Mohon tunggu...
Adolf Izaak
Adolf Izaak Mohon Tunggu... Karyawan swasta -

Orang kantoran tinggal di jakarta yang suka moto, traveling, di negeri tercinta Indonesia. bercita-cita ingin menjadi travel writer, travel photographer, khusus Indonesia

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Kue Keranjang, Kue Sarat Makna

28 Januari 2017   18:57 Diperbarui: 28 Januari 2017   20:09 1827
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Memasuki tahun baru dan perayaan Imlek, kerap saya teringat masa kecil saat masih bersama Oma yang sekarang sudah almarhum. Oma yang berasal dari Cina Daratan datang ke bumi Nusantara. Kami tidak pernah memanggil dengan sebutan Popo, panggilan khas dari masyarakat Tionghoa untuk nenek dari pihak ibu. Dalam perjalanannya hidupnya, akhirnya beliau menikah dengan pria pribumi dari bumi Kawanua (Manado), yang waktu itu bekerja untuk pemerintah Belanda. Sebagai konsekuensi, oleh pihak keluarga hak kesulungan atau ke-Cina-annya dihapus. Mengikuti tradisi Eropa Belanda, cucu-cucunya termasuk saya sudah terbiasa memanggil “Oma”.

Sekalipun sudah menjadi pribumi, ada tradisi Tionghoa yang masih dipertahankan. Menjelang Imlek, Oma selalu membuat dan menyediakan kue keranjang untuk anak-anak, cucu-cucu, saudara-saudaranya, bahkan tetangga. Namanya anak-anak, dikasih kue pasti senenglah, ngga peduli namanya apa. Pesan dari Oma yang selalu saya ingat sebelum makan, “Makan ya supaya nanti kamu jadi kaya.” Wooouwww… tambah semangat makannya…hahaha….

Oma paling nge-fans sama kue ini. Tidak mau beli, tapi dibikin langsung melalui keterampilan tangannya mengolahnya hingga siap saji. Saya sempat heran kok Oma suka banget ya sama kue keranjang dibanding kue lain khas Tionghoa. Sayang, setelah Oma tiada, kami baru menyadari dan mengerti kenapa Oma begitu.

Mitos

Sesuai namanya, mudah ditebak dibuat menggunakan wadah berbentuk keranjang kecil. Waktu itu kami tahunya setelah kue jadi Oma selalu membagi yang dikemas tas keranjang kecil sesuai jumlahnya. Padahal, sebenarnya lebih merujuk ke wadah cetakan tadi. Meski bisa saja menggunakan tas plastik, rupanya Oma belum puas, tetap saja menggunakan keranjang kecil saat dibagikan. Mantap sudah menyebut kue keranjang atau suka disingkat “kue ranjang”. Aslinya dari daratan disebut Nian Gao. Dalam dialek tertentu, kalau tidak salah Hokkian, disebut Ti Kwe, yang artinya 'kue manis'. Maknanya kurang lebih sama, kue yang dihasilkan dari cetakan berbentuk keranjang dan rasanya manis.

Pembuatan dan penyajian kue keranjang bukanlah tanpa maksud dan tujuan. Ada mitos di daratan Cina saat musim dingin, makhluk raksasa berupa hewan yang disebut “nian”, setelah berhibernasi karena lapar keluar dari gua persembunyiannya untuk berburu makhluk lain, termasuk manusia, untuk disantap. Iiiihhh ngeri ya.

Note: Hibernasi adalah perilaku beberapa hewan yang melakukan tidur panjang untuk menghemat energi. Selama berhibernasi, metabolise tubuh melambat. Demikian juga suhu tubuh dan pernapasan ikut melambat. Biasa terjadi di saat musim dingin di mana tidak tumbuhan, makanan, yang bisa disantap karena dampak dingin menyengat.

Ancaman sang hewan raksasa pasti menimbulkan ketakutan warga desa. Seorang warga desa bernama Gao yang rupanya memiliki keterampilan membuat makanan, berinsisiatif membuat sejenis kue dari bahan tepung ketan dan gula. Setelah jadi, diletakkan di depan pintu rumah. Tujuannya agar mahluk Nian yang kelaparan tadi menemuan kue dan menyantap sampai kenyang lalu pergi. Warga desa tersebut lega, senang luput dari santapan Nian. Untuk mencegah dari ancaman setiap musim dingin, warga membuat kue seperti yang dibuat Gao tadi. Sebagai penghargaan jasanya, kue tersebut dinamakan “Nian Gao”. Menarik juga mitosnya ya.

Terlepas dari mitos tadi, nama asli Nian Gao berarti kue tahunan. Kue yang sengaja dan khusus dibuat dalam rangka perayaan Imlek, yang dalam kalender/tahun masehi cuma sekali. Perkembangannya, khusus yang fanatik penggemar kue ranjang, tidak ada larangan dibuat dan disantap di luar hari jelang Imlek. Silakan saja misalnya bulan Agustus merasa kangen lalu membuat dan menyantap kue ranjang. Hanya saja, jika ingin mencari praktis, cukup membeli, akan sulit mencarinya di luar tanggal jelang Imlek.

Selain itu mitos tadi, kue ranjang khusus dibuat menjelang tahun baru Imlek, digunakan oleh umat yang merayakan Imlek sebagai sesaji saat melakukan doa dan upacara persembahan kepada leluhur. Upacara itu sendiri biasanya dilakukan malam sebelum tahun baru.

Setelah itu, kue tadi disantap atau diapakan? Silakan dimakan. Hanya saja, baru boleh setelah setelah tiba di hari terakhir masa perayaan tahun Baru Imlek, yang lamanya 15 hari. Tentu sudah familiar dengan sebutan Cap Go Meh. Berarti selama 15 hari kue tersebut harus didiamkan tidak boleh dimakan.

Tradisi ini masih berlangsung dari masa ke masa sampai sekarang. Karenanya, saat hunting foto di kelenteng tidak jarang melihat kue ranjang di altar-altar doa.

Kue Keranjang sebagai di altar doa
Kue Keranjang sebagai di altar doa
Seingat saya, karena Oma tidak beragama Konghucu, kue ranjang yang sudah jadi dan siap santap tidak digunakan untuk sesaji ritual doa. Langsung dibagikan kepada anak-anak dan cucu-cucunya. Oma tidak pernah membuat selain menjelang Imlek sebagai penghormatan tradisi leluhurnya meski sudah berstatus pribumi.

Sarat Makna

Jika kita sudah familiar, barangkali pernah mendapat bahkan menyantapnya, ada ciri khas yang harus selalu melekat pada kue ranjang. Ternyata ciri khas sarat dengan makna indah.

Pertama. Sesuai penamaan dalam dialog Hokkian tadi, Ti Kwe, yang artinya kue manis. Mengandung arti sukacita, kegembiraan, berkat. Rasa manis saat menikmati diharapkan menghadirkan rasa senang, gembira. Saat membagikan kepada yang lain sama saja membagi berkat dan sukacita. Diharapkan kue ranjang menjadi pemberian yang terbaik bagi yang menerima. Ada rasa sukacita, baik yang memberi maupun menerima.

Kedua. Ciri khas lain bahan dasarnya biasanya menggunakan tepung ketan. Yang jika sudah jadi terasa kenyal, lengket, dan tahan lama. Memiliki arti dan pesan sebagai persaudaraan erat dan bersatu baik di antara anggota keluarga dan orang-orang di sekeliling kita. Jangan sampai ada rusuh, apalagi permusuhan.

Ketiga, kue ranjang “harus” bebentuk bulat. Dipadukan kondisi yang tahan lama tadi, maknanya rasa kekeluargaan, persaudaraan, kerukunan, yang sudah terjadi tetap terus terbina secara abadi tanpa mengenal waktu. Cegahlah agar berbagai persoalan yang bakal terjadi akan memupus semangat kerukunan tadi. Sebagai wujud persaudaraan, jika ada di antara kita yang menghadapi masalah, jangan ragu untuk saling membantu dan saling meringankan beban penderitaannya. Bagi individu, keluarga, masyarakat, yang mengalami problem tadi diharapkan tetap tegar, tidak mudah menyerah, dan terus berjuang menyelesaikan persoalan secara baik dan benar. Dari gejolak hidup tetap bertahan sambil terus berusaha secara ulet dan gigih meraih yang terbaik.

Bagi Oma sendiri, yang dituturkan oleh Mama, meski sudah “tersingkir” dari keluarga besarnya, sudah kehilangan hak kesulungan karena memutuskan menikah dengan pribumi, tetap memberikan kue keranjang kepada adik-adik dan saudara-saudaranya. Bagaimanapun rasa kekeluargaan tidak pernah hilang. Tetap ada rasa kerinduan duduk satu meja, berkumpul kembali sebagai dengan keluarganya besarnya dalam suasana akrab.

Keempat. Ternyata pembuatannya dari awal hingga siap santap membutuhkan waktu lama, berjam-jam. Bisa seharian bikinnya. Kurang lebih 10-12 jam. Woouwww… Eee ada maknanya, yang utama adalah kesabaran. Sabar dalam menghadapi berbagai persoalan. Tetap teguh, konsisten, fokus, konsentrasi, dengan pikiran positif dalam meraih cita-cita.

Kelima, agar menghasilkan rasa dan bentuk yang sempurna sehingga bisa disantap dengan rasa nikmat, maka pembuatannya harus ekstra hati-hati. Risikonya jika tidak hati-hati bentuknya bulat dan masih terasa manis, hasilnya tidak lagi kenyal, rupa warna pucat. Jika sudah begini pasti kehilangan selera untuk menyantapnya. Faktanya tidak semua mampu membuat kue ranjang sampai siap saji. Pun mampu saking lamanya ada juga yang mundur.

Maknanya, harus dengan mengembangkan sikap tulus, hati dan pikiran jernih, saat kita bergaul berinteraksi baik dengan sesama anggota keluarga dan di masyarakat. Saat kita memberikan bantuan kepada yang mengalami masalah atau kesulitan, lakukan dengan sungguh, niat tulus, tanpa mengharapkan imbalan apa-apa. Pun saat menghadapi berbagai persoalan, hadapi dengan tenang, menggunakan rasio dan rasa, jauhkan emosi, saat menyelesaikan persoalan tersebut. Jika dilakukan pasti akan mendapatkan hasil yang maksimal.

Keenam. Tampilan yang sederhana. Jika sudah siap santap “hanya” dibungkus daun. Tanpa embel-embel hiasan lain dengan tujuan perindah bentuk. Maknanya, jangan menghindari kesederhanaan dalam menjalani hidup sehari-hari.

Mengejar kemakmuran, bekerja demi gaji dan bonus tinggi, tidaklah keliru. Namun, jangan lupakan menerapkan pikiran dan gaya hidup yang sederhana agar tidak terjebak kehancuran hidup karena kesombongan, egoisme. Berarti juga menahan diri agar tidak tergoda mengejar ambisi, dan gaya hidup yang menguras material. Kualitas diri tidak serta merta dinilai dari berapa rupiah, seperti apa jabatan, kekuasan apa, yang dimiliki seseorang. Kalau memang kemampuan keuangan hanya mampu membeli baju merek lokal, buat apa harus memaksakan diri menggunakan merek luar negeri contohnya. Toh di era masyarakat modern, respek orang lain kepada diri bukan dilihat dari penampilan melainkan hati tulus, sikap perilaku, cara berpikir yang positif.

Ketujuh. Awet, tahan lama. Kue ranjang bisa disantap langsung setelah siap saji. Istilah fresh from the oven. Atau setelah diendapkan berhari-hari, meski keras, dengan sedikit pengolahan lagi, faktanya tetap masih bisa dinikmati.

Artinya, jadilah manusia yang berguna, memberikan kontribusi positif bagi orang-orang di sekitar, tanpa dikekang waktu. Pun sudah merasa berusia tetap merasa memiliki kemampuan bertindak memberikan yang berguna. Terus berkarya menghasilkan yang positif sampai ajal menjemput.

Kedelapan. Selamat menikmati kue ranjang. Semoga saat bersantap kita juga diingatkan makna indah dari kue yang sederhana ini. Gong Xi Fat Cai. Selamat tahun baru Imlek bagi yang merayakan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun