kebijakan pemeirntah kita sekarang yang masih kurang berbasis dengan penelitian dan pengembangan tentu belum optimum mengatasi permasalahan bangsa. Diharapkan dengan kualitas penelitian dan pengembangan yang lebih baik maka kebijakan serta dunia sains dan teknologi di Indonesia akan semakin baik hal itu karena akan sangat berpengaruh juga pada kualitas SDM di Indonesia.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun