"Di dalam penuh Bli, di sini aja duduk atau tidur," sapa seorang penjual makanan di atas kapal.Â
Mbok Sri, sebut saja begitu namanya, wanita berusia 30 an tahun yang berdagang kopi, teh, minuman ringan dan sejumlah camilan ringan. Dia mengikuti kemana saya berjalan dengan harapan laku terjual apa yang dijajakannya.Â
Saya sudah beberapa kali naik kapal feri dari Bali, jadi sudah terbiasa dengan pola perilaku pedagangnya. Ngga papa juga. Toh, saya juga perlu beli air minum dalam kemasan yang ngga sempat dibeli tadi di jalan.Â
Akhirnya dapat tempat di lorong kanan di dek dua. Ketika karpet digelar, di sebelah sisi yang kosong ada pasangan muda dengan anak satu berisia 9 tahun yang celingukan. Bingung dimana mau duduk karena tak bawa karpet.
"Dimana beli karpetnya tu Bang?" tanya suaminya
"Ini dibeli saat sebelum lebaran di atas kapal juga. Harganya 40 ribu," kata saya.Â
Ngga ada angin ngga ada hujan, tiba-tuba muncul penjual karpet yang dulu menjual kepada saya. Kok bisa tiba-tiba ada di kapal. Entahlah.Â
"50 ribu satu karpet," tawarnya pada pasangan suami istei itu. Rasanya ini pedagang karpet pibtar juga dengan membaca situasi apalagi melihat ada anak mereka yang hutuh alas tempat beristirahat.
Mau tidak mau, suka tidak suka, akhirnya terbeli juga. Nah cari tempat gelarnya yang sulig. Akhirnya karpet itu dibuka di samping saya.Â
Bersyukur mereka bisa membeli karpet itu karena setelah itu ada beberapa penumpang lain bermiat membeli namun stok sudah habis.
Akhirnya, ibarat peribahasa, tak akar rotan pun jadi. Tak ada karpet, jaket dan mantel pun jadilah.Â