Mohon tunggu...
Brader Yefta
Brader Yefta Mohon Tunggu... Administrasi - Menulis untuk berbagi

Just Sharing....Nomine Best in Specific Interest Kompasiana Award 2023

Selanjutnya

Tutup

Lyfe Pilihan

Jadi Atlet, di Balik Prestasi Ada "Harga" yang Dibayar

4 Agustus 2021   15:37 Diperbarui: 5 Agustus 2021   13:22 430
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
sumber kompas,com_Amalia Fajrina dengan seragam Polri. 

Berjuanglah dalam sepi...biarlah nanti suksesmu yang teriak

Saya ngga pernah jadi atlet, cuman punya sejumlah teman yang atlet. 

Saya juga ngga pernah ikutan kompetisi olahraga tingkat propinsi atau level nasional, tapi bersyukur kenal dekat dengan sejumlah mantan olahragawan. Dari mereka -mereka inilah, tau sedikit banyak seperti apa rasaya menjadi atlet. 

Seorang olahragawan mengalami suka dan duka. Kadang menang kadang kala. Bak dua sisi yang saling melengkapi dan menjadi pilihan manakala memantapkan hati sebagai atlet. 

Bermula dari dikenalkan, lalu suka dan menikmati. Kemudian mengenali bakat dan mengembangkan potensi. Bisa jadi pilihannya sejak usia muda, bahkan mungkin sedari masih kanak-kanak.  

Tulisan ini hanya rangkuman berdasarkan pengamatan dan kisah mantan atlet , pengalaman pribadi dalam keluarga besar, tetangga sebelah rumah,hingga sejumlah para sahabat dalam generasi (dekade) yang sama. Mereka -mereka ini mungkin cukup dikenal pada masa dan eranya. 

Mari mulai dari ngga enaknya dulu kalo kepengen jadi atlet 

1. Cedera karena bertanding atau latihan, dan mesti dirawat lama di rumah sakit. 

Di dekade 90 an ketika masih kecil, saya pernah diajak orang tua membezuk salah seorang pesepakbola dari salah satu klub yang cukup terkenal di Indonesia. Kakinya patah dan digibs, dari paha atas hingga tungkai bawah. Tak bisa berjalan, hanya tidur di bed. 

Pesepakbola ini dulunya seorang atlet daerah. Dia sepupu dengan almarhum ibu. Saya memanggilnya Om Herman (nama samaran). 

Saat itu perlu sekian bulan di rawat demi pemulihan lantaran cedera yang dialami kala bertanding di kompetisi liga yang sangat terkenal di tanah air pada era itu. 

Sampai sekarang,klub tempat Om saya bergabung dulu yang telah membesarkan namanya, masih eksis dan hampir selalu menyumbang pesepakbolanya ke timnas Indonesia. Yupp...mungkin Anda sudah bisa menebak nama klub bola di ujung timur Indonesia. 

Cedera pada tungkai juga dialami salah satu Om, namanya Om Rudy, sebut saja begitu namanya. Beda dengan Om Herman yang pesepakbola, Om Rudy seorang pelari lintasan (sprinter) yang dulunya menjadi pelari PON. Cedera otot kaki, memaksa dirinya mesti beristirahat sekian waktu sehingga tak dapat mengikuti sejumlah kompetisi dalam negeri di kala itu. 

So buat kalian yang pengen jadi atlet, cedera bisa jadi penghambat dalam karir. 

2. Biaya persiapan berkompetisi, bisa keluar dari kantong sendiri namun belum pasti menang. 

Masing -masing olahragawan itu beda sedikit dan banyaknya anggaran yang dibutuhkan. Bila dana dari kepengurusan atau persatuan belum turun, biasanya atlet tak jarang keluar biaya dulu demi persiapan fisik dan juga perlengkapan yang dibutuhkan. Salah satunya adalah atlet binaraga. 

Kebetulan kenal dekat sejumlah teman yang menjadi binaragawan asal daerah, yang pernah mewakili Propinsi dalam PON,bahkan mewakili negara di kompetisi luar negeri, dari mereka inilah bagaimana melihat harga yang harus dibayar. 

Mulai dari diet makanan dan minuman, beli suplemen dan nutrisi yang harga ngga murah alias mahal habis, hingga latihan intesif menjelang masa kompetisi. Padahal belum tentu menang. 

3. Masa muda "tergadaikan" dan pendidikan bisa " senin-kamis". 

Menjadi atlet itu identik dengan banyak harga yang harus dibayar. Di sela -sela masa pendidikan, harus terhenti atau jeda cuti karena mengikuti kompetisi, baik di level propinsi,nasional hingga internasional. 

Itu juga yang diakui seorang atlet Indonesia, pebolavoli Amalia Fajrina Nabila. Spiker timnas voli Indonesia ini, menghabiskan masa remaja dan usia belianya di arena latihan dan kompetisi sejak tahun 2008 hingga saat ini. 

"Saat bergabung  dengan klub, saya masih sekolah. Kemudian ikut seleksi Timnas dan lolos buat memperkuat Indonesia," ujar gadis yang kini berusia 25 tahun dan berprofesi sebagai Polwan, seperti kutipan wawancaranya dengan Kompas.Com

Mereka mesti "berdamai" dengan keringat, lintasan dan arena manakala teman-teman nya nongkrong -nongkrong di mall, atau ngopi-ngopi cantik di cafe. Begitu juga ngegibah atau gosipin selebriti, jarang sekali atlet melakukan itu apalagi menjelang kompetisi. 

Perjuangan serupa dengan Amalia, juga dikisahkan seorang Ibu tetangga kompleks tempat saya tinggal, yang dulunya mantan atlet silat PON, Dia juga  pernah mengikuti SEA Games. Sebut saja namanya Mama Nita. 

Wanita berhijab itu, yang kini berusia 40 an tahun, menceritakan bagaimana dari sejak usia anak-anak hingga dua puluhan, hidupnya hanya berputar pada 2 siklus : latihan-bertanding-latihan-bertanding. 

Bulan ini di NTB, bulan depan di Pulau Kalimantan, bulan berikutnya di  Pulau Sumatra. Tahun ini di Jakarta, tahun -tahun berikutnya bisa di negara lain. 

4. Pada wanita, bisa telat menikah atau sudah menikah tapi menunda kehamilan. 

Ini hal yang secara kodrat mesti diterima. Tubuh wanita akan berubah, setelah punya anak. Itu belum ditambah konsentrasi dan fokusnya akan berubah setelah berkeluarga, tak leluasa lagi seperti waktu masih single. 

Tentu ini akan berdampak bila dia sebelumnya adalah seorang atlet, apapun itu olahraganya. Sedikit berbeda pada pria, yang meski sudah menikah, atau mungkin sudah ada momongan, secara fisik ngga banyak berubah dengan semasih bujang. 

Justru malah bisa meningkat performanya karena tuntutan kebutuhan dan keinginan mewariskan prestasi dan kenangan pada pasangan dan buah hati.Apalagi bila usianya masih di bawah 32 tahun. 

5. Tak semua atlet, selalu menang kala berkompetisi.

Ini adalah realita, sama seperti bila memilih kerja kantoran dengan target. Ada yang melebihi target, ada yang hanya sekian persen pencapaiannya, bahkan ada yang tak sampai pada target minimal.

Atlet juga sama. Mereka dibebani target kompetisi. Namun tak semua atlet menang, ada juga yang kalah dan tersingkir. Bagi atlet, kalah menang itu biasa meski sejatinya mereka selalu berharap menang. 

Contoh paling anyar adalah medali emas yang diraih pasangan ganda wanita pada Olimpiade tahun ini. Bahagia boleh, tapi kedua srikandi ini pasti beryukur pada banyak kegagalan kompetisi yang sudah mereka lewati. Proses baik kalah atau menang sudah bikin mental makin tangguh. 

Dibalik sejumlah konsekuensi di atas ini, ada kebahagian lain menjadi atlet. Ini rangkuman dari apa yang dikisahkan para teman dan sahabat, hingga yang masih keluarga juga. 

1. Bila berprestasi, bisa jadi PNS, Pegawai BUMN, Aparat negara (TNI-Polri), atau memilih hadiah lain. 

Mama Nita, tetangga komplek yang mantan atlet silat PON, adalah seorang Guru PNS di sebuah sekolah menengah. Dia berkisah, di usia muda dulu, saat meraih medali dalam sejumlah ajang baik PORDA, PON hingga level internasional, dia mendapat dua pilihan hadiah. 

"Saya dikasih memilih, mau rumah atau mau jadi PNS, saya pilih Pegawai Negeri. Makanya orang bilang susah tes masuk jadi PNS, saya ngga tau seperti apa karena ngga pernah ngalami," demikian curhatnya. 

Apa yang dikatakan tetangga sebelah rumah itu, sudah mengamini apa yang diterima kelak oleh si atlet, atau mungkin sudah dihadiahkan oleh pemerintah kepada mantan atlet, sebagai penghargaan atas jerih payah. 

Terbukti kedua Om yang menjadi contoh dalam tulisan ini, yakni Om Herman berkarir sebagai PNS di Pemprov gara -gara bola, dan Om Rudy lolos masuk Polri gara -gara lari.

Di saat banyak orang susah punya MDC alias Masa Depan Cerah, para atlet yang memenangkan kompetisi, punya jalan pintas menembus karir jaminan hari tua. 

Lihat saja sekarang generasi milenial. Berapa banyak atlet berstatus TNI, Polisi, dan sejumlah institusi lain. Mereka masuk karena prestasi, bukan karena sogokan, bukan karena nepotisme, dan bukan karena "berapa yang ditransfer". 

sumber kompas,com_Amalia Fajrina dengan seragam Polri. 
sumber kompas,com_Amalia Fajrina dengan seragam Polri. 

Fisik mereka sudah teruji, tak perlu lagi tes jasmani. Kompetisi panjang dan lintasan arena telah menggembleng fisik dan ketangkasan mereka. Apalagi para olahragawan ini bisa tetap menyelesaikan sekolah (kuliah) meski berstatus atlet. 

2. Nama besar, popularitas dan pengaruh.

Dunia binaraga Indonesia identik dengan Ade Rai. Dunia tinju Indonesia identik dengan Elias Pical dan Chris John. Dunia renang Indonesia identik dengan Radja Nasution atau Yusyaryahya Nasution, beserta anak-anak nya malang melintang menjuari renang. 

Ada banyak contoh di bidang olahraga lain. Mereka populer di level daerah hingga nasional, pada masa dan eranya masing-masing.Dengan latar belakang nama besar sebagai atlet dan prestasi, sejumlah priviledge diperoleh. 

Mulai dari berbicara pada pengembangan olahraga di tanah air, menjadi pelatih hingga bisa berbisnis atau malah melebar hingga menjadi politikus dan pejabat. Tentu banyak dari mereka para atlet atau mantan atlet, yang kita kenal dari media. Apalagi di era medsos seperti sekarang. 

3. Tak hanya bisa bekerja sebagai abdi negara, tapi bisa juga "pekerjaan sampingan" lain dari bakat olahraganya. 

Bila ada kompetisi olahraga, mereka bisa dipakai sebagai juri. Bila ada siaran olahraga,bisa didapuk sebagai komentator. Bila ada wawancara seputar olahraga yang dulunya mereka sebagai atlet, bisa menjadi narasumber terpercaya. Belum lagi bila jadi brand produk nutrisi atau perlengkapan sport. 

Itu semua selain mendatangkan keuntungan materi, bisa juga sebagai transfer ilmu dan pengetahuan pada calon atlet generasi baru sekalian edukasi bagaimana mengolahragakan masyarakat dan memasyarakatkan olahraga.

4. Kerja sebagai olahragawan sekalian traveling lintas pulau lintas negara

Banyak anak muda jaman sekarang, kepengen bisa pesiar ke propinsi lain atau ke negara lain. Namun bagi para atlet atau mantan atlet yang kerap berkompetisi di luar pulau manca negara, tentu mereka bisa sekalian bertanding sambil jalan-jalan. 

Percayalah, pasti di hari terakhir, sebelum pulang balik ke daerahnya, akan ada acara kunjungan ke obyek  wisata atau melihat keunikan lain. Apalagi daerah perhelatan PON yang terus berganti, perhelatan SEA Games hingga Olimpiade juga demikian.

Kapan lagi bisa jalan -jalan gratis dibayarin, setelah itu bisa jadi pegawai dengan masa depan terjamin. Bukankah sebuah pilihan masa depan yang cukup menjanjikan. 

Hal -hal di atas ini mungkin 4 kebahagiaan lain menjadi atlet berprestasi, di samping bonus tabungan nominal sekian rupiah secara langsung sebagai penghargaan. 

Bagaimana, apakah kamu tertarik menjadi atlet? Atau mau menyarankan keluargamu menjadi atlet? 

Hidup itu pilihan, jangan buang bakat dan masa mudamu menjadi sia-sia. 

Salam, 

Referensi

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun