Mohon tunggu...
Brader Yefta
Brader Yefta Mohon Tunggu... Administrasi - Menulis untuk berbagi

Just Sharing....Nomine Best in Specific Interest Kompasiana Award 2023

Selanjutnya

Tutup

Financial Pilihan

Apakah Kemenaker Buta Mata Batin Ketika Menyamakan Karyawan Swasta dengan Aparatur Negara?

14 Februari 2022   21:38 Diperbarui: 15 Februari 2022   18:51 414
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Kolase semua foto diambil dari Money.Kompas.com

Just Sharing....

Riuh soal JHT 56 tahun secara tak langsung akan berdampak pada perencanaan finansial terutama pekerja swasta. Meski aturan batasan pensiun hampir sama dengan pegawai negeri di umur 55 tahun, namun tidak banyak yang mau bertahan di pekerjaan hingga usia segitu. 

Mau kerja sampai umur berapa adalah pertanyaan paling favorit yang kerap hinggap di otak para karyawan swasta. Walau kadang ada perusahan swasta yang memberikan gaji beserta tambahan tunjangan totalnya jauh lebih besar dari aparatur negara, namun sifatnya tak pasti. 

Tergantung jabatan apa dan dimana bekerja. Iklim di perusahaan swasta yang menganut prinsip pekerja dibayar sesuai kinerja atau sepadan dengan apa yang diberikan pada perusahaan, rawan dengan yang namanya pemecatan. Ini swasta Bro, keras dan tegas. 

Keseringan tidak mencapai target, siap-siap dapat surat cinta dari menajemen, yakni Surat Peringatan (SP). Masih berlanjut, bisa berujung dipecat atau diganti. 

Bila seseorang bisa bertahan lama di perusahaan swasta itu dibarter dengan loyalitas dan kerja keras, meski kadang " berdarah-darah" dalam tanda petik karena tak ada pilihan lain. Uang dan penghidupan adalah alasan meski harus menghamba. 

Sebagian mampu, namun tak sedikit yang menyerah dan mengajukan resign.  Itu diluar tipe pekerja kupu-kupu, yang kerap pindah- pindah perusahaan. Ada juga karena alasan pribadi atau ngga nyaman dengan sistem dan manajemen di tempat kerja lalu mengundurkan diri. 

Dinamika keluar masuk atau berhenti bekerja di perusahaan swasta juga dipengaruhi oleh seberapa kokoh tempat bekerja ketika "badai" menghantam. 

Salah satu badai itu pandemi Covid yang belum berakhir. Berapa banyak perusahaan yang megap-megap susah napas hingga gulung tikar. Alhasil banyak insan di internal perusahaan itu yang dipangkas, putus hubungan kerja. Tak ada pekerjaan artinya hilang sumber finansial. No job no money.  

Mau melamar ke berbagai tempat belum tentu diterima. Karena semakin banyak pencari kerja semakin tinggi persaingan. Padahal kondisi dan iklim usaha baru pulih dan sedang berjaga -jaga dalam tanda kutip dengan munculnya varian Omicron. 

Di tengah kondisi seperti ini, Kementerian Tenaga Kerja ( Kemenaker) berencana menerbitkan Peraturan Nomor 2 Tahun 2022 tentang Tata Cara dan Persyaratan Pembayaran Manfaat Jaminan Hari Tua (JHT). Permenaker ini rencananya akan diluncurkan langsung oleh Pak Jokowi. 

" Kami mengharapkan Bapak Presiden me-launching peraturan baru ini pada tanggal cantik di bulan ini, yakni tanggal 22 Februari 2022," tutur Menteri Tenaga Kerja Ida Fauziah saat rapat kerja dengan Komisi IX DPR RI pada Senin 24 Januari 2022, seperti dikutip dari Kontan.Co.id. 

Tanggal cantik (22-02-2022) rasanya kurang cantik dengan kebijakan tersebut lantaran aturan di dalam pasal 3 disebutkan bahwa peserta BP Jamsostek akan menerima manfaat JHT pada usia 56 tahun. 

Wow 56 tahun. Apakah Menaker dan jajarannya tidak buta mata batin? Bukankah mereka sadar bekerja di swasta itu beda dengan pegawai di institusi milik negara yang digaji oleh negara dan hampir tidak ada yang mau resign di umur 30 an atau 40 an. 

Bukankah berbeda dinamika dan iklim kompetensinya? Belum lagi soal stabilitas finansial. Sangatlah jauh. 

Aparatur negara ada dana pensiun yang bisa diambil di umur segitu karena mau tidak mau, suka tidak suka, mereka sudah nyaman secara finansial sejak mulai diangkat sesuai SK hingga purna bakti nanti. 

Lagipula apa mereka bisa dipecat bila alasannya karena kinerja? Sangatlah jarang itu jadi alasan. Paling dimutasi atau digeser doank. 

Bandingkan dengan pekerja swasta yag sekalipun kompetensinya bagus namun tergantung juga apakah perusahaannya masih terus eksis atau sudah tumbang tidak beroperasi lagi. 

Misalnya para profesional dan pekerja di hotel - hotel berbintang 4 atau bintang 5 di kawasan pariwisata. Mereka bisa bekerja di sana karena kualifikasi. 

Kemampuan bahasa asing di atas rata-rata ditambah skil di bidang mereka. Lalu karena Covid mereja berhenti atau diberhentikan. Masalah bukan pada kompetensi tapi iklim usaha tidak mendukung. 

Kondisi semacam ini tak akan terjadi pada aparatur negara yang dibiayai oleh negara yang notabene akan terima dana pensiun di usia 56 tahun juga. Mengapa Kemenaker harus menyamaratakan? 

Lha kalo karena Covid terus pekerja swasta dan kaum buruh diberhentikan di usia 30 atau 40 tahun, masa harus nunggu 26 tahun atau 16 tahun lagi baru terima dana JHT yang sudah pasti jumlahnya lebih kecil dari rata-rata punyanya aparatur negara. Lha kok sudah kecil jumlahnya, terus mosok nunggu belasan tahun.

Nilai uang menurut waktu dan prioritas

Sadarkah Kemenaker bahwa nilai uang menurun seiring pertambahan tahun. Sepuluh atau dua puluh tahun silam harga beras per kilo dan harga bensin per liter masih murah dibandingkan sekarang. 

Bila satu atau dua dekade mendatang bukankah harganya akan naik dan lebih mahal. Lalu untuk apa dana JHT diendapkan sekian lama kalo bunga tahunan tidak lebih besar dari pertambahan nilai barang kebutuhan  dan jasa yang merangkak dari tahun ke tahun? 

Satu lagi yaitu nilai uang menurut prioritas. Apa yang sangat penting dan sangat mendesak terkait kebutuhan finansial orang per orang tidaklah sama. 

Mereka yang berhenti atau diberhentikan pada usia 30 an, prioritas mereka mungkin bukanlah dana pendidikan anak karena pada usia kisaran ini ada yang baru menikah atau anak-anaknya masih di bawah lima tahun. 

Prioritas mereka dana segitu bisa buat bayar DP rumah misalnya. Selain itu di umur segitu mereka masih mudah mendapat lowongan pekerjaan karena pilihan masih banyak. 

Tapi bagaimana untuk mereka yang usia 40 an. Pertama lowongan kerja sudah ngga banyak. Kedua anak-anak mereka sudah di sekolah menengah atau ada yang sudah kuliah. Prioritas mereka mungkin salah satunya adalah dana pendidikan buah hati. 

Bagaimana bisa tersedia kalo harus menunggu sampai usia 56 tahun. Selain itu mereka lebih berpikir untuk modal usaha karena lowongan kerja juga sudah terbatas untuk kisaran usia tersebut. 

Apa Kemenaker ngga berpikir kesana ya atau dianggap sama kayak aparatur negara. Satu lagi soal kebijakan Jaminan Kehilangan Pekerjaan (JKP) dalam peraturan ini dengan manfaat uang tunai, akses lowongan kerja dan pelatihan kerja. 

Katanya bagi pekerja yang kehilangan pekerjaan akan diberikan bantuan selama 6 bulan dimana pada 3 bulan pertama 45% dari upah bulanan dan 3 bulan berikutnya sebesar 25% upah bulanan. Pertanyaannya ini dibayar oleh negara atau bekas tempat bekerjanya?.Bagaimana mekanismenya? 

Mampukah negara membayar ribuan atau jutaan pekerja selama setengah tahun ketika mereka tak lagi bermitra dengan perusahaan lamanya? Bila dana itu dibebankan pada perusahaan lama pekerja, apakah perusahaan mau? Karena asumsi andai upah bulanan rata-rata 5 juta rupiah, berarti untuk satu pekerja memperoleh Rp 1.250.000 hingga Rp. 2.250.000. 

Lalu setelah enam bulan bagaimana? Kemenaker menjamin memberi akses lowongan pekerjaan padahal keterisian lowongan kerja di sebuah perusahaan ditentukan oleh internal perusahaan itu. Kemenaker hanya terbatas pada legalitas ijin dan distribusi calon naker. 

Lagi pula era sekarang lowongan lebih banyak lewat situs loker di internet dibanding lewat kantor dinas tenaga kerja di daerah. 

Apakah Kemenaker punya otoritas untuk menempatkan langsung di internal perusahaan tertentu atau hanya sebatas mewadahi saja dan membiarkan pihak perusahaan yang memutuskan? Bila seperti itu, apa bedanya dengan yang selama ini? 

Bukankah alangkah baiknya dana JHT diberikan saja tanpa menunggu haeus berusia 56 tahun agar para pekerja dapat berkreasi dan mengelolanya. Lagipula bila untuk jaminan masa tua, aset tak harus dalam bentuk tabungan tapi bisa juga dalam bentuk usaha atau barang yang bisa diuangkan. 

Contohnya tanah. Sepuluh ato dua puluh tahun lagi harganya sudah jauh meningkat. Lagipula tanah tersebut bisa didirikan usaha di atasnya. Mereka yang masih dibawah 35 tahun, dana JHT bisa buat DP rumah karena pilihan untuk diterima bekerja di perusahaan baru masih terbuka lebar sehingga bisa nanti mencicil dari gaji.

Pertanyaanya bila dana itu diendapkan bertahun-tahun, siapa yang mengawasi? Bukankah rawan penyalahgunaan padahal itu milik para pekerja. Lagian tiap tahun juga ganti menteri ganti presiden, belum tentu peraturan yang sama tetap berlaku. 

Hal kecil namun penting soal kartu jamsostek. Bila resign di umur 30 ato 40 tahun, apa kartu jamsostek harus disimpan dan dilaminating selama 26 tahun atau 16 taon biar ngga rusak ato hilang? Alamakk...

Sama donk dengan surat keterangan berhenti dari perusahasn lama harus di simpan sama awetnya karena kedua dokumen ini sebagai syarat administrasi pencairan. 

Itu pun dengan catatan kalo orangnya masih hidup dan belum meninggal. Kalo ngga, apa ngga bikin repot keluarganya..

Plis deh Kemenaker...tolong ditinjau ulang atau direvisi kembali. Pakai mata hati dan mata batin. Jangan menyamakan pekerja swasta dengan pegawai yang dibiayai oleh negara meski usia purna kerja sama di usia 55 tahun. 

Salam

Brader Yefta

Referensi : 

1. https://amp.kontan.co.id/news/kenapa-pencairan-jht-harus-menunggu-usia-56-tahun-ini-penjelasan-bp-jamsostek

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Financial Selengkapnya
Lihat Financial Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun