Mohon tunggu...
Brader Yefta
Brader Yefta Mohon Tunggu... Administrasi - Menulis untuk berbagi

Just Sharing....Nomine Best in Specific Interest Kompasiana Award 2023

Selanjutnya

Tutup

Gaya Hidup Pilihan

Mengapa Ada Darah di Kaos Kaki Papa

5 November 2021   10:42 Diperbarui: 6 November 2021   14:05 335
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber foto screenshot dari artikel LINE Today_instastory instagram_The Sun

"..Dua orang bocah berlari mendekati sebuah mobil kijang di pertengahan 80 an...Setiap hari mereka melakukan hal yang sama demi seseorang berseragam di balik setir kemudi...." 

Quote di atas adalah sekelumit kenangan masa kecil dari saya dan kakak setiap sore menyambut almarhum Papa pulang kantor. Hal yamg mungkin sama dilakukan anak - anak terhadap orang tuanya. 

Namun yang paling terkenang dari beliau secara pribadi bagi saya, adalah bercak darah di kaos kakinya. Saya yang belum berusia 4 tahun kala itu, dengan polos bertanya pada Mama. 

" Mengapa ada darah di kaos kaki Papa?, tanya saya. 

Mama tidak menjawab. Malah saya dan kakak di suruh tidur siang agar sore hari bisa bangun laku dimandikan dan kembali menanti Papa pulang kerja. 

Melepas dan mencopof kaos kaki Papa adalah kesukaan saya. Ketika turun dari mobil dan duduk dengan seragam PNS, saya lebih suka melakukan itu. 

Namun semenjak menemukan jejak bercak darah, jiwa bocah saya tak tertarik lagi pada uang kertas 100 rupiah berwarna merah yang kerap diberi sebagai hadiah. 

Kepenasaran saya pada darimana asal bercak merah itu, jauh lebih besar dari kakak perempuan yang saat itu sudah kelas 1 SD. 

Beberapa bulan kemudian, di bulan kelahiran saya menjelang usia 5 tahun, saya melihat Mama tampak bingung di rumah. Mama menyiapkan rantang susun yang sudah terisi nasi dan lauk pauk. Tak lupa termos air panas model jaman dulu.

" Kakak belum pulang sekolah. Kamu ikut Mama ke rumah sakif. Papa sakit," kata Mama

" Tapi tadi pagi berangkat ke kantor Papa baik - baik saja Ma," tanyaku polos

" Sudah cepetan " jawab Mama sembari berpesan pada Opa di rumah agar menemani kakak kalo nanti pulang sekolah. 

Dari cerita Mama, ternyata Papa terjatuh di tangga kantor Gubernuran. Dulu sebutan buat kantor propinsi adalah kantor gubernur. Lalu dibawah ke Rumah Sakit Dok 2 Jayapura,  yang memang dekatan dengan lokasi kantornya Papa. 

Ada darah yang keluar dari hidungnya. Nafasnya sesak. Ketika saya dan Mama berdiri di samping ranjangnya, beliau tersenyum meski rasanya berat. 

Ekspresi sebagai Papa yang menyayangi keluarga. Tangan nya mengelus wajah saya. 

" Mana Heni ? " tanyanya pada Mama

" Belum pulang sekolah. Nanti dijemput sana Opa," jawab Mama. 

Teman- teman PNS Papa yang tadi mengantarkan ke rumah sakit berpamitan pulang. Saya melihat beliau beristirahat dan tidur. Saya tak ingin lagi menanyakan pertanyaan seperti judul tulisan ini pada Mama. 

Karena saya menguping obrolan Mama dengan Tante saya (kakaknya Papa), bahwa Papa sudah lama sakit paru-paru dipicu kebiasaan merokok dan mabuk alkohol. 

Budaya di masyarakat Indonesia Timur yang kerap dilakukan bersama - sama kolega dan teman- temannya. Bahkan jauh sebelum saya lahir. 

Itulah penyebab mengapa ada bercak darah di kaos kakinya. Manakala menunduk untuk mengikat tali sepatu hendak berangkat ngantor, saat beliau batuk, meneteslah dari hidung. 

Paru - paru yang makin rusak menyebabkan sakit Papa semakin berat. Beliau akhirnya berpulang dalam usia 39 tahun. Masih relatif muda. 

Setelah prosesi penguburan yang dihadiri kolega dan atasan beliau , hari- hari pertama masih terasa seperti Papa masih hidup. 

Bila ada mobil dinas lewat dan masuk kompleks kami di perumahan pemda, saya dan kakak masih berlari keluar dan merasa itu Papa yang pulang. 

Namun dengan berjalan nya waktu dan bertambahnya usia, kami mulai mengerti bahwa Papa sudah tiada. 

Sakit organ pernapasan dan jantungnya lantaran beratnya jadi perokok ditambah kebiasaan minum alkohol, membuat umur muda bukan jaminan tak cepat meninggal. 

Bisa jadi waktu masih bujang dan belum menikah dengan Mama, Papa sudah kebiasaan mengkonsumsi nikotin dan alkohol. 

Bukankah sejak janan dulu hingga sekarang,  status sebagai pegawai apapun dan bekerja di manapun, juga tak menjamin seseorang lepas dari gaya hidup merokok dan alkohol. 

Pengalaman meninggalnya Papa di usianya yang masih relatif muda,  tak hanya menghentikan hidup dan karirnya, tapi juga dampaknya bagi keluarga yang disayangi. 

Itulah alasan mengapa saya tak pernah merokok dari usia abg labil hingga sekarang. Saya pun tak pernah tau dimana enak dan nikmatnya. 

Bahkan saya pun sulit menjelaskan cara melepas kecanduannya karena tak pernah jadi mantan perokok. 

Termasuk alkohol juga. Jangankan whisky, ngebir pun tidak. Meski kata orang minum bir atau minum wine (anggur) ada baiknya juga buat tubuh selama kadar dan porsinya tepat dan terukur. Tapi itu berpukang pada kebutuhan orang per orang. 

Bila menghadiri meeting atau perjalanan dinas ke luar kota, di luar agenda kantor, saya lebih suka ngopi meski mereka yang lain ngebir. 

Preferensi gaya hidup kembali ke masing- masing orang. Tak boleh juga menghakimi karena hidup adalah pilihan. 

Seandainya setiap orang mengalami pengalaman dengan Papanya sama seperti yang saya alami,apakah itu cara berhenti merokok? Apakah mereka akan melakukan hal yang sama? Entahlah...

Tapi meski banyak tahun sudah berlalu, gambaran bercak darah di kaos kaki Papa masih terus membekas. Semoga anak -anak saya tak menemukan itu di kaos kaki saya. 

Salam, 

Baca juga : 

"Apakah Finansial Jadi Kendala Merawat Orangtua Lansia sehingga Harus ke Panti Jompo?"  

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Gaya Hidup Selengkapnya
Lihat Gaya Hidup Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun