Logika sederhananya nasabah mungkin bisa menutup saluran komunikasi via handphone atau tidak membalas pesan WA atau SMS, tapi tak bisa bila itu telepon kantor. Apalagi kantor adalah rumah kedua di mana nasabah menghabiskan waktunya di sana.Â
Demi menjaga nama baik tempat bekerja dan juga kekhawatiran terhadap sanksi teguran dari atasan di atasnya terkait tunggakkan di luar kantor, biasanya akan membuat tak nyaman si nasabah.
Di satu sisi, kadang ada tempat bekerja yang memberlakukan aturan masalah pribadi di luar kantor jangan dibawa ke dalam agar tak ibarat ragi yang mengkhamirkan seluruh adonan. Ntar rekan yang lain bisa ikutan ngga nyaman.Â
Apalagi tak sedikit perusahaan yang demi pengajuan kredit, karyawan itu meminta Divisi HRD membantu mengeluarkan bukti bekerja sebagai persyaratan.Â
Ketika sudah dibantu, malah ujung-ujungnya kantor mesti ikut ribet gara-gara ditagih via telepon ke tempat kerja.Â
Saya sendiri pun mengalami ketidaknyamanan ini karena ulah seorang rekan. Bolak-balik ditelepon karena rekan tersebut tak mau bicara.Â
Tentu ini bikin was-was nasabah terhadap citra dirinya apalagi bila gaji dan benefit lain yang didapat setiap bulan cukup untuk bayar tapi lalai juga. Bisa-bisa malah dikenakan Surat Peringatan dari kantor.Â
Ini adalah dilema dua sisi yang kadang dialami oleh nasabah berprofesi pegawai atau karyawan. Sama dilemanya dengan petugas penagih yang menghindari menagih ke kantor nasabah.Â
Kredibilitas dan reputasi tempat bekerja membantu mendongkrak pengajuan kreditnya, namun bila menunggak dapat berisiko terhadap dirinya karena kantornya adalah sumber penghidupannya.Â
Risiko telat membayar adalah hal yang tak bisa dipungkiri segala sesuatu bisa terjadi dan berdampak pada finansial nasabah.Â
Mungkin cara terbaik adalah jangan memutus komunikasi. Meski belum ada realisasi pembayaran karena satu dan lain hal, paling tidak bisa ditemui saat janji bertemu di rumah.Â