Mohon tunggu...
Inovasi

Buku Mitos Jurnalisme

10 Juni 2016   07:20 Diperbarui: 10 Juni 2016   08:17 95
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Resensi Buku Mitos Jurnalisme.

Penulis: Dudi Sabil Iskandar, Rini Lestari.

Penerbit: ANDI.

Diterbitkan atas kerjasama Penerbit ANDI dengan Universitas Budi Luhur.

Tahun 2016.

Bagian 1 : Mitos Dalam Jurnalisme

Komunikasi adalah salah satu cara manusia mempertahankan harkat dan martabat kemanusiaannya. Dengan komunikasi, manusia mengaktualisasikan segala potensinya. Dalam setiap gerak, manusia berkomunikasi dalam berbagai bentuknya, mikro, meso, dan makro. Komunikasi juga merupakan konsekuensal dari posisi manusia sebagai makhluk sosial.

Sepanjang sejarahnya, komunikassi mengenal 2 aliran / mazhab pemikiran. Aliran pertama yaitu perpindahan pesan (mazhab transmisi), dan aliran kedua yaitu aliran pertukaran makna (mazhab semiotika). Aliran penyampaian pesan (transsmission of messegas) adalah yang pertama dan tertua karena mazhab ini sudah ada sejak disiplin komunikasi pertama kali digulirkan. Ungkapan Harold Laswell who says what, in which channel, to whom, with what effect adalah yang menandasskan tentang aliran perpindahan pesan ini.

Sedangkan aliran pertukaran makna (production and exchange of meanings) digagas datang belakangan. Tepatnya datang setelah Perang Dunia II yang dipopulerkan oleh tokoh seperti James Carey dan John Fiske. Semiotika adalah imu yang mempelajari tanda dan makna. Komunikasi dalam pendekatan semiotik ini melibatkan unsur bahasa (linguistik) dan aspek-aspek seni.

Teori konstruksi realitas sosial adalah khas Peter L. Berger dan Thomas Luckman. Teori ini dilansir dalam buku The Social Construction of Reality: A Treatise in the Sociology of Knowledge (diterjemahkan menjadi Tarsif Sosial atas Kenyataan: Risalah tentang Sosiologi Pengetahuan, LP3ES, Jakarta, 1991). Sejak dicetuskan pada 1966, teori ini banyak menginspirasi kajian di ranah ilmu sosial, termasuk komunikasi. Namun tidak jarang muncul kritik dan masukan pada teori tersebut.

Menurut Berger dan Luckman, kenyataan dibangun secara sosial, sehingga sosiologi pengetahuan harus menganalisis terjadinya kenyataan tersebut. Dari sinilah lahir 3 konsep mereka yang terkenal yakni proses proses dialektis objektivasi, internalisasi, dan eksternalisasi.

Internalisasi adalah proses ketika masyarakat sebagai kenyataan subjektif menyiratkan realitas objektif ditafsirkan secara subyektif oleh setiap individu. Sedangkan eksternalisasi adalah usaha atau ekspresi setiap individu ke dalam dunia, baik mental ataupun fisik. Proses ini adalah ekspresi untuk menguatkan eksistensi individu dalam masyarakat.

  • Konstruksi Realitas Media

Menurut Akbar S. Ahmed ada beberapa karakteristik media. Pertama, media tidak setia dan tidak mengingat teman. Kedua, media memperhatikan warna kulit dan pada lahirnya bersifat rasis. Ketiga, media adalah pengabdian diri dan bersifat sumbang. Keempat, media massa telah menaklukan kematian. Kelima, pada dasarnya media bersifat demokratis dan mewakili masyarakat umum. Keenam, media telah membuat fakta menjadi lebih asing daripada fiksi, sehingga fiksi lebih enak dilihat dan didengar. Ketujuh, media dengan dingin bersifat netral terhadap posisi-posisi moral dan pesan-pesan spriritual. Kedelapan, media kuat karena teknologi tinggi tetapi lemah karena antropologi kultural. Kesembilan, dalam dunia kita media memainkan peran kunci dalam masalah internasional dan akan terus meningkatkan peran tersebut.

  • Bahasa dan Konstruksi Realitas Media

Menurut Poepoprodjo yang dikutib Alex Sobur, hakikat bahasa adalah bahasa penutur (lisan). Ia didengar bukan ditulis dan dilihat. Selain untuk komunikasi, bahasa merupakan ekspresi dari sikap, pikiran, dan gagasan yang dimiliki seseorang.

Kata representasi merujuk pada penjelasan orang-orang yang membantu mendefinisikan kekhasan kelompok-kelompok dan juga merujuk pada penggambaran perbagai institusi. Representasi juga tidak hanya menunjuk pada permukaan, ia pun menyangkut makna-makna yang dikonstruksi.

Media mengalami beberapa tahap perubahan, transformasi dan bahkan metamorfosis. Bermula dari surat kabar, buku, film, radio, televisi, dan internet. Media massa yang terakhir, internet, kemudian mempopulerkan istilah media baru (new media). Beberapa karakteristik media/jurnalisme online :

  • Unlimited Space. Jurnalisme online memungkinkan halaman tak terbatas.
  • Audience Control. Jurnalisme online memungkinkan pembaca lebih leluasa memilih berita/informasi.
  • Non-Lienarity. Dalam jurnalistik online masing-masing berita berdiri sendiri, sehingga pembaca tidak harus membaca secara berurutan.
  • Storage and Retrieval. Jurnalistik online memungkinkan berita “abadi”, tersimpan, dan bisa diakses kembali dengan mudah kapan dan di mana saja.
  • Immediacy. Jurnalistik online menjadikan informasi bisa disampaikan secara sangat cepat dan langsung.
  • Multimedia Capability. Jurnalistik online memungkinkan sajian berita berupa teks, suara, gambar, video dan komponen lainnya sekaligus.
  • Interactivity. Jurnalistik online memungkinkan interaksi langsung antara redaksi dengan pembaca, seperti melalui kolom komentar dan social media sharing.
  • Mitos Jurnalisme Sebagai Pilar Keempat Demokrasi

Media di Indonesia tidak independen dan tidak bisa menentukan dirinya sendiri sebagai media. Hal ini karena independensi adalah harga mati bagi sebuah media

  • Teks dan Wacana Perspektif Teori Kritis

Teks adalah semua bentuk bahasa. Teks bukan hanya yang ada di atas kertas. Ia ekspresi semua bentuk komunikasi. Teks meliputi gambar, suara, citra, gambar efek dan sebagainya.

Ada 3 strategi yang digunakan membuat wacana, yaitu, signing, framing, dan priming. Signing adalah penggunaan tanda-tanda bahasa, baik verbal maupun nonverbal. Framing adalah pemilihan wacana berdasarkan pemihakan dalam berbagai aspek wacana. Sedangkan priming berarti mengatur ruang atau waktu untuk mempublikasikan wacana di hadapan khalayak.

  • Semiotika Roland Barthes

Mitos secara etimologi adalah sebuah tipe pembicaraan atau wicara (a type of speech). Selanjutnya, mitos adalah sesuatu untuk memahami mitos sebagai suatu objek, konsep atau gagasan; mitos merupakan mode pertandaan (a mode of signification), suatu bentuk (a form). Pemahaman lain tentang sudut pandang berkaitan dengan pandangan intelektual dan kritis yang diambil berkaitan dengan materi dia ialah representasi.

Bagian 2 : Jurnalisme Sebagai Mitos

Berisi tentang penelitian dalam 18 media online yang diambil secara acar, baik media maupun tema berita yang diangkatnya. Berdasarkan penelitian tersebut ada beberapa temuan penelitian, antara lain:

  • Banyak penggunaan bahasa dan istilah asing

Bahasa asing, rata-rata bahasa Inggris, bisa dihindari dan diganti dengan bahasa Indonesia. Penggunaan bahasa asing bisa atau diperbolehkan dipergunakan dalam tulisan media dengan beberapa alasan. Antara lain tidak ada terjemahan bahasa Indonesia yang tepat dari bahasa asing tersebut. Hanya saja dalam konteks penggunaan ini harus diterjemahkan atau dalam tanda kurung dengan sejelas mungkin sehingga makna yang akan disampaikan media dipahami pembaca.

  • Narasumber tunggal dan tidak kompeten

Salah satu indikator jurnalisme prasangka adalah narasumber tunggal atau tanpa cover (all) both sides. Dengan narasumber tunggal jurnalisme kehilangan keberimbangannya. Narasumber adalah elemen terpenting dari sebuah karya jurnalisme. Ketika narasumber tunggal, ia kian jauh dari kebenaran. Sedangkan jika narasumber tidak kompeten bukan saja menjauh dari kebenaran tetapi menjurus ke arah kesalahan dan kesesatan

  • Penuh prasangka dan tidak ada verifikasi fakta 

Kejujuran yang utama dari sebuah karya jurnalistik sedangkan verifikasi fakta, yang menurut Bill Kovach dan Tom Rosenstiel adalah jantung jurnalisme. Jika kejujuran dan verifikasi fakta sudah hilang dari sebuah karya jurnalistik, bisa dipastikan berita itu tidak memiliki orientasi dan bertujuan untuk kebenaran.

  • Nilai kesejatian pers

Undang-Undang Pers Nomor 40 Tahun 1999 menyatakan pers sebagai lembaga sosial dan wahana komunikasi massa yang melaksanakan kegiatan jurnalistik yang meliputi mencari, memperoleh, memiliki, menyimpan, mengolah, dan menyampaikan informasi baik dalam bentuk tulisan, suara, gambar, serta data dan grafik maupun dalam bentuk lainnya dengan menggunakan media cetak, media elektronik, dan segala jenis saluran yang tersedia.

  • Objetivitas versus subjektivitas media

Secara historis, pers ideal yang menjadi pilar keempat demokrasi yang objektif, netral dan nonpartisipan tak pernah terjadi di negeri ini. Ia pernah dijadikan alat melawan penjajah sebelum Indonesia merdeka, menjadi alat partai politik ketika demokrasi liberal, tangan kekuasaan pada masa Orde Baru, dan kooptasi pemilik modal di era reformasi. Dengan kata lain, pers di negeri ini selalu berpihak dalam wujud apa saja. Dengan kondisi tersebut, wartawan tidak memiliki independensi untuk menentukan kebijakan media, sehingga ada jarak antara berita sebagai produk jurnalistik dengan profesionalismenya.

Dalam buku ini juga terdapat lampiran 1 berupa Kode Etik Jurnalistik (KEJ), Deklarasi Prinsip-Prinsip Federasi Internasional Wartawan (IFJ), dan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 40 Tahun 1999 Tentang Pers. Lampiran 2 berupa Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik. Lampiran 3 berupa Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 32 Tahun 2002 Tentang Penyiaran. Lampiran 4 berupa Pedoman Pemberitaan Media Siber.

Resensi buku ini ditulis oleh Anastasia Della Resti.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Inovasi Selengkapnya
Lihat Inovasi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun