Beberapa hal di bawah ini perlu dipahami oleh warga karena (jujur) literasi dan edukasi terkait kredit dimana, berapa bunganya, hak dan kewajiban nasabah, masih terasa kurang.Â
Menjadi pertanyaan berapa banyak sih dari 270 juta warga Indonesia yang mengerti edukasi pembiayaan, bila situs- situs yang menampung keluhan konsumen hampir selalu mendapat respon dari warga lain.Â
Mereka saling curhat sebagai sesama korban juga pengguna. Menyalahkan pihak pembiayaan hingga menyesali diri sendiri mengapa "kecebur" ke sana.Â
Sampai-sampai negara pun lewat institusi terkait harus menertibkan dan mengatur demi meminimalisir dampak, seperti pada kasus pinjol baik ilegal maupun legal oleh OJK dan Kepolisian.Â
Bila suatu isu menasional oleh banyak media, bukankah itu berarti ada sesuatu yang bisa jadi tidak sesuai prosedur ATAU bisa jadi masyarakatnya kurang teredukasi terkait hak dan kewajiban.Â
Bagaimana menjembatani dua sisi berbeda antara yang ada di kepala nasabah dan harapan dari perusahaan yang membiayai. Perihal ngga nyambung ini punya potensi melebar ke mana-mana dan bisa memicu gesekan.Â
Bunga kredit, apa yang ada di benak nasabah dà n apa yang diharapkan pemberi kredit?Â
Bila saya tak pernah bekerja di perusahaan pembiayaan, bisa jadi persepsi dan harapan saya akan sama dengan warga lain sebagai pengaju kredit. Tak akan jauh dari 2 hal di bawah ini;Â
Pertama, mau proses cepat. Hampir semua nasabah ngga mau lama. Kredit kendaraan, habis ngasih DP maunya 1 jam kemudian, kendaraan sudah diantar ke rumah.Â
Kredit dana, pengennya 30 menit lagi walau masih ngerokok atau ngopi-ngopi di warkop, dana sudah masuk ke rekening.Â
Justru harapan manusiawi kebanyakkan orang inilah yang malah "dijual" dalam tanda petik sebagai keunggulan pemberi kredit untuk menarik minat warga yang tak mempedulikan besaran bunga di luar toleransi alias mencekik.