Mohon tunggu...
Brader Yefta
Brader Yefta Mohon Tunggu... Administrasi - Menulis untuk berbagi

Just Sharing....Nomine Best in Specific Interest Kompasiana Award 2023

Selanjutnya

Tutup

Financial Artikel Utama

Mengapa Orang Sudah Kaya, Masih Juga Kredit tapi Tak Beli Tunai?

16 Oktober 2023   19:08 Diperbarui: 17 Oktober 2023   09:42 2038
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Salah satu bentuk kredit adalah kartu kredit.(PEXELS/PIXABAY)

Just Sharing....

Dalam pengalaman bekerja, kerap menemui nasabah yang secara ekonomi terbilang kaya dalam persepsi mayoritas masyarakat. 

Anggapan seperti orang kaya itu dapat dilihat dari rumahnya berlantai tiga, punya mobil pribadi lebih dari dua unit, punya banyak unit bisnis, mampu sekolahkan anak di sekolah internasional hingga jabatan mentereng. 

Menariknya, meski dinilai masuk dalam katagori golongan ekonomi menengah ke atas, sebagian dari mereka tetap punya kredit dan kewajiban cicilan. Bukankah mereka sebenarnya bisa beli tunai sejumlah barang daripada kredit? Stok tabungan yang dimiliki lebih dari cukup.

Saya punya seorang debitur pendidikan S2. Mengelola sebuah cafe yang cukup terkenal di pusat kota. Ada cabang lain juga yang mana dia investasi di sana. Dia jarang ada di tempat usaha karena dikelola oleh sejumlah anak buahnya. Cukup kontrol jarak jauh. Sesekali mampir buat sidak. 

Manakalanya berkunjung ke warkop modern itu yang digandrungi anak muda generasi 2000-an, salah seorang pelayan berkata, "Bos lagi terbang. Entah terbang kemana. Yang pasti bukan terbang dengan malaikat bersayap, hehe". 

Ketika melihat piutang unit yang dikredit itu berupa harga iPhone 14 pro max yang kisaran beli tunainya 19 jutaan, saya dan Anda mungkin berpikir sederhana. Apa susahnya sih dia bisa beli tunai daripada mencicil selama sembilan bulan. 

Toh dia setiap kali mampir ke kafenya mengendarai mobil pribadinya keluaran tahun 2021. Beli mobil aja dia bisa, apalagi beli gawai bikinan perusahaan Apple itu. 

Itu contoh yang pertama. Mari kita pindah ke salah satu debitur lain dengan latar belakang eknomi yang tak jauh berbeda. 

Pendidikan hanya tamatan SMA, tapi telah lama bergelut dengan bisnis toko bahan bangunan. Terbesar di kecamatan. 

Rata-rata untuk bisa menjadi penyalur bahan bangunan, modalnya sangatlah besar. Dia juga punya beberapa DT (Dumpt Truk) untuk siap mengantar lintas kota lintas pulau bahkan lintas provinsi. 

dokpri
dokpri

Suatu saat, dia hendak mengajukan pinjaman modal kerja 200 juta. Ketika ditanyakan tujuannya apa, jawabnya singkat saja, "Buat beli tanah Pak. Yang pasti tanah produktif bukan tanah kuburan, hehe." 

Harga tanah 200 juta, tapi aset yang dimilikinya dari dokumen yang diserahkan plus saldo mengendap di rekening tiga bulanannya, hampir enam kali lipat. Fantatis sekali. 

Bapak ini bukannya bisa beli cash kenapa harus kredit dengan cicilan 20 jutaan per bulan. Begitulah logika sederhana kita mencerna. 

Mengapa orang sudah kaya masih juga berutang? 

Dalam persepsi kebanyakkan masyarakat, orang berhutang adalah orang yang kekurangan dana. Tidak cukup uang beli motor, jadilah dia kredit motor. Mau beli rumah dana masih kurang,akhirnya ajukan KPR. 

Mengapa ungkapan Pinjam Dulu Seratus begitu trend dan populer saat ini, ya tidak lain alasannya lantaran dekat dan kerap terjadi dalam kelas sosial masyarakat. Pinjam meminjam uang sudah terlanjur dianggap sebagai budaya. 

Manakala tidak mampu membeli secara langsung tapi berniat untuk bisa menggunakan di saat sekarang, mereka yang defisit dana cenderung untuk meminjam pada yang kelebihan dana. 

Tapi akan lain motivasinya bila yang sudah kelebihan dana meminjam pada lembaga pendanaan. Dan di negara kita, cukup banyak pejabat dan orang penting terkenal yang punya aset dan tabungan melimpah namun disertai pula dengan sejumlah hutang di tempat lain. Bisa cek sendiri dengan membrowsing atau kepoin harta pejabat di situs internet. 

Berkaca dari dua kisah debitur di atas, lewat obrolan dengan mereka, ada sejumlah faktor yang mendorong mengapa mereka yang secara finansial mampu untuk tidak kredit namun memutuskan lebih baik mencicil dalam sekian bulan dibanding membeli tunai. 

1. Memahami Nilai Uang dalam Skala Prioritas Waktu

Kisah salah satu debitur di atas yang boleh dikata nekad dan mendesak ajukan pinjaman 200 juta lantaran ingin membeli tanah produktif di saat si penjual kepepet melego karena butuh dana. Tak ingin diambil oleh penawar lain ketika dia adalah penawar pertama. 

Logikanya semakin banyak penawar, si penjual kemungkinan akan menaikkan harga. Dengan dia "membungkus" dan bayar tunai, tertutup sudah bagi penawar lain. Dia beruntung mendapatkan harga pertama yang lebih murah sebelum dinaikkan oleh si penjual. 

Di sisi lain, bagi debitur di atas yang punya usaha kafe, dia merasa prioritas stok dana yang dimilikinya lebih baik digunakan untuk operasional usaha kafe dibandingkan keluar 20 juta untuk beli iPhone. 

Di saat iklim bisnis sedang ramai dan baik baik saja, masih lebih baik mencicil satu jutaan perbulan dibanding pengeluaran puluhan juta. Toh laba harian dari usaha kafe bisa disisihkan perhari tuk angsuran bulanannya. 

2. Memahami Nilai Investasi di Masa Depan. 

Pinjam dana 200 juta buat beli tanah produktif yang dihitung dengan total cicilan dikalikan tenor 12 bulan bisa jadi akan mencapai anggaplah 220 juta. Tapi dalam lima tahun ke depan, harga tanah akan merangkak naik seiring dengan berkembangnya wilayah tersebut. 

"Tidak apa-apa rugi 220 juta, tapi baliknya bisa lebih dari 300 juta bila dijual kembali," kata si debitur. 

Untung besar memang. Toh andai tak dijual, tanah tersebut bisa digunakan untuk lahan bisnisnya juga. Tanah adalah aset berwujud yang kian tahun kian mahal harga per-are-nya. Jadi dia tak merasa ada yang salah dengan keputusan berhutang. 

Bagi debitur pertama di atas, dia paham harga kontrak ruko akan naik setiap tahun, apalagi di pusat kota. 

Ada kecenderungan si pemilik properti bila melihat usaha yang dikelola para penyewa rukonya lancar jaya rame banyak pelanggan, ada inisiatif menaikkan harga ruko setelah kontrak berakhir. 

Itulah yang dihindari oleh si nasabah sehingga baginya lebih baik dana 20 juta itu ditambahkan untuk mengontrak sekian tahun ke depan, daripada nantinya harga kontrakkan meningkat 100 persen di dua tahun pertama. 

"Mending gue ambil aja langsung 4 tahun ke depan dengan harga segitu," demikian alasannya. 

3. Memahami Portfolio Kredit Penting untuk Mengantisipasi Pinjaman di Kemudian Hari 

Golongan ekonomi menengah ke atas ini paham riwayat kredit mereka dengan status kolektibilitas maksimal satu akan mendukung untuk bisa meminjam ke perbankan atau lembaga pendanaan besar. Juga untuk dokumen laporan perpajakan. 

Mungkin tidak untuk sekarang, tapi di kemudian hari saat butuh suntikan dana untuk ekspansi usaha atau kondisi darurat. Mereka sadar bukan berapa banyak tabungan dan aset yang pertama dianalisa untuk disetujui, tapi bagaimana rekam jejak kredit di masa lalu. 

Itu boleh jadi faktor pendorong mengapa mereka mencicil sepanjang tenor padahal mampu untuk pelunasan dipercepat. Sifat usaha dan kelanjutan bisnis mereka mau tidak mau, suka tidak suka, suatu saat akan butuh yang namanya lembaga pendanaan. 

4. Memahami Ungkapan "Jangan Taruh Semua Telur dalam Satu Keranjang"

Berbekal pengalaman bisnis ditambah latar belakang pendidikan juga edukasi keuangan yang memadai, mereka paham jenis dan beraneka intrumen investasi. Mereka tidak menaruh semua telur dalam satu keranjang. 

Telur ibarat dana yang mereka punya. Tidak semua harus habis untuk modal bisnis. Tidak semua harus habis untuk beli tunai sesuatu yang mereka butuh atau ingin gunakan di saat ini. 

Seperti yang diutarakan seorang debitur di atas. Selain investasi di tanah, dia juga punya deposito dan reksa dana, walaupun ada cicilan di sejumlah tempat. 

Seorang lainnya, mengalihkan dananya untuk membeli emas batangan dan logam mulia. Harga emas cenderung stabil dan terus naik harga per gramnya. Dalam tiga atau lima tahun ke depan, sewaktu-waktu bisa diuangkan dengan cepat. 

Bagi para orkay ini, total nilai aset plus dana yang dimiliki, bila dikurangi kewajiban hutang mereka, masih lebih besar aset. Jadi sekalipun berhutang, bagi mereka hutang itu adalah aset bukan beban. 

Tulisan ini bisa jadi hanya sekedar sharing. Paling tidak belajar sesuatu dari mindset yang berbeda. 

Manakala ada doktrin bahwa lebih baik hidup sederhana tanpa hutang, justru berkebalikan dengan kalangan ekonomi kelas atas yang menjadikan hutang sebagai cara untuk menambah aset atau menambah pundi-pundi finansial.   

Salam Kompasiana, 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Financial Selengkapnya
Lihat Financial Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun