Sengketa soal tanah itu akhirnya jadi polemik berkepanjangan dan merusak hubungan persaudaraan dan hubungan darah.
Ketika Minah dan Anton akhirnya mengalah dan pindah ke sebuah rumah BTN, tanah warisan itu malah jadi rebutan antar anak-anak dari abang-abangnya.Â
Atas dasar orang tua mereka sebagai anak kandung dari Mertua Anton, keributan dan saling klaim pun tak terelakkan.Â
Sementara itu Anton, Minah dan kedua anak mereka yang sudah menempati rumah kreditan baru harus memulai dari awal meski terbilang lebih kecil luas bangunannya. Bagi mereka itu tak apa. Masih lebih baik dan tenang pikirannya daripada diomongin keluarga sendiri.
Apa yang dialami Anton dan Mina bisa saja terjadi juga pada rumah tangga pasangan lain lantaran dipicu gara-gara pemberian tanah Mertua. Maksud baik orang tua yang menghibahkan warisan miliknya buat si anak sebagai bukti kasih sayang malah di kemudian hari jadi akar masalah.Â
Berkaca dari kisah ini, ada baiknya lebih selektif menerima apa yang diwariskan apalagi bila pemberian itu tanpa surat wasiat atau surat hibah. Bila memiliki jumlah saudara kandung lebih dari seorang, tentu ini jadi pertimbangan juga.
Sangatlah berbeda ketika orang tua masih ada dan ketika mereka sudah meninggal dunia. Rebutan dan saling klaim antar anak laki-laki biasanya, bisa saja terjadi dan memicu sengketa. Sedangkan bagi anak perempuan, dalam beberapa kultur dan budaya di dalam negeri, dianggap ketika sudah menikah, mereka menjadi milik pria yang meminangnya dan tak memiliki hak atas warisan orang tua.Â
Berhati-hatilah dan berpikir bijak mengantisipasi kemungkinan-kemungkinan di masa depan.Â
Jangan gara-gara membangun di atas tanah mertua, harga yang sudah dibayar bertahun-tahun menjadi sebuah kerugian secara finansial.Â
Pertimbangkan juga dampak memecah belah hubungan kekeluargaan, baik ke diri sendiri, anak-anak hingga mungkin menurun ke para cucu nanti.
Baca juga:Â Kredit Kendaraan Untuk Transportasi Mudik, Apa Saja yang Perlu Diketahui?Â