Sudah enak jadi ASN, meski pandemik masih bisa tetap terima gaji terima tunjangan, mbok ya kerja. Jangan santai. Kasihan rakyat yang mungkin hidup mereka tak sebaik para ASN.Â
Ada pesan mendidik yang tersirat dalam teguran beliau. Meski sakit di hati, panas di telinga, malu di dengar, tapi tujuannya baik.Â
Sejatinya tak ada teguran yang membahagiakan. Karena banyak orang lebih suka dipuji daripada ditegur.Â
Bekerja jauh dari keluarga, dengan biaya hidup yang jauh lebih mahal di kawasan Indonesia Timur, rasa-rasanya itu tak nyaman bagi dirinya dan keluarganya.Â
Bayangkan gaji di satu Propinsi yang biasanya 5 juta itu sudah cukup,lalu di pindahkan ke daerah yang gaji 8 juta baru rasanya cukup. Tentu ini tekanan batin.Â
Belum tentu pasangan dan anak--anaknya mau ikutan pindah. Bila sudah begitu, akan ada 2 dapur yang terus ngebul. Dapur di daerah penugasan dan dapur di keluarga berdomisili.Â
Sisi kedua yang tak kalah menarik, adalah pilihan kata Papua dalam teguran Bu Risma. Entah sadar atau tak sadar, kita bukanlah Tuhan yang bisa menebak-nebak apa makna dibaliknya.Â
Andai kalimat "dipindahkan ke Papua" itu diganti dengan "dipindahkan ke NTT atau dipindahkan ke NTB" akankah itu bisa diterima oleh warga di sana? Apakah akan menimbulkan persepsi yang sama ?Â
Well...sejatinya perbandingan dengan membandingkan antar kabupaten dan propinsi di tanah air, dalam hal-hal tertentu, memang bisa memicu konflik sosial.Â
Dalam perpektif urban, warga yang berdomisili di pusat kota, merasa lebih "maju dan modern" dibanding mereka yang berasal dari desa. Padahal banyak warga desa yang lebih kaya secara aset dan harta, namun memilih lebih baik tinggal di desa dan membangun kampungnya.Â
Insightnya mungkin adalah, kehati-hatian menggunakan perbandingan dalam teguran atau pujian. Ini tak hanya buat seorang pejabat pemerintah atau publik figur, tapi juga sebagai warga kebanyakkan.Â
Dalamnya laut dapat diduga, dalam hati tak ada yang tahu.Â
Semoga ini menjadi pembelajaran bagi kita semua,Â