Mohon tunggu...
Adolf Izaak
Adolf Izaak Mohon Tunggu... Karyawan swasta -

Orang kantoran tinggal di jakarta yang suka moto, traveling, di negeri tercinta Indonesia. bercita-cita ingin menjadi travel writer, travel photographer, khusus Indonesia

Selanjutnya

Tutup

Travel Story Pilihan

"Berdialog" dengan Maestro di Museum Affandi Yogya (2-Selesai)

22 Februari 2017   12:26 Diperbarui: 23 Februari 2017   18:28 854
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Koleksi pribadi, Museum Affandi

Kepada asisten yang menemani ia cukup berteriak, kadang berkata pelan, “biru”, “merah”, “kuning”, saat membutuhkan tinta warna tersebut. Sang asisten yang sudah paham segera memberikan. Saat menerima Affandi tidak menoleh ke asisten atau memeriksa apakah benar warnanya sesuai keinginannya. Langsung tinta tadi ia torehkan ke kanvas, lalu tangannya leluasa menyapu tinta-tinta tadi. Inilah salah satu daya tarik Affandi saat ia berkarya.

Ket foto : Ilustrasi saat Affandi melukis. Fokus, konsentrasi, serius, tidak menggunakan kuas, salah satu ciri khasnya.

Romantis & Sederhana

Sempat mempunyai bayangan seorang seniman, khususnya pelukis, berpenampilan unik. Betul. Sepintas saya melihat dari foto, figur Affandi, jauh dari kesan modis. Beda dengan penampilan rekannya, Basuki Abdullah. Memang hidupnya melukis dan melukis. Saking fokusnya tadi barangkali tidak sempat membuat rapi penampilannya. Tapi justru disitulah keunikan sekaligus ke-istimewa-anny..

Karya “dead in my hand” yang di buat tahun 1945, menghadirkan Affandi yang romantis. Ia memiliki rasa pri-kebinatang-an. Berkisah, di depan rumahnya ada pohon beringin dimana banyak burung-burung hinggap. Suara/nyanyian burung sangat menghibur hatinya. Sayang tentara jepang sering menembaki burung-burung tersebut. Bukan sebagai musuh tapi karena iseng semata.
 sayangnya ia tidak berdaya melarang apalagi mencegahnya. Sampailah suatu pagi ia melihat ada burung yang terluka kena tembakan, tergeletak di bawah pohon. Saat ia pungut, sang burung meninggal di tangannya. Sedih, terharu, ia tuangkan dalam lukisan. Dengan gaya ekspresionisnya, saya terharu melihat lukisan satu ini. Ini lah salah satu sisi romantis beliau terutama terhadap binatang.

Ket foto Salah satu karya Affandi berjudul : Dead in my hand. yang begitu menyentuh. Terbaca figur yang romantis, peduli terhadap binatang.

Karya “mother’s Anger”, adalah ekspresi dirinya yang mencoba menghibur sang ibunda. “siapa yang mengurus saya jika kamu pergi”, kira-kira begitulah yang disampaikan ibunda saat Affandi pamit berangkat ke Eropa untuk pameran. Ada ketidakrelaan ditinggal pergi anaknya. Affandi mencoba menghibur sekaligus memohon agar ia di relakan untuk berangkat. Adegan ekspresi ibunda yang tidak rela, lalu ia membujuknya, di tuangkan dalam gaya ekspresionis dalam judul ini. Sungguh, melihat sepintas saja sulit memahami. Untunglah pak Dedi membantu menerangkan sehingga saya bisa mengerti. Lebih dari itu kagum akan kekuatan pesan yang tertuang dalam lukisan.

  • Berikut ini daftar yang saya peroleh dari berbagai sumber pengalaman Affandi pameran di luar negeri.
  • Museum of Modern Art (Rio de Janeiro, Brazil, 1966)
  • East-West Center (Honolulu, 1988)
  • Festival of Indonesia (AS, 1990-1992)
  • Gate Foundation (Amsterdam, Belanda, 1993)
  • Singapore Art Museum (1994)
  • Centre for Strategic and International Studies (Jakarta, 1996)
  • Indonesia-Japan Friendship Festival (Morioka, Tokyo, 1997)
  • ASEAN Masterworks (Selangor, Kuala Lumpur, Malaysia, 1997-1998)

Daftar di bawah ini adalah penghargaan yang ia pernah terima

  • Guru besar kehormatan untuk mata kuliah ilmu seni lukis di Ohio state University, Colombia, Amerika Serikat, 1960
  • Piagam anugerah seni dari Depdikbud 1969
  • Anugerah Doktor Honoris Causa dari University of Singapore 1974
  • Bintang Jasa Utama dari Pemerintah RI 1979
  • Dag Hammarskjold, Penghargaan Kedamaian International 1997 di Italia
  • Pelukis Ekspresionis Baru dari Indonesia dari Koran International Herald Tribune
  • Penghargaan Grand Maestro di Italia
  • Sebelum ia menekuni profesi sebagai pelukis, Affandi pernah sekolah formal di Hollandsch Inlandsche School (HIS), Meer Uitgebreid Lager Onderwijs (MULO), dan Algemeene Middelbare School (AMS). Ngga sembarang warga bisa mendapat pendidikan di sekolah ini.

Bagaimana komentar anda dan saya dari list di atas? Wuaaaa....hebat...? Cuma itu sajakah? Tentu saja tidak. Berlimpah uang sudah pasti. Karena penghargaan pasti identik dengan pemberian uang. “status” sosialnya pun meningkat. Ada kesempatan ia bergaul dengan para selebriti, politikus, birokrat, dan kalangan elite lainnya.

Namun saksi mata yang pernah bersamanya bertutur beda, Justru melihat Affandi bukan tokoh apalagi seleberitas yang wah dari penampilan maupun atributnya. Tidak menyangka ia sangt lah sederhana. Meskpun sudah melalang buana ke banyak negara di Asia, Eropa, Amerika, untuk pameran, mengajar, namun satu hal ia tidak pernah lupa makanan kegemarannya, tempe bakar.

Affandi pun mengaku dirinya sebagai “pelukis kerbau”. Menggambarkan dirinya sebagai pelukis yang yang “dungu”, “bodoh”. Tetap merasa tidak pandai bicara, tidak pandai mengarang, apalagi ber-teori. Hanya bisa melukis tok...!! Tidak ada alasan untuk merasa sombong karena memiliki sejumlah kelebihan. Ia hanya bisa melukis.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Travel Story Selengkapnya
Lihat Travel Story Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun