Mohon tunggu...
Adolf Izaak
Adolf Izaak Mohon Tunggu... Karyawan swasta -

Orang kantoran tinggal di jakarta yang suka moto, traveling, di negeri tercinta Indonesia. bercita-cita ingin menjadi travel writer, travel photographer, khusus Indonesia

Selanjutnya

Tutup

Travel Story Pilihan

"Berdialog" dengan Maestro di Museum Affandi Yogya (2-Selesai)

22 Februari 2017   12:26 Diperbarui: 23 Februari 2017   18:28 854
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Koleksi pribadi, Museum Affandi

Mobil yang bisa kita lihat di salah satu galeri adalah salah satu asset kesayangannya. Untuk status beliau dengan sejumlah penghrgaan tadi saat itu tidak sulit mengganti dengan yang lebih baru, lebih eksklusif. “sayangnya” ia tetap betah dengan mobilnya itu. Sangat berguna. Bisa membawa kanvas dan peralatan lukis lainnya. Aman melewati jalan pedesaan, sebagai salah satu kegemarannya blusukan di desa-desa.

Sepeda Onthel? Juga di pajang di sebelah mobil kesayangnnya. Iya, ini salah satu kesayangan Affandi. Sangat berguna dan sering di pakai. Padahal dengan kemampuan keuangan dari hasil penjualan lukisan ia mampu saja membeli motor atau kendaraan lain yang lebih oke. Tapi Affandi tidak mau. Tutur Pak Dedi, tidak jarang ia di ajak beliau naik sepeda nonton wayang di Keraton. “Beliau itu senang nonton wayang. Kalau ada petunjukan ngga hanya di Keraton, di kampung-kumpung, ia pasti datangi-i. Ikut nonton bersama warga sekitarnya”, kata Pak Dedi.

Ket foto : 2 sepeda kesayangannya yang selalu di pakai, selain mobil sederhana di sebelahnya

Ada foto yang menarik. Bikin surprise. Menerima penghargaan Bintang Jasa Utama langsung diserahkan Presiden Soeharto (waktu itu). Namun yang tidak biasa beliau mengenakan sarung..woouww….

Ket foto : Mengenakan sarung saat ia menerima penghargaan Bintang Jasa Utama.

Wuaaa…tanpa terasa sudah hampir 3 jam berada di Muesum Affandi. Puas walau masih penasaran juga baru beberapa saja yang saya lihat. Lain kali saat ke Yogya bisa kesini lagi. “dialog” imajiner dengan sang Maestro harus saya akhiri. Meningalkan areal yang terletak di pinggir Sungai Gajahwong, saya tidak hanya memanggul kamera tetapi juga “oleh-oleh”.

Pelajaran moral, pesan kehidupan yang kental nuansa humanis, yang sangat berguna sebagai bekal masa depan. Betul menjalani hidup membutuhkan rupiah. Namun yang penting bagaimana agar tidak terjerat dari godaan setan dalam setiap nilai rupiah tadi.

Menjalani hidup sarat dengan pilihan. Tidak mudah saat di fase puncak kejayaan tetap memilih sebagai manusia yang lugu, bodoh, yang mencoba menjalani keseharian dengan selalu ber-syukur kepadaNYA. Affandi telah memilih itu. Saya terkesan dengan pilihannya. Melihat lukisannya muncul bayang wajahnya yang sederhana, tulus, “bodoh”.

.Ket foto : ekspresi diri puas berada di salah satu galeri karya lukis Affandi.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Travel Story Selengkapnya
Lihat Travel Story Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun