Mohon tunggu...
Brader Yefta
Brader Yefta Mohon Tunggu... Administrasi - Menulis untuk berbagi

Just Sharing....Nomine Best in Specific Interest Kompasiana Award 2023

Selanjutnya

Tutup

Worklife Pilihan

Dua Sisi Ibu Menteri Risma di Balik Kemarahannya, Sebuah Coretan Ringan dari Warung Kopi

15 Juli 2021   17:22 Diperbarui: 15 Juli 2021   22:46 300
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Lebih baik teguran yang  nyata -nyata daripada kasih yang tersembunyi...

Bicara soal Bos yang baik, mungkin salah satunya adalah Bu Risma. Eitss...jangan langsung praduga gimana -gimana dulu ya. 

Marilah memaknai dua sisi di balik sifat teguran nyelekit ala Mantan Walikota Surabaya yang kini didapuk sebagai Menteri Sosial. 

Kita mungkin bukan warga Surabaya atau tak tinggal di Jawa Timur, tapi apakah kita pernah mengamati, ada pemimpin daerah alias di Kabupaten Kota atau Propinsi yang tipe dan model tegurannya seperti Bu Risma? 

Sudah pasti ada. Salah satunya Pak Ahok, mantan Gubernur DKI. Kesamaan Pak Ahok dan Bu Risma, adalah pada teguran yang nyata-nyata. 

Saking nyata apa yang dilontarkan, tak hanya menusuk ke kedalaman hati kepada mereka yang dimarahi, tapi juga menyindir pihak lain. Ibarat panas di sini panas di sana.  

Kemarahan Bu Risma terhadap sejumlah pegawai Kemensos yang bekerja di Balai Rehabilitasi Sosial Penyandang Disabilitas Wyata Guna Bandung, Jawa Barat dengan sanksi akan memindahkan ke Papua,tak hanya bikin panas hati anak buahnya. 

Tapi juga bikin meradang warga  di dua Propinsi yang terletak di paling timur Indonesia. Ada apa Bu Risma dengan Papua Barat dan Papua sehingga membawa -bawa dalam tegurannya. 

Berbeda namun hampir sama dengan Pak Ahok, Beliau tidak menyinggung suku, daerah dan propinsi ketika tersandung kasus salah satu surat di dalam alquran. Namun karena berkenaan dengan keyakinan, akhirnya merembes dan meluas ke mana-mana. 

Tentu akibat ucapan verbal, bisa menjadi batu sandungan bagi karir dan kehidupan. Dan jangan salah. Kita hidup dalam sistem sosial dimana masyarakat cenderung mengingat bagaimana si tokoh di masa lalu. 

Jadi ketika Bu Risma, tanpa sadar dan spontan menyebut nama Papua dalam teguran terhadap anak buahnya, yang muncul adalah persepsi segelintir warga di sana terhadap bagaimana saat beliau menjadi walikota Surabaya. 

Pertanyaannya adalah, andai Bu Risma mengganti nama daerah Papua dengan nama NTT, Maluku atau NTB, apakah warga di 3 propinsi ini akan meradang seperti halnya saudaranya di Papua? 

Wallahualam...

Yang pasti dalam tataran sosial, perkataan yang terasa tak enak dari seorang pejabat di negeri ini, akan dihubung-hubungkan dengan rekam jejak nya dan beraneka kejadian di masa silam.  yang mungkin berkenaan dengan dirinya terhadap suku dan daerah tersebut. 

Pak Ahok pernah mengalami hal yang sama dalam konteks yang berbeda. Bu Risma pun demikian. Ungkapan bahwa mulutmu harimaumu memang berlaku buat siapa saja. 

Dengan mulut bisa mencerna makanan untuk mendapatkan energi dan kehidupan. Tapi dengan mulut juga bisa membangun atau menjatuhkan kehidupan seseorang, meski dibalut dengan teguran atau pujian. 

Lidah manusia, terlebih lidah seorang pejabat atau pemimpin, ibarat pedang bermata dua. 

Bisa menusuk ke bawahan sebagai terapi merubah perilaku dan kebiasaan demi meningkatkan etos kerja. Namun bila tak hati-hati, bisa menusuk citra atasannya juga. 

Dua sisi pemimpin di balik kemarahannya, antara perbandingan tanpa mendiskreditkan pihak lain. 

Pernah ngga sih kepikiran, mengapa demi mendorong atau meningkatkan level kinerja, atasan ada kalanya menggunakan pembanding? Membandingkan satu dengan yang lain. 

Apakah teguran yang dilakukan Bu Risma terhadap bawahannya, dengan membandingkan kerja di satu daerah dengan bekerja di daerah lain, hanya untuk para ASN saja? 

Rasanya tidak juga. Bahkan di institusi atau perusahaan swasta juga kerap ada pernyataan langsung berupa ucapan atau surat terhadap pegawai di internal. Mulai akan dimutasi ke suatu daerah atau ke suatu divisi tertentu, bila kinerja dan produktifitas tak tercapai. 

Sisi pertama yang bisa dimaknai dari teguran nyata-nyata Bu Risma, adalah memberi penyadaran pada anak buah. 

Sudah enak jadi ASN, meski pandemik masih bisa tetap terima gaji terima tunjangan, mbok ya kerja. Jangan santai. Kasihan rakyat yang mungkin hidup mereka tak sebaik para ASN. 

Ada pesan mendidik yang tersirat dalam teguran beliau. Meski sakit di hati, panas di telinga, malu di dengar, tapi tujuannya baik. 

Sejatinya tak ada teguran yang membahagiakan. Karena banyak orang lebih suka dipuji daripada ditegur. 

Bekerja jauh dari keluarga, dengan biaya hidup yang jauh lebih mahal di kawasan Indonesia Timur, rasa-rasanya itu tak nyaman bagi dirinya dan keluarganya. 

Bayangkan gaji di satu Propinsi yang biasanya 5 juta itu sudah cukup,lalu di pindahkan ke daerah yang gaji 8 juta baru rasanya cukup. Tentu ini tekanan batin. 

Belum tentu pasangan dan anak--anaknya mau ikutan pindah. Bila sudah begitu, akan ada 2 dapur yang terus ngebul. Dapur di daerah penugasan dan dapur di keluarga berdomisili. 

Sisi kedua yang tak kalah menarik, adalah pilihan kata Papua dalam teguran Bu Risma. Entah sadar atau tak sadar, kita bukanlah Tuhan yang bisa menebak-nebak apa makna dibaliknya. 

Andai kalimat "dipindahkan ke Papua" itu diganti dengan "dipindahkan ke NTT atau dipindahkan ke NTB" akankah itu bisa diterima oleh warga di sana? Apakah akan menimbulkan persepsi yang sama ? 

Well...sejatinya perbandingan dengan membandingkan antar kabupaten dan propinsi di tanah air, dalam hal-hal tertentu, memang bisa memicu konflik sosial. 

Dalam perpektif urban, warga yang berdomisili di pusat kota, merasa lebih "maju dan modern" dibanding mereka yang berasal dari desa. Padahal banyak warga desa yang lebih kaya secara aset dan harta, namun memilih lebih baik tinggal di desa dan membangun kampungnya. 

Insightnya mungkin adalah, kehati-hatian menggunakan perbandingan dalam teguran atau pujian. Ini tak hanya buat seorang pejabat pemerintah atau publik figur, tapi juga sebagai warga kebanyakkan. 

Dalamnya laut dapat diduga, dalam hati tak ada yang tahu. 

Semoga ini menjadi pembelajaran bagi kita semua, 

Salam 

Referensi : 

1. Kompas

 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Worklife Selengkapnya
Lihat Worklife Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun