Mohon tunggu...
Brader Yefta
Brader Yefta Mohon Tunggu... Administrasi - Menulis untuk berbagi

Just Sharing....Nomine Best in Specific Interest Kompasiana Award 2023

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Selamat Jalan Dokter Tigor Silaban, Anak Arsitek Masjid Istiqlal dan Janjinya Mengabdi di Papua

7 Agustus 2021   17:57 Diperbarui: 7 Agustus 2021   23:05 2296
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber:Dok.Istimewa_kumparannews

"Demikian janji ini saya ucapkan pada Hari Minggu, 15 Januari 1978, jam 23.00 WIB di tepi Pantai Ancol..."

Propinsi Papua dulunya bernama Irian Jaya, sebelum pemberlakuan otonomi khusus  di tahun 2001 yang pada akhirnya terbagi jadi 2 propinsi yakni Papua Barat dan Papua. 

Ditahun 70 an hingga 80 an, kedua daerah ini bukanlah wilayah propinsi yang menjanjikan secara kenyamanan hidup dan fasilitas. 

Terlebih bagi seorang Dokter, salah satu profesi mulia berbiaya mahal di negeri ini. Namun seorang anak muda era itu bernama Tigor Silaban, membuat janji dan tekad untuk mengabdikan dirinya. 

Menempuh episode perjalanan kehidupannya ke medan tempur. Bukan bertempur dengan senjata, tapi melawan ketertinggalan, kesulitan hidup, budaya dan warga yang asing baginya karena dia bukan asli orang sana. 

Dia jelas bukan anak sembarangan. Latar belakangnya terpandang. Dari keluarga berpendidikan. 

Papanya Frederich Silaban adalah seorang Arsitek besar yang merancang Masjid Istiqlal Jakarta. Bangunan megah di ibukota negera, simbol religi di negeri ini. Meski keluarganya bukan seorang muslim. 

Saya membayangkan bagaimana mulia dan tulusnya orang -orang besar di jaman dulu. Mereka hanya berpikir bagaimana membangun peradabadan dan memajukan negara. 

Membawa masyarakat pada tatanan baru yang lebih sejahtera, tanpa kepentingan tanpa konflik. Hanya untuk NKRI. 

Mungkin itulah yang melatari mengapa seorang Tigor Silaban muda, yang baru saja menyelesaikan pendidikan kedokterannya di UI (Universitas Indonesia) dan sementara bertugas sebagai dokter muda di BUMN Pertamina, bikin janji pada Sang Kuasa. 

Dari usia meninggal beliau sekarang yang 68 tahun, bisa diprediksi umur berapa di tahun 1978. Dihitung mundur, 2021 -68 =1953 tahun kelahiran beliau dan di tahun 1978 umur beliau adalah 25 tahun. 

Yeah, asumsi saja Dokter Tigor saat itu berusia 25 tahun dan sedang berada pada salah satu tahapan paling menentukan dalam hidup manusia, yaitu krisis usia 25 tahun alias Quarter Life Crisis. 

Sama seperti yang mungkin kita semua mayoritas pernah dan akan mengalaminya. Dipenuhi kegalauan pertanyaaan. Mau dibawa kemana hidup saya? Apa yang mau saya capai dalam hidup ini? Saya mau kerja dimana dan akan menjadi seperti apa? Apa tujuan hidup saya? 

Dan di Hari Minggu, jam 11 malam itu di tepi Pantai Ancol yang airnya mungkin masih biru dan jernih di tahun 1978, beliau membuat janji pada Tuhan. 

Memilih berhenti sebagai Dokter Pertamina, yang sudah nyaman dan mapan masa depannya, memilih jauh ke ujung timur Indonesia, pada tanah Irian Jaya yang asing, sunyi, tertinggal, terbelakang demi satu pengabdian pada bangsa dan negara. Terlebih pada Sang Pemilik Kehidupan. 

sumber:dok_facebook_detiknews
sumber:dok_facebook_detiknews

Di Bokondini adalah tugas pertama beliau mengabdi. Bokondini yang kini jadi ibukota Kabupaten Tolikara, dulunya di tahun 70 an dan 80 an adalah sebuah kecamatan. Tolikara pun belum jadi kabupaten. 

Kedua daerah ini masuk dalam Kabupaten Wamena yang kala masih Propinsi Irian Jaya, hanya punya satu bandara. Yakni Bandara Wamena. 

Kabupaten Wamena di tahun segitu, belumlah semaju sekarang. Berada di wilayah pegunungan dan lembah,justru kabupaten dan kota -kota di pesisir  Irian Jaya jauh lebih dahulu menerima modernitas. Seperti Jayapura, Biak, Merauke, Manokwari atau Sorong. 

Dengan memilih Bokondini, Dokter Silaban muda berhadapan pada sebuah tantangan besar. Karena warga di daerah paling tertinggal dalam sebuah propinsi, justru disanalah keahlian dan profesi kedokterannya sangatlah dibutuhkan. 

Siapa lagi yang mau ke sana, dan belum tentu banyak yang rela berhadapan dengan kesulitan dan keterbelakangan. 

Tak banyak dokter di Irian Jaya pada waktu itu, dibanding wilayahnya yang luas. Apalagi putra daerah yang menjadi dokter. Sangat susah menemukan anak Papua yang cerdas , kalaupun ada, belum tentu mau sekolah dokter. 

Kalaupun ada dan mau sekolah dokter,saat itu belum banyak beasiswa seperti sekarang (dari Pemda). Tak kuat orang tua membiayai. 

Dari Bokondini, kemudian sejumlah daerah lain di wilayah pegunungan seperti Yahukimo dan Oksibil dan Jayawijaya hingga menjadi seorang Kepala Dinas Kesehatan. 

sumber: robotiks.stanford.edu
sumber: robotiks.stanford.edu

Beliau mendarmabaktikan hidup dan keahlian nya sesuai janjinya yang dibuat saat muda dulu demi pengabdian pada masyarakat. Bahkan hingga pensiun, masih sebagai dokter konsultan. Dan hari ini Tuhan memanggilnya pulang. 

Selamat jalan Bapa, selamat jalan Dokter, banyak anak -anak Papua sembuh lewat tanganmu. Jejak hidupmu dan pengabdianmu abadi, seperti tunai janjimu pada Ilahi. 

RIP Dokter Tigor Silaban, 07 Agustus 2021

Penulis : Adolf Isaac Deda

Referensi : 

1. https://news.detik.com/berita/d-3854039/dokter-tigor-silaban-pilih-pedalaman-papua-ketimbang-pertamina

2. https://kumparan.com/kumparannews/dokter-dan-pejuang-kemanusiaan-papua-tigor-silaban-wafat-akibat-covid-19-1wHiOuL8bsB/full

3. https://id.wikipedia.org/wiki/Friedrich_Silaban

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun