Mohon tunggu...
Brader Yefta
Brader Yefta Mohon Tunggu... Administrasi - Menulis untuk berbagi

Just Sharing....Nomine Best in Specific Interest Kompasiana Award 2023

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Ketika Orangtua Membandingkan Anaknya dengan Anak Tetangga

21 Juli 2021   22:36 Diperbarui: 7 Agustus 2021   23:12 968
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi anak-anak bermain. Orangtua baiknya tidak selalu membandingkan pencapaian anak dengan orang lain| Sumber: Shutterstock via Kompas.com

Tetangga Masa Gituu...

Dua tetangga hidup berdampingan dalam satu RT. Dari zaman muda hingga tua bersama di sebuah komplek perumahan. Anak-anak mereka pun berkawan akrab lantaran lahir dalam tahun yang sama. 

Kini anak-anak mereka sudah tamat SMA dan sama-sama laki-laki sebagai penerus marga orangtua. Namun rasa intimidasi kerap menghantui si anak. Pelakunya bukan orang lain tapi Mama Papa-nya sendiri yang keseringan membandingkan. 

Sebut saja kedua tetangga itu Pak Rudy dan Pak Iwan. Istri mereka...ya ikutan juga nebeng namanya yakni Ibu Rudy dan Ibu Iwan. Anak Pak Rudy namanya Diru, anaknya Pak Iwan namanya Wani.

"Hei Diru, coba kau lihat Si Wani anak tetangga sebelah. Kuliah di PTN. Masa kau tiap hari kerjaannya main gitar, nyanyi-nyanyi melulu tapi ngga mau kuliah. Malu Bapak dan Ibu anaknya ngga ada gelar nanti," demikian jengkelnya Pak Rudy ketika tahu anaknya akan berangkat manggung di luar kota. 

Si Diru, meski pedes hatinya mendengar omongan ngga enak dari Papanya, tetap berangkat juga. Karena kontrak sudah ditanda tangan dan uang muka sudah dibayarkan untuk mengisi jasa hiburan bersama grup bandnya. 

Mamanya menghindar bila bapaknya sudah marah-marah. Bagaimanapun, Diru satu-satunya anak lelaki. Teringat bagaimana bertaruh nyawa saat melahirkan si anak yang dari kecil sukanya musik hingga tidur dengan gitar dalam pelukan. 

Berselang satu rumah di sebelahnya, duduk Si Wani di depan laptop pemberian ayahnya tatkala tamat SMA. Mukanya sinis sembari menatap layar. Dibukanya Youtube lalu Instagram kemudian twitter. Bolak balik namun tak konsen pada apa yang diklik. 

"Kenapa Papa dan Mama selalu mengatakan lebih baik punya anak seperti Si Diru anaknya Om Rudy. Bisa cari uang sendiri, bisa mandiri tanpa merepotkan orangtua. Daripada saya, yang belum bisa cari uang tapi minta uang terus," batinnya mengulang ucapan orangtuanya. 

momspresso.com
momspresso.com
Papanya Pak Iwan memang sudah usia 57 tahun. Lagi setahun Papanya akan masuk MPP alias Masa Persiapan Pensiun sebagai seorang abdi negara. Dana hasil tabungan selama orangtuanya bekerja, rencananya hendak digunakan untuk berbisnis usai purna kerja. 

"Apa karena itu, kuliahku dan kehidupanku jadi beban buat Mama dan Papa?" katanya dalam hati lalu menerawang. 

Mencoba menganalisis mengapa hampir di 2 bulan terakhir, selalu saja dia dibandingkan sama Diru, teman sepantarannya, anak tetangga sebelah. 

Apa yang salah dalam konsep membandingkan anak dengan anak orang lain? 

Rumput tetangga lebih hijau, tak hanya soal membandingkan tetangga sebelah punya apa, dan saya punya apa. 

Ini tak hanya bicara perihal rumah sebelah halaman lebih asri, rumahnya lebih megah, atau kendaraannya apa saja dan berapa banyak. Tapi kadang merembet soal pencapaian si anak,bahkan kadang melebar hingga ke fisik, bakat, dan penampilan. 

Ada sejumlah orangtua merasa gede rasa alias merasa jauh lebih terhormat, bila buah hatinya lebih "unggul" berdasarkan ukurannya. Bukan ukuran si anak. 

Mari kita lihat contoh paling nyata. Ketika si anak masuk jurusan IPA, segelintir ortu merasa bangga bahwa anaknya lebih pandai dibanding anak orang lain yang bisanya hanya di jurusan IPS atau Bahasa. 

Ketika masa PPDB (Penerimaan Peserta Didik Baru), harga diri orangtua ikut terangkat manakala si anak keterima di sekolah favorit. 

Fakta paling realistik kerap kali ditunjukkan ketika si anak keterima di PTN. Coba perhatikan intonasi dan bahasa tubuh, manakala ditanyakan di mana anaknya kuliah. 

Ngga ditanya juga akan diomongin. Ketika pengumuman SMPTN, otomatis langsung di upload di media sosial milik Mamanya atau Papanya. 

"Selamat ya Nak, kamu ketrima di PTN bla bla bla..." 

Kadang ambigu dan bias. Ini statusnya mau nunjukkin ke orang lain apa ucapan selamat dari orangtua...hehe. Dibilang zuudson ntar dosa lagi. Ya udah cukup baca dan lihat saja:)

1. Sadarilah...tak ada anak yang ingin dibandingkan lalu dicela. 

Kita semua dulunya adalah anak-anak. Kita tumbuh dan besar dipengaruhi oleh cara pandang dan konsep orangtua yang entah sadar atau tak sadar, diceplokin pelan-pelan ke pemikiran dan alam bawah sadar. 

Beranjak remaja hingga usia dewasa muda di pertengahan 15 tahun hingga 18 tahun, manusia secara sadar mulai memilah dan memilih. Tumbuh dengan pilihan dan logikanya sendiri namun tetap membawa "chip" pengalaman masa kecil dan didikan keluarga.

Ketika konsep perbandingan yang salah dari orangtua dipaksakan ke anak, ditambah lingkungan dan asumsi sosial juga terlanjur menempel stigma seperti itu, hasilnya cenderung mengerucut pada 2 tipe anak. Menghasilkan anak yang rendah diri atau anak yang tinggi diri 

Masalahnya, di satu sisi tak ada orangtua yang mau anaknya dilabel rendah diri oleh orang lain. Dan di sisi lain, kadang orangtua tak menyadari bahwa mereka berpengaruh besar dalam membentuk rasa rendah diri dalam diri si anak. 

Misalnya lewat perkataan, tindakan, amarah hingga dengan membandingkan tak hanya terhadap anak satu dengan yang lain, tapi juga dengan anak tetangga atau sesama teman-temannya. 

Seperti kisah nyata Diru dan Wani di atas, yang sengaja diilustrasikan. 

2. Anak yang terjepit oleh rendah diri, akan melihat dirinya tak sebaik dan tak seberguna teman-temannya. 

Ini adalah bahaya kedua, yang kadang tak disadari. Pernahkan kita bertanya pada anak-anak korban pergaulan buruk, pecandu narkoba, seks bebas, luntang lantung ngga jelas, sampah masyarakat, dan lainnya. 

Sebelum mereka terjerumus, pernahkah mereka merasa disayang dan dikasihi secara apa adanya tanpa embel-embel siapa mereka dan seperti apa pencapaian mereka di mata orangtuanya? 

Apakah mereka mengalami kasih seorang Papa atau kasih seorang Mama, dengan membiarkan mereka tumbuh apa adanya tanpa membebani mereka dengan ego orangtua? Apakah mereka diterima tanpa syarat atau ditolak karena tak sesuai ekspetasi orangtua?

Realitanya, mereka yang ditolak oleh masyarakat, biasanya akan makin rapuh atau makin rusak, manakala mereka juga ditolak oleh keluarganya. Tak ada anak yang me-reject, biasanya orangtua yang me-reject terlebih dahulu. 

3. Jangan melihat anak dari konsep akademis semata, tapi dengan konsep 9 kecerdasan lain

Anak adalah titipan ilahi. Namanya titipan dari atas, berarti diberkahi juga dengan keunikan tertentu. Alangkah baiknya orangtua tak hanya terpaku pada nilai akademik dan kemampuan anak mencari uang saja. 

Dilansir dari Kompas.com, ada 9 kecerdasan manusia. Hampir setiap anak memiliki minimal satu atau beberapa gabungan kelebihan. Apa saja? 

A. Kecerdasan Linguistik. 

Anak-anak yang punya kelebihan ini, pandai dalam berbahasa untuk merangkai kata dan kalimat, baik lisan maupun tulisan. 

Mereka bisa jadi penulis, presenter, pengajar hingga ahli bahasa. Jadi meski mereka hanya masuk jurusan Bahasa di Sekolah Menengah Umum, bukan berarti masa depannya tak secerah yang jurusan lain. 

B.Kecerdasan logika matematika.

Ini mungkin adalah kelebihan yang dimiliki Wani, anak Pak Iwan. Mereka mungkin tipikal jago fisika, matematika hingga jago akuntasi, meski ada yang introver dan cenderung kutu buku. Jangan bandingkan dengan temannya yang suka basket dan bisa masuk pelatda atau pelatnas.

C. Kecerdasan Kinestetik.

Ini anak-anak yang kelihatan menonjol dalam aktivitas fisik. Misal bermain bola, menari, senam, dan lainnya. Bisa jadi mereka juga suka hal lainnya, namun sangat unggul dan sangat menikmati kala berada di panggung atau di lintasan. 

D. Kecerdasan Spasial

Mempunyai daya imajinasi dan mampu mengekspresikan dalam bentuk visual. Mereka bisa jadi desainer busana, bisa bekerja di desain interior, jadi arsitek hingga penata tari. 

E. Kecerdasan Musikal. 

Seperti halnya Si Diru anaknya Pa Rudy pada tulisan ini, banyak anak sejak kecil atau sejak remaja, menonjol dalam musik, nada, dan irama. Bahkan gara-gara kenikmatan melakoninya, bisa bisa mereka memilih melepas yang lain demi hidup dan mandiri dari industri kreatif ini. 

F. Kecerdasan Naturalis

Mereka punya kepedulian akan alam dan makhluk hidup serta interaksi dengan lingkungan. Mereka bisa menjadi dokter hewan, ahli botani, penggiat lingkungan, sarjana kehutanan, dan sejumlah profesi lain. 

G. Kecerdasan Interpersonal. 

Ada anak-anak dengan tipikal lebih mudah bersosial dan bersahabat dengan beraneka latar yang berbeda. Mereka tak malu-malu dan tak sungkan menjalin relasi dengan banyak orang. Mereka biasanya jauh lebih mudah menekuni bisnis, berdagang, dan cenderung unggul dalam sales dan marketing. 

H. Kecerdasan Intrapersonal. 

Ini adalah kecerdasan memahami diri sendiri dan melihat dirinya dengan cara yang tetap positip dalam segala situasi. Ketika berada di situasi baik-baik saja atau manakala berada di kondis paling jelek pun, cara pandangnya selalu positif. 

Sehingga kecerdasan ini, rasanya wajib dimiliki oleh siapapun. Karena seperti pepatah, life is never flat... Kadang di atas, kadang di bawah ibarat roda kendaraan yang terus berputar. 

4. Tiap anak punya rezeki masing-masing

Dengan bakat dan kecerdasan yang beragam, setiap anak akan punya jalan hidup sendiri, rezeki sendiri dan masa depan yang bisa saja tak sama dengan latar keluarga.

Mereka akan tumbuh dan dewasa di era yang mungkin berbeda dengan zaman orangtua dulu. Contoh paling nyata era sebelum pendemi dan setelah pandemi. 

Bekerja dari rumah akan jadi tren di masa depan menggantikan bekerja dari kantor. Ini akan membuka potensi karier dan rezeki yang beragam pada kehidupan anak-anak karena teknologi dan gaya hidup juga berubah. 

Bagian orangtua mungkin mengarahkan dan memberi pilihan, bagian anak-anak adalah memilih dengan mengenali plus minus dirinya dan bertanggung jawab dengan pilihannya. 

5. Orangtua yang menilai anaknya tak sebaik anak lain, hanya membebani diri mereka sendiri. 

Banyak orang membawa beban dalam hidup mereka, bukan karena orang lain tapi karena standar yang mereka tetapkan tak tercapai. Ketika orangtua menginginkan anaknya harus seperti anak tetangga sebelah, hanya akan berakibat pada dua hal. 

Pertama, bila tak kesampaian akan membuat anak merasa bersalah tak bisa menjadi seperti idealisme orangtua. Kecewa terhadap dirinya. Seperti yang dirasakan Si Wani. 

Kedua, orangtuanya yang stres dan kecewa. Akhirnya jadi pahit sama anak sendiri. Bawaannya jengkel sehingga rasa sayang bisa jadi berkurang seperti Pak Rudy. Ujung-ujungnya bisa salah paham dengan pasangan, gara-gara standar yang dibuat sendiri. 

Bahaya lho jangka panjangnya... Bagaimana menurut Anda? 

Salam, 

Penulis : Adolf Isaac Deda

Referensi : 

1. beingtheparent.com

2. kompas.com

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun