Pertimbangan Belanda membangun jembatan ini bisa jadi tidak lepas dari kepentingann militernya. Akan sangat repot jika harus turun tebing, melintas sungai Progo, lalu naik tebing lagi di seberangnya. Sangat tidak praktis dan lama. Apalagi barang yang di bawa adalah logistik peralatan militer.
Tidak sedikit pemimpin perjuangan bermarkas di wilayah ini. Untuk menghambat laju tentara Belanda ke daerah ini, para pejuangan memutus Jembatan Duwet. Sehingga bantuan pasuka Belanda yang datang dari Purworejo dan Magelang dapat di hentikan.
Setelah Belanda hengkang, jembatan ini di renovasi agar dapat di manfaatkan untuk kelancaran warga setempat. Selesai pembangunan tahun 1950. Tertuang di salah satu prasasti yang ada di salah satu ujung jembatan.
Fungsi vital Jembatan Duwet di masa perang kemerdekaan, di buat dalam sebuah diorama yang bisa kita lihat di Benteng Vredeburg, Yogyakarta. Mengingatkan kepada generasi sekarang nilai strategis sejarah perjuangan negeri ini.
Dari Masa ke Masa
Jika menilik kondisinya sebagai jembatan gantung, meski berkonstruksi baja diianggap cepat rapuh. Penyebabnya dinding tebing yang menjadi tumpuan cepat atau lambat akan terkikis arus Sungai Progo. Mungkin karena kondisinya begini di buat aturan hanya pengendara sepeda, motor, dan pejalan kaki saja yang boleh melintas. Sempat ada wacana jembatan ini akan di ganti dengan konstruksi beton yang lebih kuat.
Secara fotografis, jembatan ini cukup instagenic. Bentuknya yang menarik sering memancing pengunjung untuk ber-foto dengan latarbelakang jembatan ini. Lokasi di sekitarnya juga menarik di foto. Sungai Progo dengan tebing-nya, menarik di foto. Sebagai background foto pre-wedding juga menarik.
Bagi yang pertama kali jalan kaki melintas jembatan, tidak jarang merasa terkejut takut. Ternyata jembatan ini bisa ber-goyang. Ngeri jatuh. Apalagi lumayan tinggi sekitar 100 meter di atas Sungai Progo. Pengendara sepeda, motor, yang kebetulan melintas bersamaan angina kencang, akan merasakan juga goyangan jembatan ini.