Mohon tunggu...
Brader Yefta
Brader Yefta Mohon Tunggu... Administrasi - Menulis untuk berbagi

Just Sharing....Nomine Best in Specific Interest Kompasiana Award 2023

Selanjutnya

Tutup

Financial Artikel Utama

Ketika Berhadapan dengan Nasabah Tipikal Gaya Elit Ekonomi Sulit

9 Juli 2024   17:34 Diperbarui: 10 Juli 2024   01:27 93
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi- gaya elit. (Shutterstock/Roman Samborskyi via Kompas.com)

Just Sharing.....

Zaman masih SD (Sekolah Dasar) di kota kelahiran saya dulu, ada istilah BIMAS. Sebenarnya itu selentingan berbalut candaan para orang dewasa menyindir kelas sosial tertentu di tahun 90 an. 

Cuma seingat saya, istilah itu cukup booming di zaman itu sehingga nancep di memori anak -anak kecil seperti saya, yang didengar dari celotehan atau candaan antar tetangga atau di tempat nongkrong.

BIMAS sebenarnya berasal dari kata BINMAS yang kepanjangan nya Bimbingan Masyarakat atau Bina Masyarakat, yakni divisi di lembaga pemerintahan atau lembaga sosial termasuk di kepolisian yang menangani pembinaan juga permasalahan di masyarakat. 

Istilah ini cukup tenar di zaman orde baru. Namun dalam sindiran sosial di era itu, huruf N pada kata BINMAS dihilangkan sehingga jadi kata BIMAS. Mungkin agar lebih muda dieja dan diucapkan.

BIMAS dikonotasikan bukan sebagai Bina Masyatakat, tapi kepanjangan dari Biar Miskin Asal Stail (dari kata Style dalam Bahasa Inggris yang artinya gaya). Maksudnya Biar Miskin Asal Gaya. 

Dalam istilah sehari-hari di zaman itu, ini adalah sindiran buat kelas sosial ekonomi masyarakat yang penghasilan pas-pasan tapi tetap sok gengsi. Takut harga dirinya turun. 

Demi seseorang bisa diterima dalam sebuah komunitas atau mendongkrak citra dirinya, dikenakanlah aksesori atau busana bermerek, naik kendaraan tertentu, atau ditambah sedikit bualan tak jadi soal. 

Citra sosial lebih tinggi di mata orang lain jadi tujuan dibanding jujur mengenal diri sendiri atau mendasari hidup pada kemampuan financial. 

Dan bagi orang lain yang tak terlalu mengenal dekat, mungkin saja berpikir orang tersebut dari tampilan luar berasal dari skala ekonomi menengah ke atas. Banyak uang, pekerjaan mentereng atau anak orkay (orang kaya). 

Tapi bagi yang tau dia seperti apa, tinggal di mana, profesi apa, gaji berapa dan merasa gaya hidup dan gengsinya ketinggian, akan menyindir dengan ucapan: Dia itu BIMAS (Biar Miskin Asal Stail). 

Di awal 2000an zaman kuliah, belum terdengar istilah GAEES (Gaya Elit Ekonomi Sulit). Ungkapan BIMAS pun perlahan sudah tak terdengar lagi. 

Namun kecenderungan untuk punya gaya hidup atau status sosial yang lebih tinggi dari kemampuan finansial yang dimiliki masih teramati pada tak sedikit masyarakat.

Apalagi didukung perbankan dan perusahaan pembiayaan di awal 2000 an yang tumbuh pesat usai pulih dari krisis moneter 1997/1998. Kian banyak lembaga keuangan menawarkan kredit ke masyarakat.

Alhasil keinginan untuk memenuhi kebutuhan atau menaikkan gengsi diri, dapat terakomodasi dengan melimpahnya penawaran kredit. 

Ditambah bumbu marketing pembiayaan menjual produk pinjaman dengan slogan seperti Pakai Dulu Cicil Kemudian atau Ngapain Nunggu Kalau Sekarang Bisa, kian memuaskan dahaga masyarakat tuk berhutang.

gambar diambil dari pinterest.com
gambar diambil dari pinterest.com

Bagaimana berhadapan dengan tipikal nasabah gaya elit ekonomi sulit? 

Lembaga kredit seperti perbankan, multifinance, koperasi, dan lainnya bertujuan menyalurkan kredit ke masyarakat dengan imbalan profit dari bunga kredit. Padahal sejatinya profit itu tidak pasti.

Iya kalau lancar, kalau nunggak lalu macet kan rugi hanya bakar uang. Untuk itu semua lembaga kredit punya analis kredit yang filter siapa-siapa yang mau dikasi utang. 

Tapi sekalipun telah lolos dari analis kredit, itu juga sebuah ketidakpastian karena apa saja bisa terjadi pada nasabah usai tenor berjalan. Untuk itu pula makanya semua lembaga pendanaan punya Divisi Penagihan untuk tangani para nasabah yang lalai kewajiban bayar. 

Lalu apa hubungan nya dengan para nasabah tipikal gaya elit ekonomi sulit? 

1. Bisa terdeteksi di awal saat pengajuan. 

Pengaju menginginkan unit kredit yang lebih besar dari kemampuan dan kapasitas membayar, namun dari hasil survei lingkungan dan juga verifikasi sumber-sumber penghasilan dirasa tak memadai. 

Misal mau kredit roda dua atau roda empat tapi dari hasil survei, total penghasilan tak penuhi syarat minimal untuk nominal angsuram. Diminta pake DP tak mau, disarankan naik DP juga tak mau. 

Pada beberapa kisah yang lain, maunya kredit iPhone 15 pro max, tak mau handphone Android, tapi gaji yang diterima satu bulan sama dengan satu cicilan.

2. Tak terdeteksi saat pengajuan, tapi nampak setelah kontrak berjalan. 

Untuk nomor dua ini, biasanya ditemukan dari analisis dan laporan dari di bagian penagihan manakala menangani akun akun yang menunggak. Antara lain seperti di bawah ini: 

Pertama, nasabah kembalikan barang kredit setelah kontrak berjalan. Alasan karena tak sanggup mengangsur lagi karena kebutuhan yang lain. 

Kedua, kredit di tempat A, kredit juga di tempat B, tapi ada lagi di tempat C. Model nasabah seperti ini terlalu banyak keinginan tapi terlalu sedikit penghasilan. Akhirnya bingung stres sendiri. 

Ketiga, barang yang dikredit untuk mendongkrak citra diri nasabah, tapi menghindari kewajiban bayar. 

Ada nasabah terlihat keren dengan punya kendaraan tertentu tapi tetangganya tak tahu kalau itu menunggak sekian bulan sampai ketahuan ketika pegawai tagih datang ke rumah nasabah.

Andai akumulasi tunggakkan berakhir dengan unit ditarik, tentu citra diri nasabah akan luntur di mata orang lain. 

Ada juga yang lebih menginginkan kekaguman secara sosial di media sosial dengan beraneka postingan yang menarik banyak likes dan follower, tapi lalai pada kewajiban utang. 

Menghadapi tipe ini memang ekstra hati-hati. Salah penanganan keluar dari pakem OJK, bahaya bisa diposting di medsosnya. Tapi ibarat senjata makan tuan, citranya juga akan dianggap tak memberi contoh yang baik untuk mengedukasi masyarakat. 

Keempat, info dari orang-orang terdekat manakala didatangi. 

Bisa tetangga, bisa keluarganya sendiri atau relasi bisnis di mana mereka memberitahukan bahwa si nasabah juga selain kredit di kantor, dia juga memiliki utang dengan pihak lain yang tak terdaftar di catatan SLIK saat ajukan kredit dulu. 

Biasanya ini utang dengan orang perorangan. Terlanjur dikasi kredit karena tak terdeteksi disistem. 

Gaya elit ekonomi sulit, gimana menghindarinya? 

Dari istilah BIMAS ke istilah GAEES (Gaya Elit Ekonomi Sulit) bahkan huruf S nya ditambah lagi jadi GAESS (Gaya Elit Ekonomi Sulit Sekali) hanyalah sindiran sesuai zaman untuk menggambarkan seseorang yang ibarat peribahasa besar pasak daripada tiang.

Berutang pada lembaga kredit di zaman dulu dan sekarang sudah berubah. Dulu tak ada OJK, sekarang semua diawasi oleh lembaga bentukkan pemerintah itu. 

Dulu BI Checking hanya bisa diakses oleh perbankan, setelah berubah ke SLIK perusahaan pembiayaan bahkan nasabah pun bisa buka bisa lihat riwayat kredit nya baik atau buruk. 

Dulu tak ada EKTP sekarang cukup dengan kartu identitas itu sudah bisa kredit secara online maupun konvensional di mana-mana. 

Dulu tak ada medsos, kini lewat medsos calon nasabah bisa menuliskan semua permasalahannya dengan lembaga kredit di media konsumen yang berseliweran di internet. 

Zaman berubah, teknologi juga berubah, kebijakan kredit berubah. tapi apakah karakter manusia juga berubah? Tak ada yang bisa memastikan. Karena gaya elit ekonomi sulit lebih banyak berkaitan dengan karakter. 

Dan cara seseorang mengelola uang menunjukkan bagaimana karakternya. Bukan soal sedikit atau banyaknya, tapi bagaimana mengukur kemampuan diri dengan kemampuan finansial terhadap kemampuan membayar hutang. 

Salam Kompasiana

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Financial Selengkapnya
Lihat Financial Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun