Mohon tunggu...
Mariana Poliraja
Mariana Poliraja Mohon Tunggu... -

Takjub dengan keberagaman bangsaku, Pembohong yang paling besar adalah orang yang bisa membohongi nurani nya.

Selanjutnya

Tutup

Catatan

Saat Itu Aku Jemu dengan Hidupku

8 Maret 2011   17:31 Diperbarui: 26 Juni 2015   07:57 279
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Aku memandang langit2 kamar tidur...diluar tadi seharian hujan mengguyur Jabotabek. Kuintip si ibu asyik menggosok lantai dan bak kamar mandi pavilyun. " Bersih juga nih orang. TKW gemblengan aja jarang2 betah nyikat kamar mandi sampai 1 jam begitu.. Batinku berperang antara keinginan membatalkan kontrakan dan kebutuhan membayar listrik yang tertunggak 2 bulan. Aahh persetan... aku tak mau mengorbankan kenyamanan hidup demi lembaran uang yang tak seberapa...

Tiba2 ada yang menyergap relung batinku. Cerita lelaki itu...sesudah gempa di Padang...anak keduanya yang lahir Caesar...lalu perkawinan antar suku dan beda keyakinan yang belum juga mendapat restu orang tua...ooohh...tak seharusnya aku mendengar cerita seperti itu...Dari buku yang kubaca...cerita buruk yang di dengar bisa mendatangkan efek negatif juga dalam kehidupan kita...

Aku menyalakan TV. Aduuhhh berita TV pun parah...Isinya juga negatif melulu...Bener kata temenku di di Depnaker...nontonnya TVRI...masih ada berita positifnya tentang negara kita katanya promosi. Kalau aku sih seneng sama Pelangi Desa dan Malam Minggunya Slamet Raharjo masih katanya.

Aku tetap bolak balik di ranjang. Mataku nanar tak bisa tidur.. Bapak anak itu ternyata benar menitipkan keluarganya padaku karena tiap malam harus jualan di pasar malam keliling... Tapi hari gini tak ada televisi?..musibah besar macam apa yang membuat mereka mengorbankan kesenangan si kecil? Lalu bagaimana sang ibu bisa berkompromi agar anak mereka tidak terus merengek pingin nonton TV?...Ini tentu bukan hal baru  yang mudah..

Kulihat jam dinding. Kentongan penjaga malam di tiang listrik menandakan sudah pukul 2 dini hari. Seekor tikus besar nampak bolak balik berusaha keluar melewati lemari sepatu. huuhhh...itu musuh yang belum berhasil kutaklukan. Mungkin karena sudah hafal bau ikan asin. Umpannya mungkin harus kuganti keju Kraft. Lha wong aku aja udah jarang2 makan spagethi pakai daging cincang dan La Fonte. Kasian deh lu...( Macaroni nya gratis tapi keju dan daging cincangnya mahal bo ! )

Kuperiksa rak dapur. Susu habis ..terpaksa malam2 nyeduh teh manis buat menghangatkan badan, masih percaya sama kata orang kalau begadang jangan sampai perut kosong bisa kena angin duduk. Seperti 60% umumnya orang Indonesia aku sudah lama tidak punya snack di rumah. Makanya kalau David Foster menyapa penontonnya dengan teriakan Hello RICH PEOPLE... nggak usah bertaruh.. Yakin aja aku sama sekali tidak termasuk yang disapanya.

Aku tak berhasil menemukan akar permasalahan yang membuat aku merasa jenuh dengan irama hidupku. Aku jadi ingat hadits orang Fakir dekat dengan Kafir. Pertanyaannya adakah pantas kalau aku yang tidak perlu ngontrak rumah ini  merasa fakir hanya karena aku tidak lagi bisa nonton konser Janet Jakcson  atau George Benson di Java Jazz? Apakah aku harus merasa diriku masuk dalam penduduk Indonesia miskin sementara aku masih bisa menyimak dengan baik tayangan Oprah atau mengikuti kisah Kick Andy yang di gagas dengan hati ? Kick Andy...Nama itu menyentak ubun2ku. Tayang ulang sore tadi membuatku sadar bahwa aku cuma kehilangan tempat tinggal elit dari Jakarta Selatan ke Desa bernama Gunung Sindur sementara 4 nara sumber kehilangan kedua penglihatan yang pernah dimiliki sampai usia 17 tahun. Mereka tak lagi melihat dunia tapi tak pernah berhenti menginspirasi orang lain yang tidak tuna netra.

Astaghfirullah...aku mendesis. Rabbigh firli....mohon ampunan ya Tuhanku.

Aku menemukan jawabannya. Aku ternyata telah membutakan mataku sendiri dari kebahagiaan yang seharusnya bisa kurengkuh dari celoteh dan keceriaan cucuku cuma karena mumet atas datangnya rizqi yang tersendat. Aku menulikan telingaku dari desir dedaunan pohon nangka, dukuh, rambutan karena tak lagi bisa mensyukuri akarnya yang menyimpan air hujan dan daun rindangnya membuat rumah kontrakan nyaman dihuni orang. Aku cuma gembira kalau bisa bayar tagihan semua pada waktunya sehingga tidak siap dengan ketidak beraturan.. Wajar kalau aku juga tidak lagi bisa menyimak dengan baik buku Quantum Ikhlasnya Mas Erbe. Karena aku lupa tugasku cuma ikhtiar dalam bingkai Amanah , dan Berdoa sambil menjalankankan Fitrah sebagai manusia. Tugas Dia lah Khalikku buat mengurusi dan mencukupi diriku dalam kecukupan hitunganNya.. bukan hitunganku...

Kentongan tiang listrik berdentang 3 x. " Ud uni astajiblakum. " Berdoalah..aku kabulkan..seru RAJA DIRAJA di sepertiga malam... Kukebat sajadah dan kurapihkan...Akupun tersengguk diantara desahan malam memohon ampun dan  menangisi keterbatasanku selaku Hamba Allah di hampir ujung usiaku....

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun