STOP PLAYING VICTIM!
Narasi berjuang dan menderita dan terjebak dalam lubang aniaya hanya akan menggiring narasi baru dan perspektif baru dari sisi pelanggan terhadap perusahaan. Pelanggan tahu bagaimana perjuangan dan perbaikan yang dilakukan di lapangan oleh petugas-petugas yang berdedikasi. Tidak perlu pribadi-pribadi lainnya mengaku-ngaku atas kinerja mereka. Masyarakat tahu! Tidak perlu bercerita kesana kemari.Â
Sekarang pertanyaannya apakah manajemen di atasnya dan organisasi secara umum MENGAKUI kesalahan dan kekurangannya? Things to stop, things to do, dan things to improve-nya? Apa PERBAIKAN dan STRATEGI yang akan dilakukan selanjutnya? Apa komitmen yang bisa disampikan kepada pelanggannya?
Apa mungkin selama ini organisasi terbuai karena posisi tawar yang lebih tinggi? Atau mungkin karena ranah monopoli yang tidak mungkin dipungkiri?
Kejadian pemadaman kemarin harusnya menjadi momentum bagi PLN untuk terus berinovasi dan memperbaiki diri.Â
Pelanggan tidak perlu diberikan pembelaan diri, karena toh secara tidak langsung dengan mekanisme pembayaran ganti rugi yang sudah ditetapkan PLN maka PLN mengakui secara tidak langsung bahwa pemadaman bukan karena sebab Kahar sesuai dengan Peraturan Menteri Energi Dan Sumber Daya Mineral Nomor 27 Tahun 2017 tentang Tingkat Mutu Pelayanan dan Biaya yang Terkait Dengan Penyaluran Tenaga Listrik Oleh PT Perusahaan Listrik Negara (Persero).Â
Tidak hanya PLN seluruh BUMN serta penguasa pasar monopoli pun harus mulai mengevaluasi diri, bahwa menjadi besar dengan posisi tawar yang tinggi belum tentu menjadi kunci untuk bertahan dan meningkatkan profit.
Sebuah perusahaan di pasar apapun itu termasuk monopoli haruslah terus melakukan inovasi. Dan inovasi tersebut haruslah juga didasari oleh peningkatan pelayanan terhadap konsumen. Dan di dalam mencapai sebuah inovasi, kritik yang membangun adalah sebuah pelecut yang efektif untuk meningkatkan posisi perusahaan di sebuah pasar.
Best Practice di PT. Kereta Api Indonesia (Persero) dibawah komando Pak Jonan sepertinya bisa menjadi permodelan di Indonesia khususnya BUMN. Mereka memiliki semua kriteria untuk jemawa sebagai pemegang monopoli perkeretaapian di Indonesia. Namun, coba lihat bagaimana ketika mereka terbuai dengan statusnyA. Betapa semerawutnya kereta api zaman sebelum Pak Jonan.Â
Para penjual makanan lalu lalang dengan seenaknya, penumpang gelap silih berganti naik naik ke atap sampai mengorbankan nyawa. Keluhan penumpang lainnnya silih berganti datang tak terbendung, namun nampaknya manajemen tak berkutik bahkan tutup mata. Mungkin pola pikirnya mengapa saya pusingkan masalah kualitas pelayanan toh masyarakat akan tetap butuh kami yang menjadi satu-satunya pengelola. Di sisi lain mereka lupa suatu saat hal tersebut akan menjadi bom waktu bagi mereka sendiri.