Imbasnya, jarak pulang pergi antara rumah dan lokasi kantor memakan waktu. Namun bagi mereka itu lebih baik daripada ngontrak bertahun-tahun tapi harga sewa bulanan sama dengan cicilan bulanan KPR.Â
Bagi mereka keputusan itu tidak salah. Cukup terbantu apalagi setelah lahir anak pertama. Biar makan seadanya namun sekuat kuatnya semua cicilan bisa terbayar, termasuk juga ada angsuran kendaraan dan elektronik.Â
Apa yang dijalani pasangan suami istri di atas, merupakan realita dari hidup di kota besar. Mungkin tidak hanya mereka yang mengalami tapi ada banyak pasangan lain juga yang serupa.
Mau beli rumah, harga makin melambung dari tahun ke tahun. Harga tanah per are di pusat kota makin mahal karena status kota yang meningkat justru mendatangkan makin banyak investor dan urbanisasi.Â
Tanah bukan sumber daya alam yang bisa diperbaharui. Tak bisa diproduksi bila luasnya kian menyusut seiring jumlah penduduk yang bertumbuh.Â
Ibarat bila dulunya luas satu are ditawarkan ke 100 orang, kini luas tanah yang sama diperebutkan 1000 orang.Â
Wajar bila harga merangkak naik mengikuti hukum permintaan dan penawaran. Itulah mengapa harga rumah jadi makin sulit digapai masyarakat di kota lantaran yang bikin mahal itu  tanahnya bukan bangunannya. Â
Inilah pula salah satu pendorong mengapa para pengembang membeli lahan di pinggiran atau di luar kota yang relatif lebih murah.Â
Mereka kemudian membangun dan memasarkan propertinya lewat bank atau perusahaan pendanaan dengan cara kredit.Â
Apalagi dalam jangka panjang, daerah -daerah pinggiran akan berkembang sejalan dengan berkurangnya lahan tanah di pusat kota. Dan para investor pun akan mencari lahan -lahan baru untuk membangun dan mengekspansi bisnisnya.