Mohon tunggu...
Adrian Susanto
Adrian Susanto Mohon Tunggu... Wiraswasta - aku menulis, aku ada

pekerjaan swasta

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Kereta Api Argo Parahyangan

24 Juni 2019   10:50 Diperbarui: 24 Juni 2019   11:28 116
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

"Syukurilah putus cintamu. Anggap saja dia bukanlah jodohmu. Kamu harus bersyukur pernah mengalami kegagalan. Lebih baik gagal sekarang daripada nanti. Belajarlah dari kegagalan ini maka kamu akan mendapat pelajaran untuk tak mengulanginya lagi."

Dia menghapus air mata dari pipinya. "Terima kasih banyak bang atas nasehatnya." Dia menyalami tangan saya. "Saya pamit." Dia berdiri, mengambil tasnya dan berjalan keluar.

***

Seorang bapak tua berjalan menuju arah kursiku. Mungkin ini teman seperjalananku berikutnya, demikian batinku. Waktu menunjukkan lagi 5 menit kereta akan berangkat meninggalkan stasiun Purwakarta.

"Ini 102 ya?" tanya bapak tua itu, walau sebenarnya dia sudah tahu.

"Benar, pak."

Ia meletakkan tasnya di bagasi atas. Setelah menjabat tanganku, ia lantas duduk. Ia memperkenalkan dirinya Suharyo, pensiunan guru. Ia hendak ke Cimahi untuk melihat cucunya yang baru lahir. Istrinya sudah lebih dahulu,  tiga minggu lalu. Cucu pertama, katanya.

Pak Suharyo adalah sosok pribadi yang mudah bergaul juga banyak cerita. Karena itu, sejak kereta berjalan Pak Suharyo banyak bercerita tentang hidupnya, mulai dari keluarganya, anaknya yang di Cimahi, cucunya dan juga profesinya sebagai guru.

Kami banyak berdiskusi terkait dengan profesinya. Dia mendukung pendapatku ketika kuutarakan ketidak-setujuanku pada undang-undang perlindungan anak yang membuat guru menderita dan bersikap permisif. Menghukum malah dihukum. Padahal di balik hukuman itu ada nilai pendidikan bagi anak.

"Benar. Guru-guru sekarang lebih memilih cari aman. Mereka hanya sebatas mengajar, tidak lagi mendidik. Karena ketika mereka mau mendidik, mereka takut salah dan terjebak oleh pasal-pasal undang-undang tadi. Berat lho sanksi hukumnya."

Aku hanya mengangguk kepala.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
  10. 10
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun