Mohon tunggu...
Adolf Izaak
Adolf Izaak Mohon Tunggu... Karyawan swasta -

Orang kantoran tinggal di jakarta yang suka moto, traveling, di negeri tercinta Indonesia. bercita-cita ingin menjadi travel writer, travel photographer, khusus Indonesia

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Kue Keranjang, Kue Sarat Makna

28 Januari 2017   18:57 Diperbarui: 28 Januari 2017   20:09 1827
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Tradisi ini masih berlangsung dari masa ke masa sampai sekarang. Karenanya, saat hunting foto di kelenteng tidak jarang melihat kue ranjang di altar-altar doa.

Kue Keranjang sebagai di altar doa
Kue Keranjang sebagai di altar doa
Seingat saya, karena Oma tidak beragama Konghucu, kue ranjang yang sudah jadi dan siap santap tidak digunakan untuk sesaji ritual doa. Langsung dibagikan kepada anak-anak dan cucu-cucunya. Oma tidak pernah membuat selain menjelang Imlek sebagai penghormatan tradisi leluhurnya meski sudah berstatus pribumi.

Sarat Makna

Jika kita sudah familiar, barangkali pernah mendapat bahkan menyantapnya, ada ciri khas yang harus selalu melekat pada kue ranjang. Ternyata ciri khas sarat dengan makna indah.

Pertama. Sesuai penamaan dalam dialog Hokkian tadi, Ti Kwe, yang artinya kue manis. Mengandung arti sukacita, kegembiraan, berkat. Rasa manis saat menikmati diharapkan menghadirkan rasa senang, gembira. Saat membagikan kepada yang lain sama saja membagi berkat dan sukacita. Diharapkan kue ranjang menjadi pemberian yang terbaik bagi yang menerima. Ada rasa sukacita, baik yang memberi maupun menerima.

Kedua. Ciri khas lain bahan dasarnya biasanya menggunakan tepung ketan. Yang jika sudah jadi terasa kenyal, lengket, dan tahan lama. Memiliki arti dan pesan sebagai persaudaraan erat dan bersatu baik di antara anggota keluarga dan orang-orang di sekeliling kita. Jangan sampai ada rusuh, apalagi permusuhan.

Ketiga, kue ranjang “harus” bebentuk bulat. Dipadukan kondisi yang tahan lama tadi, maknanya rasa kekeluargaan, persaudaraan, kerukunan, yang sudah terjadi tetap terus terbina secara abadi tanpa mengenal waktu. Cegahlah agar berbagai persoalan yang bakal terjadi akan memupus semangat kerukunan tadi. Sebagai wujud persaudaraan, jika ada di antara kita yang menghadapi masalah, jangan ragu untuk saling membantu dan saling meringankan beban penderitaannya. Bagi individu, keluarga, masyarakat, yang mengalami problem tadi diharapkan tetap tegar, tidak mudah menyerah, dan terus berjuang menyelesaikan persoalan secara baik dan benar. Dari gejolak hidup tetap bertahan sambil terus berusaha secara ulet dan gigih meraih yang terbaik.

Bagi Oma sendiri, yang dituturkan oleh Mama, meski sudah “tersingkir” dari keluarga besarnya, sudah kehilangan hak kesulungan karena memutuskan menikah dengan pribumi, tetap memberikan kue keranjang kepada adik-adik dan saudara-saudaranya. Bagaimanapun rasa kekeluargaan tidak pernah hilang. Tetap ada rasa kerinduan duduk satu meja, berkumpul kembali sebagai dengan keluarganya besarnya dalam suasana akrab.

Keempat. Ternyata pembuatannya dari awal hingga siap santap membutuhkan waktu lama, berjam-jam. Bisa seharian bikinnya. Kurang lebih 10-12 jam. Woouwww… Eee ada maknanya, yang utama adalah kesabaran. Sabar dalam menghadapi berbagai persoalan. Tetap teguh, konsisten, fokus, konsentrasi, dengan pikiran positif dalam meraih cita-cita.

Kelima, agar menghasilkan rasa dan bentuk yang sempurna sehingga bisa disantap dengan rasa nikmat, maka pembuatannya harus ekstra hati-hati. Risikonya jika tidak hati-hati bentuknya bulat dan masih terasa manis, hasilnya tidak lagi kenyal, rupa warna pucat. Jika sudah begini pasti kehilangan selera untuk menyantapnya. Faktanya tidak semua mampu membuat kue ranjang sampai siap saji. Pun mampu saking lamanya ada juga yang mundur.

Maknanya, harus dengan mengembangkan sikap tulus, hati dan pikiran jernih, saat kita bergaul berinteraksi baik dengan sesama anggota keluarga dan di masyarakat. Saat kita memberikan bantuan kepada yang mengalami masalah atau kesulitan, lakukan dengan sungguh, niat tulus, tanpa mengharapkan imbalan apa-apa. Pun saat menghadapi berbagai persoalan, hadapi dengan tenang, menggunakan rasio dan rasa, jauhkan emosi, saat menyelesaikan persoalan tersebut. Jika dilakukan pasti akan mendapatkan hasil yang maksimal.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun