Just Sharing.....
Maksud hati balik lebih awal, ternyata banyak penumpang lain berpikir yang sama. Mungkin sepakat menghindari riuh ramai padat di atas kapal. Namun realitanya ya memang tak dapat kursi satu pun.Â
Semua penuh terisi. Padahal tadi saat masuk ke dalam kapal dengan kendaraan, hanya sepeda motor yang terparkir. Belum ada mobil, bis dan truk ekspedisi. Maunya berharap dapat kursi dan bed yang masih tersedia.
Waktu menunjukkan pukul 22.00 WITA ketika saya memarkir kendaraan. Sebenarnya mau ikutan kapal yang berangkat jam 12 malam agar bisa tiba pagi jam 5 atau jam 6 di Pelabuhan Lembar Lombok.Â
Estimasi lama penyeberangan segitu bisa dipakai istirahat tidur agar paginya lumayan segar untuk bisa langsung beraktifitas.Â
Ternyata saya kecele. Demikian juga para penumpang lain yang bersamaan naik ke dek dua dan tiga. Hanya berpandangan sesaat lalu segera berpencar cari tempat di lorong-lorong kapal. Â Bersyukur saya bawa karpet yang dulu dibeli di atas kapal.
Karpet praktis sudah di tangan. Nah, cari tempat di kapal yang susah. Karena penumpang lain sudah gelar tikar, gelar kardus, gelar sarung hingga gelar mantel hujan... hehe.Â
Mau gimana lagi. Kalau berangkat malam kayak gini dengan rata-rata waktu tempuh lima sampai tujuh jam  di atas kapal, lebih baik rasanya melepas penat dengan tidur sepertu halnya di rumah.Â
Beda dengan berlayar pagi atau siang. Masih bisa mengisi waktu dengan ngobrol sesama penumpang, main HP atau foto-foto selfi atau view menarik dari atas kapal.
"Di dalam penuh Bli, di sini aja duduk atau tidur," sapa seorang penjual makanan di atas kapal.Â
Mbok Sri, sebut saja begitu namanya, wanita berusia 30 an tahun yang berdagang kopi, teh, minuman ringan dan sejumlah camilan ringan. Dia mengikuti kemana saya berjalan dengan harapan laku terjual apa yang dijajakannya.Â
Saya sudah beberapa kali naik kapal feri dari Bali, jadi sudah terbiasa dengan pola perilaku pedagangnya. Ngga papa juga. Toh, saya juga perlu beli air minum dalam kemasan yang ngga sempat dibeli tadi di jalan.Â
Akhirnya dapat tempat di lorong kanan di dek dua. Ketika karpet digelar, di sebelah sisi yang kosong ada pasangan muda dengan anak satu berisia 9 tahun yang celingukan. Bingung dimana mau duduk karena tak bawa karpet.
"Dimana beli karpetnya tu Bang?" tanya suaminya
"Ini dibeli saat sebelum lebaran di atas kapal juga. Harganya 40 ribu," kata saya.Â
Ngga ada angin ngga ada hujan, tiba-tuba muncul penjual karpet yang dulu menjual kepada saya. Kok bisa tiba-tiba ada di kapal. Entahlah.Â
"50 ribu satu karpet," tawarnya pada pasangan suami istei itu. Rasanya ini pedagang karpet pibtar juga dengan membaca situasi apalagi melihat ada anak mereka yang hutuh alas tempat beristirahat.
Mau tidak mau, suka tidak suka, akhirnya terbeli juga. Nah cari tempat gelarnya yang sulig. Akhirnya karpet itu dibuka di samping saya.Â
Bersyukur mereka bisa membeli karpet itu karena setelah itu ada beberapa penumpang lain bermiat membeli namun stok sudah habis.
Akhirnya, ibarat peribahasa, tak akar rotan pun jadi. Tak ada karpet, jaket dan mantel pun jadilah.Â
Mbok Sri si pedagang kecil di atas kapal itu kemudian menurunkan bakul keranjang dagangan dari atas kepalanya tepat di samping karpet saya. Sebuah botol air kemasan dan segelas teh hangat pun dibuatkan untuk saya.Â
"Berapa Mbok?" tanya saya
"Air lima ribu, teh panas lima ribu," katanya.Â
Masih murah untuk harga segitu. AMDK ( Air Minum Dalam Kemasan) segitu palingan harganya tiga ribu di swalayan, Mbok Sri untung dua ribu. Sama untungnya dari segelas teh panas yang biasanya di emperan di Bali dijual tiga ribu.
Mbok Sri bertutur sudah lama jualan mengais rejeki di ataa kapal. Dagangan adalah milik sendiri.Â
Bersyukur selama menjual di ataa kapal sebelum kapal berangkat, tak pernah diminta uang jasa apapun dari pihak kapal.
"Tiyang ("saya" dalam bahasa Bali) sampai jam 4 pagi," katanya sebelum meninggalkan tempat saya berada dan berpindah mencari penumpang lain yang berniat membeli.Â
Terlihat bahwa dengan waktu kerja seperti itu, Mbok Sri dan para pedagang lainnya yang mayoritas wanita diharuskan punya daya tahan fisik lantaran menahan kantuk untuk berdagang.
Itu pun belum tentu semua penumpang yang naik membeli apa yang dijajakan karena sudah membawa bekal sendiri. Tapi bagian mereka ya tetap menawarkan.Â
Apa yang membuat kapal penuh penumpang meski libur lebaran masih lama?Â
Banyaknya penumpang tak hanya karena alasan sebagian ingin pulang lebih cepat karena ada pekerjaan atau harus bekerja kembali, tapi juga banyaknya turis lokal yang ingin ke Lombok setelah liburan di Bali.Â
Adanya libur panjang lebaran memang bikin para perantau di Bali sebagian mudik ke daerah masing-masing terutama ke Pulau Jawa. Namun itu berganti dengan jumlah pengunjung dari propinsi lain di Indonesia untuk berlibur di Bali.Â
Pantauan dua hari lalu, sepanjang Jalan Pantai Kuta terutama di depan pusat perbelanjaan BeachWalk lumayan macet dengan mobil-mobil plat luar Bali.
Demikian juga di arena belanja ramai pengunjung di beraneka gerai di dalamnya.
Waktu libur yang panjang hingga tanggal 8 Mei 2022 nanti, rasanya bisa sekalian dimanfaatkan oleh mereka dengan mengunjungi Pulau Lombok sehari dua hari lalu balik ke Bali lagi dan mengakhiri liburannya.Â
Pilihan menyeberang malam dilakukan agar pagi harinya dengan kendaraan yang dibawanya menyeberang, bisa mengeksplor obyek wisata di Pulau Lombok.Â
Kapal Feri yang saya tumpangi bertolak dari dermaga Padang Bay Karangaem Bali sekitaran jam 23.00 Wita. Sudah hampir satu jam lebih melaut. Para penumpang di kursi dalam yang kebetulan mendapat tempat, sebagian sudah lelap, yang lain masih terjaga.
Beberapa penumpang terpaksa memilih tidur di kursi di luar meski posisi tidur sambil duduk di kursi terasa kurang nyaman.Â
Bisa jadi karena mereka tak kebagian beli stok karpet, merasa kotor jika tidur di lantai kapal ato memang merasa hanya buang-buang uang saja. Lebih baik bertahan begini toh hanya sekian jam saja.Â
Bisa jadi karena kerasnya gelombang sehingga kapal cukup bergoyang-goyang. Rasanya anginnya cukup kencang sehingga sangat terasa bila tidur di lorong.Â
Bahkan saya menulis ini pun lewat HP masih dalam posisi duduk namun teehuyung-huyung badannya. Suara ombak menghempas badan kapal menimbulkam bunyi bagian kapal yang berderit.Â
Angin sangat terasa sehingga anak pasangan suami istri yang tadi tidur disamping saya sedikit takut dan menangis. Mereka akhirnya pindah dan mencari tempat lain di kapal yang cukup nyaman bagi anak mereka.
Nampak pasangan muda lain yang terpaksa tidur di lorong tanpa alas apapun, si wanitanya tak tahan dengan goyangan kapal.Â
Dipeluknya tubuh suaminya antara takut atau mencari kehangatan saking angin yang menerpa buritan dan lorong kapal cukup kencang.
Saya pum sudah mulai mengantuk.Meski goyangan kapal masih terasa, tapi mata dan kepenatan ngga bisa di lawan. Sudah waktunya untuk tidur meski cuma di lorong.
Masih butuh tiga hingga lima jam lagi sampai penyeberangan malam ini berakhir di Pelabuhan Lembar Lombok. Semoga lancar dan aman hingga tujuan meski kini kapal serasa ayunan...hehe.Â
Anggap saja coretan ini sebagai reportase mudik 2022. Salam dari atas perairan laut selat Bali-Lombok
4/5/2022, 00.40 Wita
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H