Mohon tunggu...
Adrian Chandra Faradhipta
Adrian Chandra Faradhipta Mohon Tunggu... Lainnya - Praktisi pengadaan di industri migas global yang tinggal di Kuala Lumpur dan bekerja di salah satu perusahaan energi terintegrasi terbesar dunia.

Menggelitik cakrawala berpikir, menyentuh nurani yang berdesir__________________________ Semua tulisan dalam platform ini adalah pendapat pribadi terlepas dari pendapat perusahaan atau organisasi. Dilarang memuat ulang artikel untuk tujuan komersial tanpa persetujuan penulis.

Selanjutnya

Tutup

Analisis Artikel Utama

Menggugat Kompetensi Calon Legislatif Kita

4 April 2019   09:45 Diperbarui: 5 April 2019   13:27 502
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Poster caleg partai politik terpasang di pohon Jalan HOS Cokroaminoto, Ciledug, Tangerang, Banten, Selasa (18/2/2014). Pelanggaran berupa pemasangan alat peraga di pohon, tiang listrik, hingga sarana dan prasarana publik masih bisa ditemui di banyak tempat. (KOMPAS IMAGES/RODERICK ADRIAN MOZES)

Sebuah ongkos demokrasi yang mahal memilih wakil masyarakat yang duduk di kursi parlemen baik daerah dan pusat setiap periode, khususnya di negeri kita yang katanya salah satu yang paling demokratis di dunia,. Panggung pemilihan layaknya panggung perebutan pengaruh oleh para calon legislatif yang mengejar tampuk kekuasaan di kursi parlemen. 

Menjadi pertanyaan besar bagi kita apakah sebuah anomali ataukah kemakhfuman ketika banyak orang yang tergila-gila mencalonkan diri untuk menjadi wakil rakyat di lembaga legislatif? 

Apakah sebuah niatan tulus ataukah "udang di balik batu" sehingga terlalu bernafsu menduduki kursi kehormatan parlemen tersebut? Pertanyaan abu-abu yang terus menjadi momok bagi masyarakat kita.

Fenomena ini menggelitik saya untuk membuat artikel sederhana ini. Selain juga dilatarbelakangi oleh kegelisahan saya melihat banyaknya baliho, pamphlet, dan selebaran kampanye para calon anggota legislatif yang berseliweran di daerah kampung halaman saya, sebut saja Kab. XXX di Provinsi Sumatera Selatan yang jujur sangat mengotori keindahan dan kerapian kota tempat saya berasal. 

Saya yakin hal ini tentu tidak jauh berbeda dengan yang terjadi di seantero Indonesia. Sebuah bentuk pemborosan yang sangat tidak perlu mengorbankan begitu banyak dana hanya untuk menjadikan kita dikenal dan dipilih oleh konstituen kita, sebagian mengatakan ini sebuah risiko finansial yang harus diambil ketika akan menjadi "public figure".

Apapun itu jika berlebihan akan menjadikannya suatu bentuk kesia-siaan. Alangkah bijaknya jika dana sebesar itu kita gunakan untuk membantu yang papa maupun kurang beruntung. Lebih jauh, hal ini menimbulkan pertanyaan apakah ada teori aksi dan reaksi dalam politik khususnya dana kampanye ini. 

Logikanya ketika ada aksi untuk menggelontorkan dana kampanya yang menurut kalkulasi dan hemat saya bisa lebih besar daripada gaji mereka ketika terpilih menjadi anggota legislatif, reaksi selanjutnya adalah bagaimana mengembalikan dana yang digelontorkan tersebut disamping dari gaji? Ya, mungkin "berbisnis"? Berbisnis kepentingan rakyat, berbisnis kekuasaan, atau berbisnis kedigdayaan?

Saya pribadi tidak menafikkan fakta bahwa masih banyak calon legislatif yang benar-benar murni dan berjuang untuk kepentingan rakyat. Namun, apa salahnya jika menilik kecemasan rakyat yang terlalu sering ditelikung oleh wakilnya di parlemen selama ini untuk mendasari saya menggugat kompetensi dari para calon legislatif kita?

Fakta yang lucu ketika di daerah saya kerap saya temukan baliho yang terpasang menampilkan gambar calon legislatif dengan anggun dan gagahnya berpose ditambah dengan embel-embel nama orangtua mereka yang notabene tokoh di daerah saya sebut saja misal Tukiyem Binti XXX atau Tukiman Bin YYY. 

Hal lain adalah gelar pendidikan yang panjang dan apik diperkirakan akan menambah pesona mereka. Anehnya hampir tidak ada yang menampilkan visi dan misinya. Saya mencoba membagi kelucuan dan sedikit keluguan calon legislatif ini menjadi beberapa jenis dan tipe.

Tipe pertama adalah para caleg pendompleng ketokohan nama keluarga/orangtua. Seperti yang telah saya sebutkan sebelumnya cukup unik dan umum di negeri kita bahwa ketokohan dan kebesaran nama orangtua menjadi bumbu manis yang dapat menarik para calon pemilih. Tidak dapat disalahkan juga bahwa hal tersebut kerap ditemui di masyarakat kita. Pendidikan politik yang masih kurang kepada para konstituen mungkin menjadi salah satu faktor penyebabnya.

Terkait pendomplengan nama tadi ada sebuah ungkapan bahwa buah tidak jauh jatuh dari pohonnya, yang bermakna sosok orangtua akan tetap menjelma pada anaknya. 

Namun, pernahkah kita juga berpikir bahwa buah bisa saja jatuh ke tanah lalu membusuk ataukah ketika jatuh buah akan hancur ketika berbenturan dengan tanah yang membuatnya tidak layak untuk dimakan? Maknanya saya pikir seluruh teman-teman mengerti. 

Banyak caleg yang masih sangat hijau tanpa pengalaman organisasi, tanpa modal politik yang mumpuni, serta pengetahuan kelas teri telah berani memasuki arena politik bermodalkan nekad dan dompleng sana-sini.

ilustrasi baliho caleg. [Sumber foto: detik.com]
ilustrasi baliho caleg. [Sumber foto: detik.com]

Tipe kedua adalah caleg pendompleng gelar pendidikan. Memang benar jenjang pendidikan adalah sebuah status yang dapat meningkatkan harkat dan martabat seseorang di tengah masyarakat kita. 

Namun apakah itu akan menjamin kecakapan seseornag dalam berpolitik dan membawa amanah konstituennya? Bukankah juga itu akan membuat seseorang dapat semakin canggih mempelintir dan menyalahgunakan amanahnya di kursi kehormatan. 

Tentu kita tidak lupa fenomena yang terjadi baru-baru ini betapa banyak tokoh politik negeri ini yang katanya terdidik dan lulusan luar negeri berakhir di hotel prodeo dikarenakan ketamakan mereka akan materi dan kekuasaan yang mereka miliki? 

Hal lain adalah bagaimana gelar pendidikan itu diperoleh oleh para caleg. Apakah dari insitusi pendidikan ternama dan terpecaya. Ataukah gelar abal-abal yang didapat dari proses pendidikan yang abal-abal juga?

Pernah saya berpikir suatu saat ketika bertemu para calon ini untuk tiba-tiba menanyakan tentang pertanyaan picisan tentang kelegislatifan maupun isu sosial yang berkembang saat ini misalkan apakah Ibu/Bapak tahu tugas-tugas legislatif? 

Apakah Ibu/Bapak tahu tentang konsep trias politica? Apakah Ibu/bapak tahu jumlah warga miskin di daerah pemilihan Bapak/Ibu? Bisa jelaskan visi dan misi Ibu/Bapak?

Tipe ketiga adalah caleg pendompleng harta kekayaan. Tidak terbilang jumlah caleg yang dikaruniai kekayaan dan kelimpahan harta baik dari bisnis maupun warisan keluarganya. 

Mereka mengerahkan hartanya sebagai senjata untuk menarik simpatisan bahkan untuk menebar pesonanya jaminan dan tameng bahwa mereka tidak akan korupsi dikarenakan kekayaannya tidak habis 7 turunan sehingga korupsi hanya parasit kacangan bagi keluarganya. 

Mereka lupa berapa banyak di negeri ini koruptor yang telah kaya dari lahir namun lebih memilih untuk by Greed Corruption sehingga berujung pada vonis di penjara? 

Terkadang saya ragu juga apakah orang-orang-orang yang kaya raya ini mampu menyuarakan dan mengerti tentang kepentingan rakyat. Apakah di benak mereka hanya dengan membagikan kaos kampanye dan sejumlah amplop berisikan suap dapat mengantarkan mereka menjadi wakil rakyat?

Tipe keempat adalah caleg pendompleng dirinya sendiri. Mungkin inilah tipikal caleg yang diidamkan seluruh masyarakat Indonesia. Calon legislatif tipe ini tidak mengandalkan keagungan nama orangtua maupun keluarga, gelar pendidikan yang panjang, maupun harta kekayaan untuk menjadi wakil rakyat. 

Mereka hanya mengandalkan kompetensi diri mereka sendiri dengan beragam cara pendekatan kepada masyarakat. Tidak salah jika mereka juga menggunakan berbagai media kampanya yang wajar. 

Bekal politik, pengalaman organisasi, dan kepedulian dan niat tulus mereka memperjuangkan suara konstituennya adalah cukup untuk membuat simpatisannya memilih para calon ini untuk duduk di kursi kehormatan. 

Saya pribadi sebagai bagian konstituen dan masyarakat menyarankan kepada seluruh cikal calon legislatif sebelum mencalonkan dirinya sebagai anggota legislatif layaknya untuk "memantaskan" diri mereka untuk duduk di kursi kehormatan sehingga tidak berujung pada kursi pesakitan pengadilan nantinya. 

Melalui kegiatan berorganisasi, blusukan langsung ke tengah masyarakat, interaksi sosial yang kontinu, serta kajian strategis yang berbobot dan sesuai diharapkan para calon legislatif dapat menjaid pribadi yang pantas dan siap untuk menjabat di kursi parlemen.

Tidak salah untuk terlahir dari keluarga kaya, terkenal, dan berpendidikan untuk mencalonkan diri sebagai anggota legislatif, namun layaknya perjuangan untuk meraih itu semua bukan didasarkan pada pendomplengan saja. 

Domplenglah diri Anda sendiri. Ini juga menjadi tugas bagi kita selaku pelaku politis dan konstituen untuk terus proaktif membekali diri kita pengetahuan dasar tentang kompetensi para calon kita nantinya, sehingga tidak berujung pada kekecewaan oleh pilihan kita sendiri.

Pendewasaan kehidupan berdemokrasi bukan hanya pada para calon tapi juga bagi kita para pemilihnya. Masyarakat yang madani bukan hanya masyarakat yang sejahtera secara finansial, tetapi juga masyarakat yang proaktif membangun kehidupan sosialnya salah satunya melalui kehidupan berpolitik. Mulailah pertanyakan kompetensi calon legislatif kita. Hapuslah dari pilihan kita para calon yang hanya mengandalkan pendomplengan semata.

Kita memilih karena kita peduli.
Kita memilih karena kita percaya.
Kita memilih karena kita paham pilihan kita.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Analisis Selengkapnya
Lihat Analisis Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun