1. Memahami Nilai Uang dalam Skala Prioritas Waktu
Kisah salah satu debitur di atas yang boleh dikata nekad dan mendesak ajukan pinjaman 200 juta lantaran ingin membeli tanah produktif di saat si penjual kepepet melego karena butuh dana. Tak ingin diambil oleh penawar lain ketika dia adalah penawar pertama.Â
Logikanya semakin banyak penawar, si penjual kemungkinan akan menaikkan harga. Dengan dia "membungkus" dan bayar tunai, tertutup sudah bagi penawar lain. Dia beruntung mendapatkan harga pertama yang lebih murah sebelum dinaikkan oleh si penjual.Â
Di sisi lain, bagi debitur di atas yang punya usaha kafe, dia merasa prioritas stok dana yang dimilikinya lebih baik digunakan untuk operasional usaha kafe dibandingkan keluar 20 juta untuk beli iPhone.Â
Di saat iklim bisnis sedang ramai dan baik baik saja, masih lebih baik mencicil satu jutaan perbulan dibanding pengeluaran puluhan juta. Toh laba harian dari usaha kafe bisa disisihkan perhari tuk angsuran bulanannya.Â
2. Memahami Nilai Investasi di Masa Depan.Â
Pinjam dana 200 juta buat beli tanah produktif yang dihitung dengan total cicilan dikalikan tenor 12 bulan bisa jadi akan mencapai anggaplah 220 juta. Tapi dalam lima tahun ke depan, harga tanah akan merangkak naik seiring dengan berkembangnya wilayah tersebut.Â
"Tidak apa-apa rugi 220 juta, tapi baliknya bisa lebih dari 300 juta bila dijual kembali," kata si debitur.Â
Untung besar memang. Toh andai tak dijual, tanah tersebut bisa digunakan untuk lahan bisnisnya juga. Tanah adalah aset berwujud yang kian tahun kian mahal harga per-are-nya. Jadi dia tak merasa ada yang salah dengan keputusan berhutang.Â
Bagi debitur pertama di atas, dia paham harga kontrak ruko akan naik setiap tahun, apalagi di pusat kota.Â
Ada kecenderungan si pemilik properti bila melihat usaha yang dikelola para penyewa rukonya lancar jaya rame banyak pelanggan, ada inisiatif menaikkan harga ruko setelah kontrak berakhir.Â