Kebijakan langsung melarang mikol, sebagaimana alur pikir pembuat RUU ini justru malah berdampak pada dimensi kehidupan lainnya. Sepertinya pembuat RUU ini menutup mata terhadap dimensi-dimensi ini.
Perlu diketahui, ada beberapa daerah di Indonesia yang dikenal sebagai daerah penghasil mikol. Ada banyak orang mendapatkan kehidupan yang layak dari hasil menjual mikol. Bagi sebagian masyarakat, itulah sumber ekonomi mereka.Â
Pelarangan mikol jelas-jelas bertentangan dengan hak atas penghidupan yang layak dan memilih pekerjaan, sebagaimana tertuang dalam pasal ayat [2] dan pasal 28E ayat [1] UUD 1945.
Cara berpikir pembuat RUU ini sungguh sesat dan berbahaya bila diterapkan juga pada hal-hal lain. Misalnya, kita buat perbandingan dengan terorisme. Jalan pikirannya kurang lebih sama: ada agama -- ada teroris -- ada ekses, yaitu keresahan masyarakat.Â
Sudah jadi rahasia umum bahwa ada agama yang diidentikkan dengan teror karena para pelaku terornya mendasarkan tindakan mereka pada ajaran agama tersebut.Â
Jika kita menggunakan cara pikir pembuat RUU ini, maka logikanya adalah melarang agama yang melahirkan teroris. Beranikah pembuat undang-undang melakukan hal itu?
Perbandingan lain dapat kita temui dalam soal senjata tajam (sajam). Jalan pikirannya seperti ini: ada sajam -- ada kejahatan -- ada ekses, yaitu tindak kriminal yang meresahkan masyarakat.Â
Ada begal, ada perampokan, ada pembunuhan, ada tawuran, dll. Artinya, ada banyak tindak kriminal yang menggunakan senjata tajam, seperti pisau dan parang, yang melahirkan banyak korban, baik luka, cacat permanen maupun meninggal dunia. Jika memakai cara pikir pembuat RUU ini, maka logikanya adalah melarang senjata tajam yang membuat resah masyarakat.
Pembuat RUU ini sepertinya lupa kalau masih banyak orang membutuhkan mikol, bukan untuk menyalah-gunakannya tetapi untuk kepentingan positif lainnya, seperti hiburan, kesehatan, dll.Â
Sama seperti dua pembanding di atas, masih banyak orang yang membutuhkan agama, yang telah dibajak oleh teroris; atau masih banyak orang yang membutuhkan senjata tajam untuk kebutuhan positp lainnya. Tindakan pelarangan justru menghilangkan juga sisi positip yang ada.
Karena itu, adalah bijak jika mikol tidak dilarang. Mikol bukanlah subyek permasalahan; ia hanyalah korban dari penyalah-gunaan. Untuk menghindari dampak buruk yang lahir dari penyalah-gunaannya, sebagaimana tertuang dalam RUU ini, maka yang ditindak adalah orang yang menyalah-gunakan mikol.Â