Mohon tunggu...
Brader Yefta
Brader Yefta Mohon Tunggu... Administrasi - Menulis untuk berbagi

Just Sharing....Nomine Best in Specific Interest Kompasiana Award 2023

Selanjutnya

Tutup

Financial Artikel Utama

Bagaimana Mengedukasi Masyarakat soal Besaran Bunga Kredit?

3 Desember 2021   16:12 Diperbarui: 3 Desember 2021   21:18 1366
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi bunga kredit.| Sumber: Thinkstocks/Sapunkele via Kompas.com

Just Sharing....

Pagi ini saya membaca keluhan seorang nasabah terkait bunga pinjaman yang dirasa berat. Dia mengakses via aplikasi. 

Nama situs tersebut tak akan saya sebutkan. Namun saya tertarik pada apa yang dicurhatinya. Terlebih postingan tersebut ditanggapi sejumlah pembaca, yang juga pernah merasakan pengalaman pahit serupa mirip-mirip. 

Jujur saya merasa miris. Di satu sisi ada rasa kasihan bila memang benar, betapa besanya bunga tersebut. Namun di sisi lain, saya juga berpikir bagaimana mengedukasi warga, agar mereka mengerti dan bisa menganalisis sendiri. 

Dengan pengalaman bekerja di perusahaan yang menangani pembiayaan, pada dasarnya industri jasa keuangan yang membiayai suatu produk atau jasa, sejatinya hanya menawarkan solusi dan bukan satu-satunya solusi terkait kebutuhan nasabah.

Dalam arti sederhana, meski itu sebuah solusi yang dikemas dengan narasi marketing, namun tak ada paksaan atau intimidasi kepada para calon nasabah agar memutuskan beralih pada pemberi kredit. 

Karena secara hukum, akad diantara 2 pihak yakni kreditur dan debitur harus dilakukan secara akal sehat dan mengacu pada poin perjanjian kredit, di mana dianggap sudah dipahami dengan baik. 

Sekali lagi bagi warga, jangan pernah menandatangani sebuah akad pembiayaan, termasuk versi akad secara virtual atau link yang dikirimkan TANPA Anda memahami dengan baik apa yang tertera di sana terkait hak dan kewajiban. 

Bila belum mengerti, mintalah bantuan seseorang yang dianggap lebih paham. Atau bisa juga mengambil jeda sehari untuk mempelajarinya sebelum memutuskan ya atau tidak. 

Tidak ada salahnya juga Anda bertanya lebih banyak dan sedikit kepo pada pegawai yang menangani pengajuan. 

Jangan takut, malu apalagi malas, karena tak hanya nanti uang Anda yang berurusan dengan perusahaan tersebut, tapi bisa jadi hidup dan lingkungan soaial Anda juga dapat berdampak. 

Beberapa hal di bawah ini perlu dipahami oleh warga karena (jujur) literasi dan edukasi terkait kredit dimana, berapa bunganya, hak dan kewajiban nasabah, masih terasa kurang. 

Menjadi pertanyaan berapa banyak sih dari 270 juta warga Indonesia yang mengerti edukasi pembiayaan, bila situs- situs yang menampung keluhan konsumen hampir selalu mendapat respon dari warga lain. 

Mereka saling curhat sebagai sesama korban juga pengguna. Menyalahkan pihak pembiayaan hingga menyesali diri sendiri mengapa "kecebur" ke sana. 

Sampai-sampai negara pun lewat institusi terkait harus menertibkan dan mengatur demi meminimalisir dampak, seperti pada kasus pinjol baik ilegal maupun legal oleh OJK dan Kepolisian. 

Bila suatu isu menasional oleh banyak media, bukankah itu berarti ada sesuatu yang bisa jadi tidak sesuai prosedur ATAU bisa jadi masyarakatnya kurang teredukasi terkait hak dan kewajiban. 

Bagaimana menjembatani dua sisi berbeda antara yang ada di kepala nasabah dan harapan dari perusahaan yang membiayai. Perihal ngga nyambung ini punya potensi melebar ke mana-mana dan bisa memicu gesekan. 

Dokumentasi pribadi
Dokumentasi pribadi

Bunga kredit, apa yang ada di benak nasabah dàn apa yang diharapkan pemberi kredit? 

Bila saya tak pernah bekerja di perusahaan pembiayaan, bisa jadi persepsi dan harapan saya akan sama dengan warga lain sebagai pengaju kredit. Tak akan jauh dari 2 hal di bawah ini; 

Pertama, mau proses cepat. Hampir semua nasabah ngga mau lama. Kredit kendaraan, habis ngasih DP maunya 1 jam kemudian, kendaraan sudah diantar ke rumah. 

Kredit dana, pengennya 30 menit lagi walau masih ngerokok atau ngopi-ngopi di warkop, dana sudah masuk ke rekening. 

Justru harapan manusiawi kebanyakkan orang inilah yang malah "dijual" dalam tanda petik sebagai keunggulan pemberi kredit untuk menarik minat warga yang tak mempedulikan besaran bunga di luar toleransi alias mencekik.

Faktanya, bukankah itu yang "dijual" pinjol ilegal tanpa screening mendalam terkait kemampuan nasabah. Pemberi kredit memainkan efek psikologi nasabah sebagai senjata. 

Kedua, pengen cicilan ringan. Mayoritas nasabah mau angsuran murah. Kredit mobil murah, kredit rumah ngga berat bayarnya, kredit dana angsuran kecil. Itu manusiawi. 

Sebaliknya pemberi kredit tak bisa memberikan yang super super murah karena butuh profit. Investasi sistem itu mahal lho Bro. Belum balikin lagi ke pemodal yang menginvestasikan dananya ke mereka. Belum biaya operasional.

Tarik ulur 2 harapan berbeda antara nasabah dan pihak pemberi kredit, akhirnya bermuara pada sistem bunga yang digunakan. 

Karena itu masing-masing pemberi kredit tak sama, baik yang sama-sama di konvensional maupun yang sama-sama di digital aplikasi (lepas dari itu legal atau ilegal). 

Secara umum, pemberi kredit akan menjalankan sejumlah hal ini demi mendapatkan profit: 

1. Cicilan bisa super ringan, tapi jangka waktunya panjang. Bila nasabah berhitung, kok gede ya bunganya, tapi nasabah diuntungkan tak berat mencicil segitu. Sebenarnya ini jalan tengah ya agar sama-sama enak.

2. Pilihan bunga menurun, bunga menetap dan bunga musiman, menyesuaikan tipikal nasabah. 

Mau yang cepat selesai, bisa pilih bunga menurun. Kalau penghasilan stabil seperti para pegawai, pilih sistem bunga menetap. Bagi para petani atau pekebun, yang siklus usaha ada musim tanam dan musim panen, bisa pilih bunga musiman. 

Masalahnya adalah bagaimana mengedukasi warga perihal sistem bunga dan model cicilan ini, demi meminimalisir potensi miskomunikasi di awal yang berpotensi merugikan kreditur dan debitur setelah kontrak berjalan. 

Mengapa kedua pihak bisa merugi? Karena bila debitur membayar jauh lebih banyak dari yang ditoleransikan, bisa jadi merasa tidak adil.

Namun bilamana debitur juga menunggak, jelas pemberi kredit juga dirugikan. Gimana mau mengembalikan secara konsisten ke para pemodal kalo para nasabahnya juga ngga konsisten. 

Nah loh... dua-duanya juga punya potensi merugi yang sama. Itulah ada baiknya warga yang notabene nasabah memahami dengan baik edukasi finansial terkait pembiayaan. 

Hal ini dikarenakan, industri pembiayaan akan terus tumbuh 5 tahun atau 10 tahun kedepan lantaran rata-rata pendapatan warga juga masih tak mampu memiliki secara tunai. 

Salam, 

Brader Yefta 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Financial Selengkapnya
Lihat Financial Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun