Atlet juga sama. Mereka dibebani target kompetisi. Namun tak semua atlet menang, ada juga yang kalah dan tersingkir. Bagi atlet, kalah menang itu biasa meski sejatinya mereka selalu berharap menang.Â
Contoh paling anyar adalah medali emas yang diraih pasangan ganda wanita pada Olimpiade tahun ini. Bahagia boleh, tapi kedua srikandi ini pasti beryukur pada banyak kegagalan kompetisi yang sudah mereka lewati. Proses baik kalah atau menang sudah bikin mental makin tangguh.Â
Dibalik sejumlah konsekuensi di atas ini, ada kebahagian lain menjadi atlet. Ini rangkuman dari apa yang dikisahkan para teman dan sahabat, hingga yang masih keluarga juga.Â
1. Bila berprestasi, bisa jadi PNS, Pegawai BUMN, Aparat negara (TNI-Polri), atau memilih hadiah lain.Â
Mama Nita, tetangga komplek yang mantan atlet silat PON, adalah seorang Guru PNS di sebuah sekolah menengah. Dia berkisah, di usia muda dulu, saat meraih medali dalam sejumlah ajang baik PORDA, PON hingga level internasional, dia mendapat dua pilihan hadiah.Â
"Saya dikasih memilih, mau rumah atau mau jadi PNS, saya pilih Pegawai Negeri. Makanya orang bilang susah tes masuk jadi PNS, saya ngga tau seperti apa karena ngga pernah ngalami," demikian curhatnya.Â
Apa yang dikatakan tetangga sebelah rumah itu, sudah mengamini apa yang diterima kelak oleh si atlet, atau mungkin sudah dihadiahkan oleh pemerintah kepada mantan atlet, sebagai penghargaan atas jerih payah.Â
Terbukti kedua Om yang menjadi contoh dalam tulisan ini, yakni Om Herman berkarir sebagai PNS di Pemprov gara -gara bola, dan Om Rudy lolos masuk Polri gara -gara lari.
Di saat banyak orang susah punya MDC alias Masa Depan Cerah, para atlet yang memenangkan kompetisi, punya jalan pintas menembus karir jaminan hari tua.Â
Lihat saja sekarang generasi milenial. Berapa banyak atlet berstatus TNI, Polisi, dan sejumlah institusi lain. Mereka masuk karena prestasi, bukan karena sogokan, bukan karena nepotisme, dan bukan karena "berapa yang ditransfer".Â