Just Sharing...
Bicara soal hubungan beda negara, tak hanya perihal pernikahan campuran antar ras. Namun juga bagaimana hubungan dua negara dalam tranksaksi bisnis yang diwakili oleh dua pihak yang berbeda negara dan budaya.
Ijinkan saya menuliskan salah satu pengalaman dengan nasabah dari sekian banyak. Bukan hanya sebagai diary kenangan, tapi agar bisa melihat keunikkan dari dualisme percampuran budaya dan konsekuensi di baliknya.Â
Agustus 2015...Enam tahun lalu
 Siang jam 12 lewat 20 menit, saya duduk di warung belakang kantor. Bukan kantin tapi sebuah lapak jualan sederhana milik Bibi Inak (sebut saja begitu namanya). Memesan satu porsi nasi soto ayam sembari mengecek email yang masuk dan info di WA Grup lewat HP.Â
Biasanya setiap istirahat, saya pulang ke rumah sebentar. Namun entah mengapa hari itu, saya putuskan makan siang di sini aja. Tetiba di cari Nita (nama samaran), salah seorang pegawai wanita yang masih satu tim satu divisi di kantor.Â
"Pak, ada mbak-mbak di depan mau ketemu," katanya
"Muda apa tua?," tanya saya, sambil bercanda
"Manis ibunya, dari fisiknya sih masih muda. Katanya dia nasabah dari Jakarta," jawab Nita.Â
Hmm...pikiran saya berputar. Biasanya kalo nasabah dari kantor cabang lain di luar propinsi dan beda regional, urusannya pasti tak jauh-jauh dari penarikan unit, pengajuan kredit atau take over pembiayaan.Â
Karena jam istirahat masih lagi satu jam,saya minta tolong ke Nita sampaikan ke Mbak nya untuk menunggu atau mungkin dia mau urusan kemana dulu lalu kemudian balik ke kantor lagi. Â Saya juga mau makan siang dulu...hehe.Â
Singkat cerita, di hari itu pukul 2 siang, saya ketemu dengan nasabah itu. Namanya Mbak Bianca (nama samaran). Mengenakan kacamata hitam, celana jins dan kaos polo berwarna merah. Penampilan ala-ala mahasiswa.Â
Usianya masih muda 33 tahun. Meski asli warga NTB (Nusa Tenggara Barat), namun penampilan dan tutur katanya menunjukkan dia sudah lama berada di kota besar atau di luar negeri. Lagipula dia tak mengenakan hijab, seperti mayoritas wanita di pulau ini.Â
Kami bicara 4 mata di sebuah ruangan di kantor yang memang disediakan buat bilik nasabah. Benar dugaan saya, memang Mba Bianca ini hendak mengajukan take over pembiayaan yang dialihkan ke dana tunai.Â
Agunannya sebuah unit Merk Mitsubishi Dump Truck FE74HDV, Â yang harganya di tahun 2015 saat itu masih di atas 300 juta.Â
"Saya nasabah di Bekasi, Jawa Barat, lagi sisa 2 X angsuran, bisa dibantu ngga Pak?"katanya lagi sambil menyerahkan KTP nya.Tahun 2015 belum ada E KTP, masih bentuknya seperti KTP lama.Â
"Unitnya dimana?" tanya sayaÂ
"Tuh di depan sama sopir saya..Platnya B tapi dipakai di sini," katanya sambil menunjukkan ke parkiran lewat dinding kaca dimana sebuah Kendaraan Colt Diesel itu sudah terparkir.Â
Saya cek di sistem dengan memasukkan data KTP nya, lalu klik....Cuzz, muncul riwayat kreditnya. Nama sesuai, spesifikasi unit sesuai, nomor BPKB sesuai, atas nama di BPKB nama dia sendiri, sisa sekian angsuran juga sesuai, status lancar, hanya alamat berbeda.
Ternyata dia sudah pindah dan tinggal di NTB. Ada nama terakhir khas nama orang Bule di belakang namanya, yang sedikit bikin penasaran. Dia lalu menyerahkan Kartu Keluarga. Tertulis di sana Bianca Sulastri Hawkins (nama samaran) sebagai Kepala Keluarga.Â
Punya 2 orang anak, dengan marga Hawkins di belakang nama-nama anaknya. Geser ke kolom kanan di KK tersebut, cek nama orang tuanya, tertulislah di sana Ibu Bianca Sulastri, Ayah Donald Hawkins (nama samaran).Â
"Suami saya orang Australia, dia bisnisman di Perth, saya juga berbisnis di Indonesia, anak-anak bersama saya," katanya sebelum saya bertanya lebih dalam.Â
"Baik...saya pelajari dulu pengajuannya Mbak, sambil komunikasi dan koordinasi dengan teman-teman di Kantor Bekasi karena Mbak nasabah di sana juga," jawab saya kemudian memberi janji untuk nanti menghubungi dia kembali.Â
Dua hari kemudian, karena plafon pinjamannya gede proses survey dilakukan bersama salah seorang rekan. Kami mendatangi lokasi usahanya.Â
Bisnis tambak udang dan ikan, di sebuah desa di pinggiran jalan lintas propinsi NTB-NTT. Sejumlah karyawan nya sedang menyemai benih udang dan memperbaiki pompa dan sirkulasi air.Â
Bersama sejumlah anak buahnya, yang juga warga lokal dari desa yang sama dengan Mba Bianca, bekerja membantunya. Usaha tambaknya sudah berjalan sekian tahun, meski tahun -tahun sebelumnya dia berada di Jakarta.Â
Selain usaha tambak, usaha hasil bumi juga dirambah karena NTB sendiri adalah salah satu lumbung pangan nasional.Â
"Uang hasil tambak  dipake buat kredit Dump Truk itu Pak dan buat transportasi hasil bumi juga. Walau saya di Jakarta, kadang di Australi, tetap tidak lupa sama tanah asal. Ya kita bisniskan, sekalian mengelola lahan di desa," katanya di sela-sela istirahat makan siang di rumah jaga di sekitar tambak.Â
Masih ingat menu makan siangnya ayam kampung bakar khas sambal Taliwang. Â Dibakar disitu, dimakan bersama di situ..hehe. Dia kemudian bicara banyak soal pembibitan udang dan lobster di NTB, hingga sejumlah pebisnis luar daerah yang mulai melirik potensi lokal.Â
Keakraban diantara kami, membuat dia lalu bercerita banyak. Soal bagaimana bertemu dengan suaminya, warna warni punya suami bule dan dia sendiri wanita Indonesia, lalu gaya hidup dan konsekuensi dari pernikahan campuran.Â
Keseluruhannya saya rangkum namun tidak mendetail biar ngga kepanjangan, Â ditambah proses pengajuan kreditnya, seperti di bawah ini :Â
1. Suami yang WNA tak bisa mengajukan kredit di Indonesia.Â
Peraturan BI No. 7/14/PBI/2005 memang membatasi WNA untuk tidak mengajukan pinjaman di Indonesia. Dalam persyaratan pun sudah ditentukan bahwa pemohon adalah WNI dengan usia minimal 21 tahun dan maksimal 55 tahun. Ini aturan umum yang berlaku. Bukti sebagai WNI ditunjukkan dengan KTP dan KK.Â
Ini makanya unit kendaraan tersebut dikredit atas nama Mba Bianca, dimana nama di STNK dan nama di BPKB juga sama. Mba Bianca meski sering bolak balik Indonesia -Australia, namun identitas dan domisilinya tetap di Indonesia.Â
2. Pengajuan tak bisa maksimalÂ
Karena pertimbangan lain terkat statusnya itu, meski usaha dan bisnis yang dikelola termasuk segmen usaha produktif, dan riwayat secara BI Checking nasabah juga lancar-lancar saja, seingat saya plafon yang disetujui tak bisa maksimal. Beliaupun tak masalah.Â
Nilainya hampir sama dengan kisaran angsuran sebelumnya kurang lebih 125 juta padahal sebenarnya dengan jaminan unit itu ditahun segitu, maksimalnya bisa lebih dari segitu.Â
Karena KK tertulis atas nama Mba Bianca, dan unit juga, otomatis tak memerlukan tanda tangan suami. Hanya fotokopi identitas suami berupa paspor yang di fotokopi sebagai lampiran di dalam berkas.Â
3. Wanita Indonesia menikah dengan WNA, harus bisa mandiri .Â
Ini diceritakan si nasabah kala kami duduk ngobrol di tambak. Mandiri yang dimaksudkan olehnya adalah tak bergantung pada suami dan setidaknya bisa bekerja atau berbisnis.Â
Dengan punya penghasilan sendiri, paling tidak, bila sewaktu-waktu berpisah atau bercerai, mereka masih bisa melanjutkan ekonominya (meski suami juga harus memberi sekian persen ). Mungkin karena itu, dia juga mencari celah bisnis dan mengelola sendiri usahanya.Â
4. Biaya pendidikan anak-anak lebih mahal, karena sekolah di sekolah internasional.Â
Anak indo campuran, yang dibesarkan dalam dua budaya warisan kedua orang tua, cenderung sekolah di sekolah internasional dengan bahasa pengantar internasional, yakni bahasa inggris. Sudah  tentu biaya pendidikan  jauh lebih mahal.Â
Itu juga dialami Mba Bianca ketika membesarkan kedua anaknya. Dia harus berbisnis dan berusaha sendiri demi memenuhi kebutuhan anak-anaknya di sekolah internasional di Jakarta.Â
Meski punya usaha kos-kosan juga di Bekasi, Mba Bianca juga berbisnis di daerah, pulang balik ke ibukota dan pulang pergi juga ke Australia.Â
Anak-anaknya hanya pada saat liburan sekolah, mereka bersama ibunya di daerah asal ibunya, hingga diajak bermain di tambak. Atau kadang liburan ke tempat bapaknya.Â
5. Luasnya pengalaman, berpengaruh pada skala bisnis dan besar uang yang dikelola.Â
Dengan usia yang masih 33 tahun, sudah punya bisnis dan sejumlah usaha.Sebelumnya dia bekerja di perusahaan tambang yang terkenal di Indonesia, sehingga bertemu calon suaminya dari lingkungan pekerjaan.Â
 Lama di luar negeri dan di Jakarta, sehingga wawasan dan naluri bisnisnya makin terasah. Ini terlihat dari tutur bahasa dan pola pikir. Bisa jadi ini, salah satu yang memikat pria bule sang bisnisman dari Australia ini hehe...Â
bagaimana kelanjutannya ?Â
Mba Bianca pada saat itu hanya mengambil kredit selama 12 bulan. Dia ngga mau lama-lama, karena perhitungannya kapan panen tambaknya, berapa kira kira hasilnya, lalu dijual berapa dan untungnya berapa, bisa langsung dilunaskan semuanya.Â
Jadi meski 1 tahun jangka waktunya, tak hanya sampai 5 bulan, sudah dilunaskan oleh beliau. Setelah lunas sudah jarang lagi bertemu dengannya.Â
Meski demikian, ada hal-hal menarik yang bisa dipelajari dari seorang nasabah seperti Mba Bianca ini, terutama hubungan beda negara dan konsekuensi nya yang belum tentu dipahami orang lain yang tak menjalani keluarga semacam itu.Â
Bagaimana menurut Anda?Â
Salam,Â
Referensi :Â
1. https://peraturan.bpk.go.id/Home/Details/137369/peraturan-bi-no-714pbi2005-tahun-2005
Baca juga :Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H