Teringat mereka berdua datang ke kantor dan menemui saya, perihal keinginan mau kredit HP. Kebetulan di kantor juga melayani pembiayaan gawai dengan harga di atas 2 jutaaan.Â
Mas Bojes yang belum pernah berurusan dengan bank dan finance, apalagi istrinya yang ndeso dan tak tahu apa apa. Tahunya hanya memasak nasi dan lauk lalu menjajakannya di sebuah kedai sederhana di pinggir jalan utama.Â
"Bisa bantu ke Om?" tanya Mas Bojes kala duduk bersama istrinya di depan meja
"Mang gajinya cukup, kalo ambil yang itu. Harganya mahal lho, ntar angsurannya tinggi," kata saya
Ternyata Mas Bojes, meski cacat dan bagi kita yang normal, rasanya tangannya tak sempurna menggenggam HP mahal seharga 8 jutaan, ternyata emang dia ngotot.pada HP tersebut. Tak tanggung-tanggung angsurannya aja sebulan 800 ribuan selama 12 bulan.Â
Istrinya hanya mendukung permintaan suaminya. Terserah misua katanya. Lha wong uang, uangnya dia juga. Demikian jawab istrinya sebelum keduanya tanda tangan dokumen kredit.Â
Saya lalu mengajak Mas Bojes ke belakang kantor dan duduk di lapak kopi di bawah pohon jambu.Â
Sembari seruput kopi, kami menghitung bersama pemasukan dan pengeluaran bulanan dari pendapatan istri nya, ditambah pendapatan Mas Bojes. Ok fix, secara penghasilan masuk . Â
Sebelum surat PO nya keluar, teman-teman nongkrong saya di sekitar kompleks (bukan teman kantor), para brader yang biasanya ngopi dan ngobrol bersama, mereka meragukan kemampuan bayar Mas Bojes.Â
Tak sedikit yang memberi usulan, agar saya menolak aja pengajuan nasabah Disabilitas.Â
" Kan Om tanggung jawab juga kalo macet...Orang cacat mau bikin apa HP 8 jutaan?" demikian alasan yang terdengar, agar di rejeck aja.Â