Just Sharing.....
Bicara soal penagihan nasabah adalah dinamika yang terjadi pada pasca kredit. Disebut berdinamika karena melibatkan proses yang berwarna- warni.Â
Mulai dari negosiasi yang kadang lembut kadang alot, naik turun emosi, hingga berujung pada proses eksekusi atau penyitaan yang kadang merembet melibatkan banyak pihak di luar kreditur dan debitur.Â
Industri pembiayaan yang berdasarkan POJK nomor 35 tahun 2018 meliputi pembiayaan investasi, pembiayaan modal kerja dan pembiayaan multi guna, adalah salah satu sektor usaha di Indonesia yang mengandung risiko setelah kontrak kredit berjalan.Â
Lancar adalah harapan. Macet-macet hingga mangkir adalah realita yang tak bisa ditolak. Ilustrasikan ketika seseorang meminjamkan dana pada orang lain. Kadang bisa sebelum waktu sudah dibalikin, kadang pula malah ngga balik-balik hingga dimediasi oleh pihak berwajib.Â
Bukan persoalan orang hilang yang dilaporkan, tapi uang hilang saking susah payah meminta. Sudah beraneka upaya tak mempan, mungkin baiknya dimediasi oleh penegak hukum meski ini ranahnya lebih ke perdata dan bukan pidana.Â
Bila itu harta perseorangan, mungkin dampaknya ngga akan luas dan berdampak ke banyak pihak dibanding sumber dana yang dipinjamkan itu berasal dari uang negara atau dari perjanjian joint financing dengan para investor seperti bank besar.Â
Realitanya perusahaan pembiayaan memang menyalurkan kredit pada produk perumahan, kendaraan hingga modal kerja dari aliran dana yang dipercayakan untuk dikelola dalam bentuk kerja sama dengan pihak ketiga sebagai penyedia.
Kredit macet analoginya ibarat sungai yang alirannya macet di hilir, pelan-pelan akan berdampak ke hulu. Muka air meninggi akhirnya meluap dan banjir. Ketika sudah banjir, air menjadi tak berguna dan membahayakan.Â
Semakin banyak nasabah menghindari kewajiban membayar, maka dana pengembalian dalam bentuk angsuran yang seharusnya bisa disalurkan lagi pada calon nasabah lain, akhirnya tak bisa diputar.Â
Semakin tinggi volumenya berpotensi bahaya bagi perusahaan tersebutÂ
Dampaknya bisa perampingan karyawan, perampingan divisi, penurunan status kantor cabang hingga bisa bisa ditutup bila sejumlah penanganan tak mampu mengurai biang "kemacetan".Â
Bila nasabah macet, mengapa sampai bisa menagih ke kantor nasabah?Â
Profil usaha dan profesi debitur itu beragam. Secara garis besar dibedakan karyawan dan wirausaha.Â
Nanti dari karyawan dan wiraswasta ini dipecah-pecah lagi. Ada turunannya. Diferensiasi ini akan menentukan persyaratan dan perlakuan kredit. Sederhananya begitu.Â
Calon nasabah berprofesi karyawan formal adalah pasar potensial pengguna produk-produk yang dibiayai oleh perusahaan pembiayaan.Â
Usia produktif kerja mulai 18 tahun hingga 55 tahun selaras dengan hasrat memiliki rumah, apartemen, motor, mobil, peralatan elektronik dan rumah tangga hingga modal merintis usaha.Â
Tak bisa beli tunai karena gaji atau UMK tak cukup, bisa ditempuh salah satunya membeli dengan mengangsur.Â
Tak sedikit merasa terbantu karena menabung dalam jangka panjang demi kebutuhan tersebut kadang bisa tak kesampean lantaran ada saja kebutuhan mendadak lain yang menikung sehingga dana tabungan itu "bocor".Â
Ketika calon nasabah karyawan formal mengajukan kredit, sejumlah aspek penting dalam persetujuan adalah di mana bekerja, jabatannya apa, status kekaryawanan, dan gajinya berapa. Ini terkait faktor kapasitas dan kondisi.Â
Kredibilitas tempat bekerja termasuk dalam aspek penilaian. Jadi tidak salah juga bila banyak anak muda kepengen bekerja di perusahaan besar atau institusi milik negara karena ini memudahkan juga manakala mengajukan kredit.Â
Sebenarnya bukan pada seberapa bonafid tempat kerja, tapi lebih pada sisi hukum apakah memiliki izin legal terkait pendirian dan operasional. Karena pada tempat kerja terkategori ini akan berpengaruh pada sistem penggajian, gaji, golongan, jabatan, dan status.
Pada realitanya, meski calon nasabah tanpa punya dana darurat di tabungan, hanya dengan selembar slip gaji dan status pegawai tetap atau telah bekerja lebih sekian tahun, kadang bisa disetujui. Tentu dengan asumsi total cicilan tak lebih 30 persen gaji.Â
Salah satu alasan meski bukan yang paling utama, mereka para debitur yang bekerja di perusahaan atau instansi semacam ini, sudah terseleksi di awal dalam tanda petik sehingga mampu diterima di sana.Â
Tentu akan menjaga nama baik tempat bekerja sehingga menghindari dari niat mangkir atau lalai pada kewajiban. Karena suka tidak suka, mau tidak mau, tempat bekerja tersebut sudah menolong mereka hingga pengajuannya bisa disetujui.Â
Dengan kata lain, andai tidak bekerja di sana dan semua atribut (seragam, kartu nama, dan lainnya) serta pendapatan bukan karena perusahaan atau instansi tersebut, bisa jadi akan berbeda. Karena ini ada bobot-bobotnya yang biasa disebut skoring.Â
Ketika kontrak sudah berjalan dan terjadi tunggakkan, opsi menagih ke kantor debitur bukan opsi pertama. Biasanya bila lewat hari, akan ditelepon dulu dari kantor pusat ke nomor handphone nasabah untuk mengingatkan.Â
Bila setelah beberapa hari belum ada realisasi pembayaran, petugas dari divisi penagihan akan mendatangi tempat tinggal dan bukan tempat bekerja.Â
Petugas ini bukan DC tapi pegawai internal. Bila belum juga, akan dibuat SP 1 alias Surat Peringatan Pertama. Kemudian berlanjut SP 2 hingga SPT. Alur dan prosedurnya sudah pernah dituliskan di Kompasiana juga di bawah ini.Â
Baca juga : "Kendaraan Kredit Ditarik Debt Collector, Pahami Dulu Alur dan Risikonya bagi Perusahaan Pembiayaan"Â
Bila komunikasi terputus, diblokir oleh nasabah atau tidak ada titik temu komunikasi meski mengunjungi ke rumah juga tidak bertemu, barulah opsi menelepon ke tempat kerja dipikirkan. Padahal biasanya ini sangat dihindari.Â
Logika sederhananya nasabah mungkin bisa menutup saluran komunikasi via handphone atau tidak membalas pesan WA atau SMS, tapi tak bisa bila itu telepon kantor. Apalagi kantor adalah rumah kedua di mana nasabah menghabiskan waktunya di sana.Â
Demi menjaga nama baik tempat bekerja dan juga kekhawatiran terhadap sanksi teguran dari atasan di atasnya terkait tunggakkan di luar kantor, biasanya akan membuat tak nyaman si nasabah.
Di satu sisi, kadang ada tempat bekerja yang memberlakukan aturan masalah pribadi di luar kantor jangan dibawa ke dalam agar tak ibarat ragi yang mengkhamirkan seluruh adonan. Ntar rekan yang lain bisa ikutan ngga nyaman.Â
Apalagi tak sedikit perusahaan yang demi pengajuan kredit, karyawan itu meminta Divisi HRD membantu mengeluarkan bukti bekerja sebagai persyaratan.Â
Ketika sudah dibantu, malah ujung-ujungnya kantor mesti ikut ribet gara-gara ditagih via telepon ke tempat kerja.Â
Saya sendiri pun mengalami ketidaknyamanan ini karena ulah seorang rekan. Bolak-balik ditelepon karena rekan tersebut tak mau bicara.Â
Tentu ini bikin was-was nasabah terhadap citra dirinya apalagi bila gaji dan benefit lain yang didapat setiap bulan cukup untuk bayar tapi lalai juga. Bisa-bisa malah dikenakan Surat Peringatan dari kantor.Â
Ini adalah dilema dua sisi yang kadang dialami oleh nasabah berprofesi pegawai atau karyawan. Sama dilemanya dengan petugas penagih yang menghindari menagih ke kantor nasabah.Â
Kredibilitas dan reputasi tempat bekerja membantu mendongkrak pengajuan kreditnya, namun bila menunggak dapat berisiko terhadap dirinya karena kantornya adalah sumber penghidupannya.Â
Risiko telat membayar adalah hal yang tak bisa dipungkiri segala sesuatu bisa terjadi dan berdampak pada finansial nasabah.Â
Mungkin cara terbaik adalah jangan memutus komunikasi. Meski belum ada realisasi pembayaran karena satu dan lain hal, paling tidak bisa ditemui saat janji bertemu di rumah.Â
Adanya batasan waktu yang diberikan bahkan kadang bisa sampai satu hingga tiga bulan dari tanggal jatuh tempo.Â
Upayakan selama masa kelonggaran tersebut usahakan jalinan komunikasi tetap terhubung dengan petugas internal.Â
Ini karena setiap hasil follow up di lapangan harus dilaporkan juga demi mencari solusi terbaik terkait kendala si nasabah. Karena penyebab ngga bisa bayar itu banyak, bukan karena cashflow aja.
Bagaimana bisa mencari solusi bila sulit bertemu atau komunikasi terputus. Padahal laporan di lapangan itu wajib dan penting.Â
Saking wajibnya, bisa saja petugas akan mencari cara lain agar tetap terkoneksi dengan si nasabah. Salah satunya dengan menghubungi langsung ke tempat bekerja, walau cara ini biasanya sangat sangat dihindari.Â
Jadi sebenarnya petugas penagihan juga dilematis terkait kepentingan perusahaan dan kinerjanya yang diukur dari laporan harian.Â
Meski nasabah belum bayar, tapi laporan sudah bertemu nasabah atau sudah berkomunikasi dengannya itu masuk penilaian kinerja mereka yang diukur setiap hari kerja.Â
Sama dilemanya dengan si nasabah yang butuh kredibilitas tempat kerja demi mendapatkan pinjaman, namun tak nyaman bila ditagih ke kantor.Â
Intinya balik lagi ke komunikasi, tanggung jawab, dan kesadaran.Â
Salam,Â
Brader Yefta
Referensi :Â
1. https://paralegal.id/peraturan/peraturan-otoritas-jasa-keuangan-nomor-35-pojk-05-2018/
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H