Dan bagi orang lain yang tak terlalu mengenal dekat, mungkin saja berpikir orang tersebut dari tampilan luar berasal dari skala ekonomi menengah ke atas. Banyak uang, pekerjaan mentereng atau anak orkay (orang kaya).Â
Tapi bagi yang tau dia seperti apa, tinggal di mana, profesi apa, gaji berapa dan merasa gaya hidup dan gengsinya ketinggian, akan menyindir dengan ucapan: Dia itu BIMAS (Biar Miskin Asal Stail).Â
Di awal 2000an zaman kuliah, belum terdengar istilah GAEES (Gaya Elit Ekonomi Sulit). Ungkapan BIMAS pun perlahan sudah tak terdengar lagi.Â
Namun kecenderungan untuk punya gaya hidup atau status sosial yang lebih tinggi dari kemampuan finansial yang dimiliki masih teramati pada tak sedikit masyarakat.
Apalagi didukung perbankan dan perusahaan pembiayaan di awal 2000 an yang tumbuh pesat usai pulih dari krisis moneter 1997/1998. Kian banyak lembaga keuangan menawarkan kredit ke masyarakat.
Alhasil keinginan untuk memenuhi kebutuhan atau menaikkan gengsi diri, dapat terakomodasi dengan melimpahnya penawaran kredit.Â
Ditambah bumbu marketing pembiayaan menjual produk pinjaman dengan slogan seperti Pakai Dulu Cicil Kemudian atau Ngapain Nunggu Kalau Sekarang Bisa, kian memuaskan dahaga masyarakat tuk berhutang.
Bagaimana berhadapan dengan tipikal nasabah gaya elit ekonomi sulit?Â
Lembaga kredit seperti perbankan, multifinance, koperasi, dan lainnya bertujuan menyalurkan kredit ke masyarakat dengan imbalan profit dari bunga kredit. Padahal sejatinya profit itu tidak pasti.
Iya kalau lancar, kalau nunggak lalu macet kan rugi hanya bakar uang. Untuk itu semua lembaga kredit punya analis kredit yang filter siapa-siapa yang mau dikasi utang.Â