Padahal dia begitu perkasa di putaran 1 dan 2 dan membawa JPF selalu bertengger di puncak klasemen.Â
Bagaimana di tim putra? Hal yang sama juga terjadi. Sandi Akbar pemain muda andalan klub PBS harus mengalami cedera lutut sehingga tak ikut bermain dalam beberapa laga.Â
Dengan posisinya sebagai OH (Opposite Hittler) alias tukang smes sangat berpengaruh pada tidak lolosnya PBS ke final four.Â
Demikian juga di tim Jakarta BNI 46. Dimas Saputra yang diandalkan untuk serangan back attack alias tukang smes dari posisi belakang harus rehat sejumlah laga karena cedera bahu.
2. Pemain reaktif dan terinfeksi Covid bikin jadwal dan komposisi pemain sedikit "kacau"
Meski venue pertandingan cuma di satu tempat selama pandemik. tes antigen sifatnya wajib dan dipatuhi. Pemain yang reaktif tak boleh bermain dan bila lebih dari separoh tim terdeteksi, laga harus ditunda.Â
Selama putaran 1, 2 hingga final four, sejumlah laga di pindahkan hari dan jamnya karena sebagian besar pemain dalam satu tim reaktif.
 Tercatat tim yang seperti itu diantaranya adalah LavAni ketika melawan JPP di fase final four dan JPE kontra GPP di putaran kedua. Bahkan ada satu tim hanya bermaterikan 8 orang karena 6 pemain lain reaktif.Â
3. Tak adanya VAR bikin pemain, pelatih dan penonton ikut "panas"
Proliga sudah digelar sejak 2002, namun teknologi video VAR (video assistant referee, video asisten wasit) untuk membantu kinerja pengadil arena belum juga dimiliki PBVSI.
Ini membuat sebuah keputusan wasit kadang menjadi kontroversi karena tak diterima oleh tim termasuk pelatih.Â